Merebut Tafsir Wanita Haid: Aku sedang Sakit, Bukan Kotor!

Tahukah anda jika Al-Qur’an memiliki definisi lain untuk makna haid yang lebih humanis?

Wanita Haid

Wanita Haid

Mubadalah.id – Dalam konteks keislaman, jika saya menyebut tentang ‘wanita haid’, apa yang pertama kali muncul di pikiran anda? “oh dia pasti tidak salat dan puasa” dia juga tidak boleh ini dan itu. Loh kenapa? Ya karena dia sedang haid, tidak suci, makanan terlarang untuk mendekati hal-hal yang suci seperti, kitab suci, ibadah bahkan tempat ibadah.

Ya begitulah kira-kira konstruksi makna yang terbangun akibat haid sering kita definisikan sebagai “darah kotor” yang keluar dari rahim perempuan. Sifat kotor ini seringkali kita asosiasikan dengan keadaan tidak suci yang membuat perempuan terhalang dari berbagai hal.

Namun tahukah anda jika Al-Qur’an memiliki definisi lain untuk haid yang lebih humanis? Meski tak akan mengubah hukum syara’ setidaknya definisi ini bisa mengubah cara pandang kita terhadap wanita haid.

Definisi Haid dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an definisi haid secara eksplisit terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 222,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ

Dalam ayat tersebut haid didefinisikan dengan kata اَذًى  Sayangnya terjemahan paling populer untuk kata tersebut dalam ayat ini adalah “kotoran”. Misalnya pada Al-Qur’an Terjemah Kemenag RI yang sangat mudah kita akses.  Namun uniknya dari beberapa kata اَذًى dalam Al-Qur’an hanya ayat ini saja yang maknanya adalah kotoran.

Berdasarkan Al Mu’jam Al Mufahras Li Alfazh Al Quran kata اَذًى terdapat pada delapan tempat dalam tiga surat (Al-Baqarah, Ali-Imran dan An-Nisa) dengan konteks yang berbeda-beda. Setelah mengecek terjemahanya, ternyata kata tersebut merujuk pada dua makna yaitu ‘keadaan yang menyakitkan/menyulitkan” dan gangguan-gangguan. Hanya pada konteks haid saja kata tersebut dimaknai sebagai kotoran.

Konteks yang melingkupinya

Pemilihan kata “kotoran” sebagai makna kata اَذًى dalam ayat tentang haid agaknya dapat dimaklumi mengingat pada masa turunya ayat tersebut, wanita haid diperlakukan kurang manusawi karena tubuhnya dianggap najis. Orang-orang Yahudi dan Arab Jahiliyah tidak mau tidur, makan bahkan tinggal bersama wanita haid. Sehigga para perempuan seringkali diasingkan pada masa haidnya.

Hal ini berbanding terbalik dengan orang-orang nasrani yang tidak membedakan wanita haid, mereka bahkan tetap melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sedang haid. Oleh karena itu, ayat ini turun sebagai jawaban atas keresahan orang-orang terkait perlakuan mereka terhadap wanita haid.

Maka tidak heran dalam berbagai tafsir yang membahas ayat ini selalu menitik beratkan pada hukum fiqh terkait larangan menyetubuhi perempuan pada saat haid, namun kebolehan untuk tetap bergaul dengan mereka dalam aktivitas sehari-hari.

Makna dan Signifikasinya

Namun yang kurang menjadi perhatian adalah signifikasi ayat tersebut untuk mereduksi stereotype ‘tubuh perempuan yang kotor’ seperti keyakinan orang Yahudi. Ataupun memberikan keringanan bagi perempuan dalam  aktivitas  tertentu (seksual) seperti yang kebiasaan orang Nasrani. Dalam hal ini pemberian makna ‘kotoran untuk kata اَذًى dalam QS. Al-Baqarah ayat 222, dapat menghilangkan signifikasi tersebut.

Meskipun sedikit kecewa saat membaca terjemahan QS. Al-Baqarah ayat 222, akibat adanya inkonsistensi penerjemahan kata اَذًى dalam bahasa Indonesia. Namun dua tokoh mufassir masyhur Indonesia ini sedikit mengobati keresahan saya. Baik Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah dan Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar tetep memaknai kata اَذًى dalam ayat tersebut sebagai ‘gangguan’. 

Hal ini cukup melegakan, mengikat kedua tafsir tersebut paling banyak menjadi rujukan masyarakat awam dalam memahami Al-Qur’an setelah terjemahan. Preferensi makna ‘gangguan’ ini jauh lebih humanis dan masih memberi ruang untuk signifikasi ayat yang sudah saya sebutkan. 

Quraish Shihab bahkan lebih jauh menerangan haid adalah keadaan di mana perempuan mengalami berbagai gangguan baik secara fisik maupun psikologis. Sehingga larangan bersetubuh dalam ayat tersebut disebabkan karena tubuh perempuan sedang mengalami banyak gangguan yang bahkan seringkali menimbulkan rasa sakit dan kesulitan bagi mereka. 

Dispensasi bukan Diskriminasi

Dalam sebuah seminar bertemakan keadilan gender bersama Ibu Nur Rofi’ah beliau pernah secara implisit menyinggung ayat ini. Beliau berkata “Al-Qur’an itu sangat memuliakan dan mengakomomodasi kebutuhan perempuan, misalnya dalam ayat tentang haid disana menggunakan kata  اَذًى yang dalam banyak ayat bermakna sakit.  Oleh karena itu perempuan mendapat banyak keringanan dalam ibadah karena dia sedang sakit.”

Mendengar penjelasan itu, seketika terasa ada guncangan emosional dan spiritual dalam diri saya. Mendadak tubuh saya merinding bahkan hingga meneteskan air mata. Mungkin bagi sebagian orang kalimat di atas terkesan biasa saja.

Namun bukankah statement tersebut bertolak belakang dengan pemahaman mainstream. yang menganggap terhalangnya ibadah bagi wanita haid sebab keadaanya yang tidak suci (kotor). Adakah yang memahaminya sebagai bentuk dispensasi khusus dari Tuhan akibat rasa sakit dan banyaknya gangguan lain yang dirasakan perempuan pada saat haid?

Saat itu dalam hati saya berkata “Segala puji bagi Engkau Ya Rabb, Engkaulah yang paling mengerti tentang ciptaan-Mu yang satu ini (perempuan). Bahkan di saat dunia kurang berempati pada kami, dan sebagian lagi menganggap kami kotor. Engkau justru menyuarakan keadaan kami melalui firman-Mu, juga memberikan banyak keringanan pada kami”

Dalam sebuah penelitian menunjukan bahwa beberapa gerakan salat seperti sujud dapat membuat perempuan kehilangan lebih banyak darah jika mereka lakukan pada saat haid. Begitu pula larangan puasa karena  pada saat  haid tubuh perempuan membutuhkan lebih banyak nutrisi untuk metabolismenya. 

Dalam hal ini berbagai larangan yang diberlakukan syariat terkait wanita haid dapat dipahami sebagai dispensasi yang diberikan oleh Tuhan kepada perempuan. Ini merupakan bentuk rahmat-Nya yang khusus untuk kaum perempuan sebab tubuhnya memang diciptakan demikian. Alih-alih memakainya sebagai diskriminasi karena menganggap perempuan hanya ‘setengah dalam agamanya’.

Berempati pada Wanita Haid

Lebih jauh dari itu, dengan memilih makna ‘keadaan yang menyakitkan’ atau ‘gangguan’ dalam memaknai kata اَذًى pada ayat tersebut, kita sedang diajak untuk memahami kondisi perempuan pada saat haid. Di mana kondisi ini juga seringkali membuat perempuan kebingungan dengan dirinya sendiri.

Sebagai perempuan hendaknya kita lebih aware dan mencoba memahami gangguan apa saja yang terjadi pada tubuh kita saat haid, agar mampu bersikap lebih bijak. Sebagai orang lain yang menghadapi wanita haid, entah sebagai teman, pasangan atau keluarga, hendaknya kita juga lebih berempati kepada mereka.

Bukan meremehkan apa yang mereka rasakan bahkan memberikan stereotip negatif pada mereka. Begitu juga para pembuat kebijakan yang hendaknya turut mempetimbangkan kondisi perempuan pada saat haid. Contohnya dengan memberikan cuti haid, atau dispensasi tertentu bagi perempuan saat dalam masa haid. []

 

Exit mobile version