Nyai Nur Rofiah: Keadilan Hakiki di Tengah Luka Sosial Perempuan

Dalam konteks kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus melonjak, pendekatan seperti Keadilan Hakiki menjadi semakin relevan.

Nyai Nur Rofiah

Nyai Nur Rofiah

Mubadalah.id – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia bukan hanya berita rutin di halaman belakang. Ia adalah wajah luka kolektif bangsa yang belum kunjung sembuh. Pada tahun 2024, Komnas Perempuan mencatat lebih dari 445 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan. Meningkat hampir 10 persen dibanding tahun sebelumnya.

Jenis kekerasan yang paling banyak terlaporkan adalah kekerasan seksual, terutama di ranah domestik dan komunitas. Pada awal tahun 2025, Dinas PPAPP DKI Jakarta melaporkan 356 korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, hanya dalam kurun waktu beberapa bulan.

Di balik angka-angka itu, ada tubuh-tubuh perempuan yang memar, jiwa-jiwa anak yang patah, dan suara-suara yang tak sempat lantang. Peningkatan pelaporan memang bisa kita maknai sebagai kemajuan dalam kesadaran dan keberanian. Namun, fakta bahwa kekerasan itu terus berulang—bahkan meningkat—mengungkap satu hal: kita belum benar-benar serius melindungi mereka.

Di tengah situasi ini, nama Ibu Nyai Nur Rofiah menjadi penting untuk disebut. Ia adalah satu dari sedikit ulama perempuan di Indonesia yang tidak hanya fasih dalam tafsir, tetapi juga konsisten menyuarakan keadilan gender berbasis keagamaan. Ia mengajar di Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, dengan perjalanan intelektualnya yang berakar kuat dari tradisi pesantren.

Jejak Pemikiran Nyai Nur Rofiah

Pendidikan formalnya ia mulai dari Pondok Pesantren Putri Seblak Jombang, pesantren yang didirikan oleh Nyai Khoiriyah Hasyim Asy’ari, seorang ulama perempuan terkemuka. Ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Krapyak di bawah asuhan Nyai Nafisah. Lalu menempuh studi sarjana di UIN Yogyakarta, dan program magister serta doktoral di Universitas Ankara, Turki.

Pengalamannya bergulat dengan teks agama sejak muda menyisakan pertanyaan yang terus mengusik. Mengapa perempuan selalu berada di posisi yang kalah? Kenapa teks agama sering terbaca seakan-akan membenarkan perlakuan tidak adil terhadap perempuan,baik di ranah keluarga, sosial, hingga negara? Pertanyaan ini tak ia diamkan. Ia tumbuh menjadi pengkaji kritis, pengajar yang reflektif, dan aktivis keadilan gender berbasis keislaman.

Dalam tulisannya, Kemaslahatan dan Perempuan, yang termuat dalam buku KH. Afifuddin Muhajir, Faqih-Usuli dari Timur (2021), Nur menunjukkan bagaimana teks keagamaan bisa menjadi medan tafsir yang timpang. Ia menyebut bahwa banyak ayat dan hadis dijadikan justifikasi atas tindakan yang membahayakan perempuan. Padahal dampaknya tidak simetris bagi laki-laki.

Sebagai contoh, saat suami memukul istri, teks sering digunakan untuk membenarkannya. Padahal dalam realitasnya, suami tidak mengalami luka atau trauma. Sementara perempuan bisa kehilangan segalanya—martabat, keamanan, bahkan nyawanya.

Sistem pengetahuan Islam yang sangat berbasis teks, menurut Nyai Nur Rofiah sering mengabaikan pengalaman sosial perempuan sebagai bagian sah dari realitas keagamaan. Maka, ia menawarkan, mengajurkan dan melaksanakan sebuah pendekatan yang ia sebut Keadilan Hakiki.

Gagasan Keadilan Hakiki

Keadilan Hakiki terbangun dari dua landasan: pengalaman biologis dan sosial khas perempuan. Lima pengalaman biologis perempuan—menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui—semuanya melibatkan unsur sakit, kepayahan, bahkan penderitaan. Ini bukan sekadar proses biologis, tetapi pengalaman eksistensial yang membentuk tubuh dan jiwa perempuan.

Sementara itu, lima pengalaman sosial yang khas perempuan—stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda. Ini merupakan hasil dari sistem sosial patriarkal yang menempatkan perempuan dalam posisi inferior.

Dalam sejarah, kita pernah mendengar bayi perempuan terkubur hidup-hidup di Jazirah Arabia, janda dibakar bersama jenazah suaminya di India (sati), dan hingga hari ini, perempuan masih menjadi komoditas dalam perdagangan manusia.

Nyai Nur Rofiah menegaskan “‘sesuatu tidak bisa kita sebut maslahat, jika justru menambah sakit pada pengalaman biologis atau memperparah ketidakadilan dari pengalaman sosial perempuan”. Tafsir agama yang adil harus memihak pada korban, bukan membela sistem yang melukai mereka.

Gagasan Keadilan Hakiki menjadi dasar penting dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017. Di sana, Nur dan para ulama perempuan lainnya merumuskan pendekatan keagamaan baru. Fatwa yang lahir dari pengalaman korban, bukan dari abstraksi teks semata. Isu seperti kekerasan seksual, perkawinan anak, hingga eksploitasi perempuan pekerja rumah tangga kita baca ulang dengan perspektif korban sebagai poros utamanya.

Menginsiasi Ngaji Keadilan Gender

Pada 2018, Nur mengembangkan pengajian Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI), sebuah ruang belajar tafsir keagamaan yang inklusif dan berbasis keadilan. Ngaji ini tak hanya ia adakan di pesantren, kampus, dan komunitas perempuan, tapi juga menjangkau masyarakat internasional.

Di masa pandemi, KGI berkembang secara daring hingga menjangkau Malaysia, Mesir, Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara lain. Semua ia lakukan tanpa pungutan biaya.

Dalam konteks kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus melonjak, pendekatan seperti Keadilan Hakiki menjadi semakin relevan.

Negara boleh saja meningkatkan anggaran untuk perlindungan perempuan. Sebagaimana Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengalokasikan Rp252 miliar untuk dana alokasi fisik 2024. Tapi tanpa pendekatan yang memahami akar masalahnya—budaya patriarki, tafsir diskriminatif, dan sistem hukum yang timpang—anggaran hanyalah plester sementara pada luka yang menganga.

Kita membutuhkan lebih banyak ruang seperti yang ditawarkan Ibu ideologis seperti Ibu Nyai Nur Rofiah, ruang tafsir yang mendengar jeritan, bukan hanya ayat, ruang agama yang merangkul luka, bukan mengukuhkan ketimpangan.

Melalui pendekatan ini, tafsir keagamaan tak lagi menjadi hak eksklusif para elite laki-laki. Ia menjelma menjadi ruang partisipatif di mana perempuan bisa bertanya, menggugat, dan menemukan keadilan dalam agamanya sendiri. Nyai Nur Rofiah membuktikan bahwa menjadi ulama perempuan bukan sekadar mungkin menjadi penerus suara kemanusiaan perempuan.

Dalam dunia yang masih gemar membungkam perempuan, suara-suara seperti Ibu Nyai Nur Rofiah adalah pengingat bahwa agama bisa menjadi cahaya, bukan hanya kekuasaan. []

Exit mobile version