Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

Saya yakin bahwa semua agama menjunjung dan mengajarkan pentingnya martabat manusia, kasih sayang, dan keadilan sosial.

Dialog Antar Agama

Dialog Antar Agama

Mubadalah.id – Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti sebuah seminar lintas agama. Penyelenggaranya adalah tujuh universitas di Yogyakarta, bertempat di Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Seminar ini mengangkat tema penting: Integrasi Perspektif dan Praktik Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) dalam Dialog Antaragama. Seminar ini terisi oleh beberapa narasumber yang berasal dari universitas-universitas yang mengadakan seminar nasional ini.

Konteks ini menjadi penting, karena di Indonesia sendiri sangat beragam dalam banyak hal. Salah satunya adalah keberagaman beragama. Di Indonesia ada 6 agama yang terakui pemerintah dan ratusan kepercayaan yang secara nyata dihormati di Indonesia. Tetapi yang perlu kita perhatikan bahwa keberagaman agama tersebut tidak boleh hanya berhenti pada nilai-nilai luhur dan spiritual masing-masing agama.

Sebuah Kesadaran Bersama

Agama juga harus bisa menyentuh sisi-sisi kehidupan yang paling nyata. Termasuk persoalan ketidaksetaraan gender, disabilitas, dan marginalisasi sosial. Di sinilah integrasi pendekatan GEDSI (Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial) menjadi penting dalam membangun dialog antar agama. Tidak hanya menghubungkan pemikiran, tetapi juga memulihkan martabat.

GEDSI merupakan salah satu pendekatan yang berusaha untuk menciptakan ruang yang aman dan adil bagi mereka yang seringkali terpinggirkan dan tersingkirkan. Pendekatan GEDSI kita gunakan untuk memastikan bahwa setiap individu, tanpa terkecuali. Selain itu, memiliki hak yang setara, perlakuan yang adil, serta akses terhadap partisipasi penuh dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan spiritual.

Di tengah dunia yang seharusnya menjadi ruang hidup bagi semua, masih banyak terjadi diskriminasi, terlebih kepada mereka yang lemah dan disabilitas. Karena hal itulah banyak terjadi diskriminasi yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Diskriminasi atas dasar gender dan disabilitas bukan hanya persoalan moral. Tetapi juga persoalan serius yang mempengaruhi akses terhadap pendidikan, pekerjaan, kesehatan, bahkan hak untuk hidup dengan martabat.

Mereka Yang Tersingkirkan

Penyandang disabilitas merupakan kelompok rentan dan heterogen. Mereka mendapat tekanan bukan hanya dalam bentuk pembulyan verbal atau non-verbal, tetapi juga dalam hal penggunaan fasilitas umum. Penyandang disabilitas seringkali tidak bisa mengakses fasilitas umum, karena bangunan tidak dirancang ramah disabilitas. Sebagai contoh adalah dalam hal beribadah. Beberapa tempat ibadah belum menyediakan dengan baik fasilitas bagi saudara-saudari yang menyandang disabilitas.

Beberapa orang menganggap bahwa penyandang disabilitas tidak berhak untuk menggunakan fasilitas umum dan kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Padahal pada hakikatnya mereka juga manusia yang berhak mendapat keadilan, mereka juga anggota suatu negara yang berhak mendapat dan menikmati fasilitas yang pemerintah berikan.

Persoalan lain yang muncul adalah diskriminasi Gender. Diskriminasi gender dapat terjadi ketika seseorang kita perlakukan berbeda hanya karena identitas gendernya. Hal ini menjadi keprihatinan yang juga sangat banyak terjadi.

Dalam beberapa budaya masyarakat, perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua atau warga yang tidak memiliki peran sentral dalam budaya tertentu. Hal ini bisa terjadi karena adanya sistem patriarki yang sudah tumbuh, berkembang, dan hidup dalam masyarakat sejak lama.

Peran mereka dalam lembaga tertentu sangat terbatasi, selain itu suara mereka tidak dianggap penting dalam pengambilan keputusan. Di sisi lain, laki-laki juga mengalami tekanan gender dan juga diskriminasi.

Mereka akan mendapat diskriminasi ketika mereka menolak peran maskulinitas yang kaku atau menunjukkan kelembutan, misalkan “menangis” seperti yang dilakukan oleh banyak perempuan. Sementara itu, orang-orang dengan identitas gender transpuan atau transgender menghadapi diskriminasi lebih menyakitkan, misalkan terkucilkan dari masyarakat.

Agama dan GEDSI

Saya yakin bahwa semua agama menjunjung dan mengajarkan pentingnya martabat manusia, kasih sayang, dan keadilan sosial. Tidak ada agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk saling merendahkan, saling membenci, dan menganggap yang lain tidak berharga. Kesadaran ini yang membawa saya pada permenungan bahwa pendekatan GEDSI tidak hanya berlaku untuk satu agama saja, tetapi juga semua agama dan kepercayaan.

Dalam hal ini, agama memiliki peran yang sangat besar dan utama, karena di dalam agama terdapat kuasa untuk membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Dari sinilah agama harus benar-benar menjadi pondasi yang kuat untuk menciptakan adanya kesetaraan Gender dan penghormatan terhadap disabilitas.

Adapun dalam ajaran iman kristiani, kasih menjadi dasar utama. Yesus Kristus mengajarkan sebuah tindakan untuk mengasihi sesama. Yesus menjadi contoh teladan dalam bertindak untuk mengasihi sesama, terlebih kepada mereka yang tersingkirkan, mereka yang dianggap najis oleh masyarakat.

Dalam hal ini Yesus menjadi teladan dalam option for the poor. Pelayanan pun Yesus tidak pernah membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Dalam Galatia 3:28 dikatakan bahwa “Tidak ada lagi laki-laki atau perempuan, kamu semua adalah satu dalam Kristus”, yang menegaskan bahwa tidak ada yang lebih rendah ataupun tidak ada yang lebih tinggi, semuanya sama adalah murid Kristus.

Sementara dalam agama Islam pun juga menjelaskan bahwa sejatinya manusia (laki-laki dan perempuan) diciptakan Allah dalam kesetaraan. Dalam surah QS. An-Nahl:97, menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pahala dan balasan kebaikan dari Allah, tanpa adanya perbedaan. Ini mendasari bahwa setiap orang harus menghargai perbedaan gender orang lain, karena sejatinya semua sama di mata Allah.

Selain itu, dalam Islam juga memiliki dasar untuk menghargai penyandang disabilitas. Dasar tersebut terdapat dalam surah An-Nur 61, yang mana menegaskan bahwa mereka yang memiliki disabilitas berhak untuk mendapat perlakuan yang adil.

Penyandang disabilitas bukanlah objek belas kasihan, tetapi subjek penuh dalam kehidupan sosial yang setara. Kedua agama ini menjadi contoh bahwa agama menjadi dasar dalam menghargai perbedaan Gender dan disabilitas.

Dialog Antar Agama sebagai pendukung

Ketika saya mengikuti seminar ini, saya mulai terpikirkan untuk menulis isu ini dengan perspektif mubadalah yang mungkin bisa menjembatani permasalahan ini dengan nilai kesalingan dan keadilan. Saya merefleksikan bahwa dialog antar agama sendiri sangat kita butuhkan dalam memecahkan isu GEDSI ini.

Dialog antar agama tidak hanya berfungsi sebagai forum untuk mengkaji nilai spiritual dari agama masing-masing, tetapi juga menjadi forum yang dapat menumbuhkan rasa keadilan kepada mereka yang terasingkan.

Melalui dialog antar agama ini dapat menjadi ruang yang aman bagi mereka yang selama ini terpinggirkan dan kita pandang sebelah mata. Dalam dialog antar agama tidak lagi hanya membahas mengenai iman, tetapi juga harus bisa memberikan rasa yang aman dan nyaman bagi mereka yang mengalami keterasingan.

Dialog antar agama yang berdasar pada prinsip kesalingan tidak cukup hanya mengatakan “menghormati perbedaan”. Lebih dari itu, hal ini mengundang semua pihak untuk bertindak bersama. Saya percaya, jika dialog antara gama berlandaskan semangat kesalingan dan keberpihakan kepada yang lemah, maka GEDSI bukan hanya tinggal sebagai wacana saja. Tetapi akan menjadi gerakan semua agama untuk dunia yang lebih baik dan lebih adil bagi semua orang. []

Exit mobile version