Kisah saat Nabi Muhammad Saw Membela Non-Muslim yang Dizhalimi

Ia menangis dan memohon kepada Rasulullah Saw agar mengadakan penyelidikan secara menyeluruh. Setelah mengadakan investigasi secara cukup, nabi membebaskan orang Yahudi itu dan memutuskan bahwa Thu'mah bin Abiraq Ra sebagai yang bersalah

non-muslim

non-muslim

Mubadalah.id – Salah satu prinsip relasi mubadalah adalah saling bersikap adil dan tidak saling menzhalimi sesama manusia, termasuk antara Muslim dan non-Muslim.

Prinsip ini merujuk pada ajaran dan teladan Nabi Muhammad Saw bahwa sesama Saudara harus saling menolong agar tidak ada yang dizhalimi dan tidak juga yang menzhalimi.

Dari Anas bin Malik Ra berkata: Rasulullah Saw bersabda, “Tolonglah saudaramu, yang berbuat zhalim maupun yang dizhalimi.”

Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, ini (kami paham) menolong orang yang dizhalimi. Tetapi, bagaimana menolong orang yang justru menzhalimi?”.

Rasulullah Saw menjawab, “Ambil tangannya (agar tidak berbuat zhalim lagi.” (HR. Bukhari, hadits nomor 2484).

Teks hadits ini menganjurkan akhlak mubadalah untuk saling menolong sesama saudara.

Jika menggunakan konsep trilogi persaudaraan (ukhuwwah) yang ditawarkan oleh KH. Ahmad Shiddiq yaitu persaudaraan sesama Muslim (ukhuwwah Islamiyah), sesama bangsa (ukhuwwah wathaniyah), dan sesama manusia (ukhuwwah basyariyah). Maka menolong non-Muslim agar tidak dizhalimi adalah bagian dari teladan dari teks hadits tersebut.

“Jadilah sebagai sesama hamba-hamba Allah yang saling bersaudara (satu sama lain),” tegas Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadits (Shahih al-Bukhari, hadits nomor 6133), di antaranya dengan tidak saling menghasut dan mendengki.

Persaudaraan

Persaudaraan, dengan merujuk pada trilogi tersebut, berlaku bagi sesama umat Islam, sesama warga bangsa, dan sesama umat manusia.

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H), seorang mufasir awal dalam sejarah Islam, mencatat kisah yang langsung Nabi Muhammad Saw teladankan.

Dalam tafsirnya, Jami al-Bayan, ia meriwayatkan satu kisah tentang seorang Muslim bernama Thu’mah bin Abiraq Ra berasal dari Madinah atau sahabat Anshar. Ia mencuri baju besi (perisai perang) dari rumah pamannya. Baju besi itu merupakan titipan seseorang untuk dijaga oleh pamannya.

Ketika sang paman merasa kehilangan, beberapa orang mencurigai gelagat Thu’mah bin Abiraq Ra. Ketika merasa tercurigai, ia pindahkan baju besi tersebut secara sembunyi-sembunyi ke rumah seorang Yahudi bernama Zaid bin Samin.

Ia ingin membersihkan namanya dan membiarkan agar orang-orang menemukan baju besi tersebut, tidak padanya, tetapi pada si orang Yahudi.

Sebuah Kisah

Alkisah, karena bukti ada di rumah Zaid bin Samin, beberapa orang, terutama dari keluarga dekat Thu’mah bin Abiraq Ra, terbawa ikut menyalahkan dan mengutuk orang Yahudi tersebut.

Thu’mah bin Abiraq Ra sendiri ikut menuduh Zaid bin Samin sebagai pencurinya. Zaid bin Samin tentu tidak terima. Ketika hal ini pernah tersampaikan kepada Rasulullah Saw tentu saja Zaid bin Samin ini menolak dengan tegas semua tuduhan atasnya.

Ia menangis dan memohon kepada Rasulullah Saw agar mengadakan penyelidikan secara menyeluruh. Setelah mengadakan investigasi secara cukup, nabi membebaskan orang Yahudi itu dan memutuskan bahwa Thu’mah bin Abiraq Ra sebagai yang bersalah.

Mengetahui keputusan ini, Thu’mah bin Abiraq Ra memilih berlari keluar dari Madinah dan tidak kembali lagi.

Kisah ini bisa kita temukan di kitab Jami’ al-Bayan fi Ay al-Qur’an karangan Imam Ibnu Jarir ath-Thabari.

Kisah ini contoh dari implementasi teks hadits Shahih al-Bukhari tersebut, agar yang terzhalimi, siapa pun ia, harus kita tolong dan dukung agar tidak menjadi korban kezhaliman.

Begitu pun yang menzhalimi, siapa pun ia, harus kita tolong dengan sanksi hukum yang tegas, agar jera dan tidak lagi menjadi pelaku kezhaliman.

Demikianlah salah satu akhlak Nabi Muhammad Saw dalam membela orang yang terzhalimi, sekalipun non-Muslim.

Akhlak ini, tentu saja, harus menjadi inspirasi kita dalam berelasi sesama warga bangsa, untuk terus mendukung sikap adil dan menolak sikap zhalim. Sekalipun kepada yang berbeda agama.*

*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Relasi Mubdalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama.

Exit mobile version