Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

Gilman menghancurkan mitos patriarki bahwa perempuan lemah tanpa laki-laki atau bahwa perempuan hanya cocok untuk tugas-tugas domestik

Herland

Herland

Mubadalah.id – Charlotte Perkins Gilman, seorang feminis, sosiolog, dan penulis berdarah Amerika. Dia adalah pelopor yang tak gentar menantang patriarki dan ketimpangan sosial pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Lahir pada 3 Juli 1860 di Hartford, Connecticut, Gilman dibesarkan dalam keluarga intelektual yang penuh gejolak.

Ayahnya, seorang pustakawan, meninggalkan keluarga saat ia masih kecil. Lalu ibunya berjuang sendirian membesarkan anak-anaknya dalam kemiskinan. Pengalaman ini—ditambah dengan pernikahan pertamanya yang penuh tekanan dengan seniman Charles Walter Stetson dan depresi pasca melahirkan yang dia alami—membentuk pandangannya tentang ketidakadilan yang perempuan hadapi.

Gilman menyalurkan pergumulan hidupnya itu ke dalam tulisan, sehingga menghasilkan karya-karya seperti ‘Women and Economics’ (1898) dan ‘The Home: Its Work and Influence’ (1903), yang mengkritik struktur sosial yang membelenggu perempuan. Namun begitu, karya yang benar-benar memamerkan imajinasi terliarnya adalah ‘Herland’ (1915). Sebuah novel utopis yang membayangkan dunia tanpa laki-laki.

Petualangan Tiga Pria Amerika

‘Herland’ membawa kita ke sebuah petualangan yang tak biasa di mana tiga pria Amerika—Vandyck Jennings (Van), Terry O. Nicholson, dan Jeff Margrave—menemukan negeri terpencil di sebuah pegunungan yang hanya dihuni oleh perempuan. Masyarakat di pegunungan tersebut bernama Herland. Mereka adalah masyarakat yang berkembang selama dua ribu tahun tanpa kehadiran laki-laki. Berkat kemampuan reproduksi parthenogenesis mereka yang memungkinkan mereka melahirkan anak perempuan tanpa pembuahan.

Meskipun hanya ada perempuan, penduduk Herland hidup dalam harmoni. Mereka mengelola sumber daya yang ada secara kolektif, mendidik anak-anak dengan pendekatan yang memadukan antara ilmu, seni, dan etika, serta menjaga lingkungan dengan penuh perhatian. Tidak ada kepemilikan pribadi, kelas sosial, atau konflik. Ketiga pria, yang masing-masing menggandeng perspektif berbeda, bereaksi dengan cara yang mencerminkan bias mereka sendiri.

Terry, yang arogan dan patriarkal, meremehkan perempuan Herland dan berusaha mendominasi. Jeff, yang romantis, mengagumi mereka secara berlebihan—hampir seperti memuja. Van, sebagai narator dalam novel ini, memiliki sifat yang lebih terbuka dan menghargai nilai-nilai Herland. Melalui interaksi ketiga pemuda ini, Gilman merangkai cerita yang bukan hanya fiksi, tetapi juga refleksi untuk mempertanyakan norma gender, kekuasaan, dan cara manusia mengatur kehidupan bermasyarakatnya.

Feminisme Herland

‘Herland’ lebih dari sekadar cerita; ini adalah laboratorium pemikiran Gilman untuk menguji visinya tentang dunia yang lebih egaliter. Feminisme menjadi nafas yang mengalir di setiap halaman novel ini. Dengan menciptakan masyarakat tanpa laki-laki, Gilman menghancurkan mitos patriarki bahwa perempuan lemah tanpa laki-laki atau bahwa perempuan hanya cocok untuk tugas-tugas domestik.

Penduduk Herland adalah perempuan yang kuat, cerdas, dan kolaboratif. Mereka  tidak hanya mengelola pemerintahan dan ekonomi mereka secara mandiri, tetapi juga melakukan semua hal secara efisien sehingga membuat dunia luar terkesan kacau. Ini sejalan dengan gagasan Gilman dalam ‘Women and Economics’, bahwa pembagian kerja berdasarkan gender adalah konstruksi sosial yang membatasi potensi perempuan.

Di Herland, perempuan membangun peradaban yang harmonis, membuktikan bahwa mereka tidak memerlukan laki-laki untuk menjadi pemimpin atau menjamin kelangsungan hidup mereka. Interaksi di antara ketiga pemuda dan penduduk Herland juga mempertajam kritik ini.

Terry, dengan sikapnya yang merendahkan, menjadi karikatur maskulinitas toksik yang kehilangan relevansinya di masyarakat egaliter Herland. Van, sebaliknya, menunjukkan bahwa laki-laki dapat belajar dari nilai-nilai Herland, seperti kesetaraan dan kerja sama. Mengisyaratkan bahwa feminisme Gilman tidak hanya tentang emansipasi perempuan, tetapi juga tentang reformasi maskulinitas.

Namun, ada sisi yang patut dipertanyakan dalam penggambaran ini. Gilman cenderung menonjolkan sifat-sifat seperti kepedulian dan kolaborasi yang ia asosiasikan dengan peran “ibu,” sebagai inti masyarakat ideal.

Beberapa pemikir, seperti Ann J. Lane, melihat ini sebagai bentuk esensialisme gender yang memperkuat stereotip feminin. Meski begitu, Gilman tampaknya dengan sengaja membalikkan narasi patriarki, dan menunjukkan bahwa kualitas-kualitas yang sering dianggap lemah (kualitas feminin) justru bisa menjadi fondasi dunia yang lebih baik.

Sosialisme Herland

Dari feminisme, pemikiran Gilman mengalir mulus ke sosialisme, sebuah visi yang terwujudkan dalam struktur masyarakat Herland.

Di negeri ini, tidak ada kepemilikan pribadi, kelas sosial, atau konflik merusak antarindividu. Semua sumber daya dikelola secara kolektif, dan setiap penduduk bekerja untuk kepentingan bersama. Hal ini menciptakan kontras yang mencolok dengan kapitalisme Amerika di era Gilman, yang penuh dengan eksploitasi tenaga kerja dan ketimpangan ekonomi, terutama terhadap perempuan.

Salah satu aspek yang paling menarik adalah cara penduduk Herland mengelola pengasuhan dan pendidikan anak. Bagi mereka, anak-anak bukan tanggung jawab individu, tetapi tanggung jawab komunitas. Ini merupakan ide yang selaras dengan kritik Gilman dalam ‘The Home: Its Work and Influence’ terhadap isolasi perempuan di ranah domestik.

Ia mengusulkan profesionalisasi pekerjaan rumah tangga, dan di Herland, profesi seperti pengasuh dan pendidik dihargai dan mereka anggap setara dengan pekerjaan lain. Poin ini menegaskan bahwa kerja reproduktif—seperti mengasuh anak—sama pentingnya dengan kerja produktif seperti pertanian atau pembangunan.

Pendekatan tersebut mencerminkan keyakinan Gilman bahwa masyarakat yang adil harus mendistribusikan tanggung jawab sosial secara merata, bukan membebankannya pada satu kelompok tertentu. Herland juga menolak individualisme kompetitif yang mendominasi budaya Barat. Di Herland, keputusan diambil melalui konsensus, dan konflik mereka selesaikan melalui dialog, bukan kekerasan. Hal yang menunjukkan bahwa kerja sama adalah kunci kemajuan sosial.

Namun, terlepas dari itu, visi sosisalis Herland tidak tanpa celah. Herland tergambarkan sebagai masyarakat yang sangat homogen, tanpa keragaman budaya atau konflik ideologis. Beberapa kritikus, seperti Susan Gubar, berpendapat bahwa homogenitas ini mencerminkan bias rasial dan etnosentrisme yang umum pada masa Gilman, yang membatasi imajinasinya tentang masyarakat yang plural.

Meski begitu, gagasan tentang kerja sama sebagai alternatif dari kompetisi tetap menjadi sumbangan berharga, sebab ini mengajak kita untuk membayangkan sistem sosial yang lebih kolaboratif.

Utopianisme dan Ekologi

Narasi ‘Herland’ kemudian membawa kita ke utopianisme, di mana Gilman memamerkan imajinasinya yang paling liar. Berbeda dengan utopia lain yang statis, Herland adalah masyarakat dinamis yang terus berkembang melalui pendidikan, penelitian, dan refleksi kolektif. Ini mencerminkan optimisme Gilman terhadap kapasitas manusia untuk memperbaiki diri melalui akal budi dan kerja sama.

Pendidikan menjadi pilar utama dalam visi ini. Anak-anak Herland dididik dengan pendekatan holistik yang memadukan ilmu pengetahuan, seni, dan etika, tidak hanya untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga untuk membentuk karakter dan rasa tanggung jawab terhadap komunitas. Ini sejalan dengan keyakinan Gilman bahwa pendidikan adalah alat emansipasi, terutama bagi perempuan, dan fondasi bagi masyarakat yang adil.

Visi utopis Gilman juga mencakup nilai-nilai keberlanjutan lingkungan, sebuah gagasan yang jauh melampaui zamannya. Penduduk Herland hidup selaras dengan alam, menggunakan sumber daya alam dengan bijaksana dan menghindari eksploitasi. Hal ini kontras dengan industrialisasi awal di abad ke-20 yang telah melakukan banyak pengrusakan lingkungan.

Meskipun begitu, utopia ini tidak sempurna. Herland adalah masyarakat yang sangat terkontrol, di mana individualitas tampaknya dikorbankan demi kepentingan kolektif. Keputusan reproduksi, misalnya, mereka atur ketat untuk memastikan kualitas populasi, sebuah elemen yang mengingatkan kita pada ide-ide eugenika, yang populer pada masa Gilman. Meskipun ia tidak secara eksplisit mendukung eugenika, aspek ini menunjukkan bahwa pemikirannya tetap terikat pada konteks intelektual zamannya.

Terlepas dari itu, ‘Herland’ adalah karya yang hidup, sebuah kanvas di mana Gilman melukis feminisme, sosialisme, dan utopianisme dengan sapuan pena yang berani. Melalui dunia fiktif ini, ia mengkritik ketidakadilan nilai-nilai patriarki dan kapitalisme, sekaligus mengajak kita membayangkan masyarakat yang egaliter, kolaboratif, dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, ‘Herland’ bukan sekadar novel; ia adalah undangan untuk bermimpi, sebuah manifesto intelektual yang mengingatkan kita akan pentingnya kekuatan imajinasi untuk mengubah dunia. []

Exit mobile version