Tauhid sebagai Pondasi Mubadalah

Jadi, ketauhidan dalam Islam menolak sistem sosial yang mendominasi dan menghegemoni, dari laki-laki kepada perempuan atau dari perempuan kepada laki-laki. Sebaliknya, tauhid menuntut adanya sistem sosial yang resiprokal, sederajat, saling tolong menolong, dan kerja sama

Tauhid

Tauhid

Mubadalah.id – Makna dari tauhid adalah meng-esa-kan Allah Swt. Kalimat la ilaha illa Allah adalah proklamasi tentang keesaan Allah Swt, sebagai satu-satunya Zat yang patut disembah dan ditaati secara mutlak.

Memproklamasikan ketauhidan berarti menyatakan dua hal: Pertama, pengakuan akan keesaan Allah Swt. sebagai Tuhan.

Kedua, pernyataan atas kesetaraan manusia di hadapan-Nya. Tiada Tuhan kecuali Allah Swt, berarti sesama manusia tidak boleh ada yang menjadi tuhan bagi yang lain.

Dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, tauhid meniscayakan hubungan langsung antara perempuan dan Tuhannya.

Karena hubungan vertikalnya hanya kepada Tuhan, maka relasi antara laki-laki dan perempuan bersifat horizontal, keduanya adalah setara, sesama hamba-Nya, dan sama-sama sebagai manusia bermartabat.

Yang harus dibangun di antara laki-laki dan perempuan adalah hal-hal yang mengacu pada nilai-nilai kerja sama dan kesalingan.

Sebab, keduanya adalah hamba-hamba Allah Swt, tak ada yang berperan menjadi tuhan atas yang lain.

Jadi, ketauhidan dalam Islam menolak sistem sosial yang mendominasi dan menghegemoni, dari laki-laki kepada perempuan atau dari perempuan kepada laki-laki.

Sebaliknya, tauhid menuntut adanya sistem sosial yang resiprokal, sederajat, saling tolong menolong, dan kerja sama.

Makna Sosial

Makna sosial dari tauhid ini menjadi sumber inspirasi bagi perspektif mubadalah atau perspektif kesalingan dalam relasi laki-laki dan perempuan.

Satu sama lain diharuskan untuk bersikap ramah dan memanusiakan, tidak mendiskreditkan, tidak menganggap rendah, tidak menghegemoni, dan tidak melakukan kekerasan.

Tauhid meniscayakan kesetaraan dan keadilan dalam berelasi dan mendorong hadirnya kerja sama yang partisipatif antarpihak. Ruang publik tidak seharusnya hanya untuk laki-laki. Ruang domestik pun tidak hanya dibebankan kepada perempuan.

Partisipasi di ruang publik dan domestik harus kita buka secara luas untuk laki-laki dan perempuan secara adil. Sekalipun dengan cara, model, dan pilihan yang berbeda-beda.

Ini juga sekaligus untuk memastikan hadirnya prinsip-prinsip ta’awun, tahabub, tasyawur, taradhin, dan tanashur bi al-ma’ruf dalam relasi laki-laki dan perempuan, baik di ranah domestik maupun publik.

Mengesakan Allah Swt. adalah tauhid, dan menduakan-Nya adalah syirik. Jika tauhid sosial adalah perilaku hormat atas kemanusiaan, kemitraan, kerja sama, dan saling tolong menolong. Maka perilaku sombong dan merendahkan orang lain, angkuh, otoriter dan zalim bisa masuk sebagai syirik sosial.

Tauhid dan syirik sosial ini bisa berlaku dalam relasi laki-laki dan perempuan, baik di ranah publik maupun domestik.*

*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah.

Exit mobile version