Tidak Ada Cinta Bagi Ali

Sekarang menjadi jelas; ia ditinggalkan. Seperti Qais yang ditinggalkan Layla sebab restu orang tua yang tak kunjung tiba.

Tak Ada Cinta

Tak Ada Cinta

Mubadalah.id – “Layla, Angin Sya’ban telah berlabuh, dan sebentar lagi Ramadan akan melepas sauh. Dari dalam kapalnya kulihat wajahmu ikut menjauh.”

___

Ali memejamkan mata sejenak, mengulang kalimat itu dalam benaknya, seperti merapal doa yang entah kepada siapa ia panjatkan.

Ia baru saja menutup halaman situs pondok—cerpen yang dibacanya untuk kesekian kali masih saja menyisakan debar. Apakah ini karena hatinya sedang gamang? Lantaran menjadi bahan perbincangan karena belum menikah pada usia matang ini? Entahlah. Yang ia tahu, tak ada cinta. Kisah itu seakan cermin baginya. Tentang lelaki yang mencinta tanpa pernah benar-benar dicinta.

Seorang Gadis dengan Nama Pena

Sejak seminggu lalu dia sangat penasaran akan siapa penulisnya. Sebab dia memakai nama pena; Kertas Usang. Namun rasa penasaran itu akan sirna sebab dalam waktu dekat dia akan bertemu sosok itu. Seorang alumni, dengan tidak sengaja menyebut gadis itu. Sarjana muda yang kini menekuni dunia jurnalistik dan mengelola website bersama kawan-kawan kampusnya. Kebetulan istri alumni tersebut kawan lama sang gadis.

“Website pondok kebetulan sudah mulai menerima tulisan-tulisan dari selain alumni dan santri, Gus. Salah satu pengirimnya adalah gadis itu.” terang sang Alumni.

Hari yang ditunggu pun tiba. Pertemuan dengan gadis itu. Ali memilih lokasi di sebuah kafe yang tak jauh dari kota kecamatan. Sebuah tempat yang tak sekadar menyuguhkan kopi, tapi juga ruh sastra dan semangat bersuara anak bangsa. Kafe Kahwah.

Kafe Kahwah bertema rustic dengan perpaduan tropical yang sangat menenangkan dan menyenangkan mata. Di dekat kasir ada perpustakaan mini yang mengoleksi karya dari penulis-penulis pilihan Tim Redaksi Kafe ini. Bahkan kafe ini memiliki websitenya sendiri yang membuka kesempatan bagi para penulis untuk menjadi kontributor pada ragam kolom dan isu. Sebulan sekali, diadakan Bazaar Buku murah, yang tentu saja memikat generasi muda dan para kutu buku. Bahkan sesekali, ada seminar di kafe ini.

Seorang Gadis dengan Tutur Katanya

Sejak lama Ali tak hentinya mengagumi perkembangan dan dobrakan baru pada sebuah kafe. Terlebih, jika ada seminar, kafe tempatnya ini sering mengundangnya untuk menjadi moderator. Namun, dia tak merasa heran lebih jauh, sebab temannya sendiri yang membangun kafe ini merupakan seorang penulis handal.

Ali sudah lama jatuh cinta pada tempat ini—pada atmosfernya, pada kata-kata yang setiap minggu berganti antara kata dan puisi dari para penyair kontributor. Mungkin semesta memang sedang mempertemukannya bukan hanya dengan tempat, tapi juga dengan jiwa-jiwa yang ingin menemukan pelabuhan dari kata-katanya.

Namun kali ini, satu kalimat pada cerpen tadi menusuk lebih dalam. Kata-kata dalam cerpen itu—penuh luka, namun juga keindahan sastrawi dengan karakter yang nampak nyata. Setiap barisan kalimatnya bermain-main dengan metafiksi, juga sentuhan diksi yang seperti memiliki ruh, mencari jati dirinya di hati pembaca. Mengetuk pintu nurani dan berlindung di sana sembari menyisakan kegamangan nan menggelora. Seolah-olah ditulis dari perih yang betul-betul menganga.

“Ali, sudah lama?”

Sapaan itu membuyarkan lamunannya, “Ah, Bang Fahdi. Apa kabar?”

Fahdi, adik dari temannya yang memiliki kafe ini, adalah seorang direktur penerbitan, yang menjembatani para penulis, penerbit, dan distributor. Pria berkacamata tebal itu memperkenalkannya pada seorang gadis jangkung berhijab, kulit kuning langsat, dan mata seteduh biji kenari.

“Arivia.”

Seorang Gadis dengan Karya-karyanya

Rupanya, inilah gadis ‘Kertas Usang’ yang menulis cerpen menggugah itu. Merupakan kontributor aktif, dengan empat buku yang telah diterbitkan oleh Kafe Kahwah.

“Entah mengapa cerpen yang kamu tulis sangat dalam. Saya justru merasa sangat tersihir dengan tiap kata-kata dan kalimatnya. Apakah semua itu berdasarkan pengalaman pribadi atau riset sosial, setiap tokohnya seakan hidup,” pujinya tulus.

“Terima kasih,” sambut gadis itu lembut. Terduduk malu dengan senyuman yang tipis.

Pertemuan itu cukup lama. Mereka berbincang banyak hal. Berdiskusi, dan membicarakan isu-isu sosial dengan ringan namun menjejak di dalam.

Hari-hari berikutnya Ali dan Arivia terikat perjanjian kontrak pada sebuah redaksi di Pesantren milik Ali. Kontrak tersebut berjangka satu tahun namun Arivia hanya menyanggupi 6 bulan. Teman Ali tak keberatan. Namun Ali sempat bertanya-tanya mengapa Arivia hanya mengambil 6 bulan. Padahal dari kerjasama itu, dari kualitas maupun kuantitas cukup menguntungkan.

“Saya tipe orang yang sangat fokus pada sesuatu. Tapi saya juga tipe orang yang mengambil banyak hal-hal yang datang dalam hidup saya. Jadi saya harus bisa membaginya.”

Lambat laun keduanya mulai dekat lantaran intensifnya kegiatan mereka untuk menumbuhkan minat baca dan menulis. Bahkan Arivia sering menjadi narasumber di pesantren Ali untuk menyuntikkan semangat baca para santri.

Sesekali keduanya bertemu berdua untuk memperbincangkan perkembangan redaksi cabang. Kedekatan keduanya memang cukup mencolok hingga menimbulkan prasangka dan bisik-bisik dari berbagai arah. Mungkin keduanya menanggapi biasa saja. Namun rupanya tidak bagi Ali.

Pasalnya, Ali menerjemahkan setiap pertemuannya dengan Arivia sebagai sesuatu yang istimewa dan memikat.

Seorang Gadis dengan Ruang Kosong

Ali melihat Arivia sebagai ruang kosong. Ruang kosong itu bagaikan rumah dengan penghuni yang tidak mengenal penghuni lainnya. Ia menaksirnya dari tatapan, tutur kata, sikap terukur tapi lepas, serta pemikiran liar namun ramahnya. Dalam beberapa kesempatan di pertemuan mereka, Ali merasa ikut tersedot dalam ruang kosong itu. Yang membuatkan ikut tak mengenal penghuni lamanya, bahkan mungkin Arivia sendiri sebagai penghuni utama.

“Arivia yatim piatu,” jelas Bang Fahdi suatu hari. Saat dia bertanya di mana gadis itu tinggal. Dia sadar bahwa dia tak begitu mengenal Arivia secara pribadi. Hanya dari prasangka dan dugaannya saja lewat mata biji kenarinya.

“Ibunya meninggal dan Ayahnya tidak tahu di mana. Ada yang mengabarkan bekerja di luar negeri, ada juga yang mengabarkan sudah meninggal,” jelas Bang Fahdi.

“Sepertinya selain menjadi aktivis dan menulis, Arivia juga mengajar pada sebuah Yayasan Amal,” lanjutnya.

“Yayasan Amal?”

“Ya. Cukup jauh dari sini.”

Dari sumber yang lain, Ali juga mendengar bahwa Arivia tidak selalu tinggal di kosannya. Sebab dalam satu minggu, dia bisa pergi ke kota-kota lain untuk sebuah pekerjaan. Entah itu mengisi seminar, mengadakan kegiatan, atau membuka Bazaar Amal.

Tetapi sangat menarik bagi Ali. Meskipun seorang pengembara, Arivia selalu memperhatikan penampilannya. Bahkan gadis itu setia dengan blazeer-blazeernya yang sering berpadu dengan rok dan inner daripada celana. Wajahnya pun selalu terlihat segar. Meski senyuman, yang bakal mempercantik wajahnya jarang ia tampakkan.

Seorang Gadis dengan Latar Belakangnya

Ali tidak pernah mempermasalahkan latar belakang Arivia yang dalam anggapan lingkungannya adalah orang biasa dan orang pada umumnya. Bahkan meski ada beberapa orang yang menyangsikan pekerjaan gadis itu.

Beberapa bahkan mulai membandingkan__dia sebagai seorang Gus yang hidup dalam naungan pesantren dan hidup dalam lingkaran yang menjadi panutan banyak orang, dengan Arivia, seorang gadis liar, bebas, dan tak berakar dari trah kiai.

Tapi bagi Ali, perempuan seperti Arivia justru mempesona. Tanpa gelar “Ning”, namun kaya jiwa dan pemikiran luar biasa. Terlebih, kesunyian yang terkandung padanya, semakin membuat Ali ingin menelisik lebih jauh.

Namun yang saat ini ia pikirkan adalah keluarganya, yang bahkan menurutnya bakal menjadi sumber problema atas dirinya dan asmaranya.

Atas hal itulah, dia mulai memberanikan diri mengatakan bahwa sepertinya, dia mulai tertarik dengan Arivia. Meski tetap saja, seperti dulu, Abahnya mengenalkan beberapa gadis namun tak ada satupun yang menarik hatinya. Semua gadis-gadis itu adalah seorang putri kiai pesantren atau seorang Ning dalam anggapan masyarakat.

Entah mengapa dia tak begitu ingin bersanding dengan seorang Ning. Yang selalu menarik baginya adalah seorang gadis bebas tanpa ikatan nasab keturunan kiai atau ulama. Sangat berbalik dengan prinsip keluarga yang selama ini selalu ditanamkan padanya.

“Jangan pernah berharap padaku. Aku bahkan tidak pernah berharap pada diriku sendiri.”

Seorang Gadis dengan Daya Tariknya

Pada kegamangan itu, Abahnya tiba-tiba mengatakan bahwa dia akan silaturahmi ke Kudus dan meminta ziyadah do’a serta tabarukan kepada seorang Kiai Sepuh di sana. Abah mengatakan bahwa tujuannya adalah hendak memberi nama agar diikhtiarkan.

“Ada 3 nama, Gus,” beritahu Abahnya.

Salah satunya putri Kiai banten. Yang satunya, Ning yang cukup terkenal di media sosial lantaran kecerdasannya terkait permasalahan fikih perempuan. Ketiga, seorang putri dari kerabat dekat, yang memiliki suara emas, dikenal nurut dan idep oleh masyarakat.

“Nggih, Bah,” hanya itu saja kata yang keluar. Semata manut dan menghargai usaha Abahnya. Namun tak dinyana jika ketiga-tiganya justru dinyatakan tidak ada yang cocok untuknya.

“Tak satupun cocok?” tanya Kang Masnya memastikan.

Ali mengerti. Banyak orang yang ia sukai pergi. Maka tak heran jika kemudian tak ada yang cocok, karena mungkin hatinya tidak memilih. Bahkan yang dulu pun dianggap tidak cocok, karena tidak ada yang memilihnya. Ketiga gadis di masa lalunya, saat kuliah, di komunitas, dan putri seorang dosen yang ia sukai meninggalkanya.

“Mereka tentu akan pergi. Mereka menyadari banyaknya perbedaan denganmu, Li,” Begitu komentar kakak pertamanya terkait masa lalunya.

Begitukah? Lagi-lagi karena nasab? Apa dia yang seorang Gus benar-benar harus dengan seorang Ning? Sejauh ini memang sedikit sekali kasus seorang Gus yang tidak menikah dengan seorang Ning.

Seorang Gadis dengan Nasibnya

Suatu hari Abahnya bertanya lagi, mencoba memastikan, apa mungkin ada nama seseorang yang saat ini dia suka. Ali menyebut satu nama yang sama__seperti yang pernah ia sebutkan dahulu. Dahi Abah mengernyit dan akhirnya meminta keterangan lebih lanjut terkait nama yang dimaksud.

“Gadis ini bukanlah gadis yang bernasab seperti kita, Bah. Mungkin sekufu dan setara pun tidak. Dia orang biasa. Dia seorang aktivis yang cerdas. Mungkin secara nasab dia bukanlah seorang Ning. Tapi bagi Ali, akhlak dan pengetahuannya setara dengan seorang Ning.”

Abah mengernyit, tapi tak menolak. Meski Ali tahu jika dari dasar hati yang paling dalam, Abah menginginkan mantu seorang Ning. Yang mendapat doa, barokah dan keturunan bagus dari pertalian darah orang tua alim dan bebuyutannya. Dia melihat, seolah keluarganya menganggap perempuan-perempuan seperti Arivia adalah gadis bebas yang sesuka hati melanglang buana mendobrag kungkungan tradisi laku lampah seorang perempuan. Mereka berani, buas, lantang dan tanpa sekat. Pemikiran mereka liar dan terkadang sulit diluruskan sesuai ajaran.

Hanya saja Abah mau tak mau tetap menyodorkan nama itu saat silaturahmi ke Kudus dua bulan berikutnya. Menuturkan hasil yang mengejutkan.

“Kenapa bisa cocok?” tanya Masnya keheranan.

“Kalau jodoh, mau bagaimanapun cocok saja, Mas,” jawabnya.

“Ingat kata Mbah Moen. Mau dibelahan bumi manapun kalau jodoh ya pasti bertemu. Soal nasab, kecantikan, pengetahuan agama dan harta, kan hanya bentuk ikhtiar manusia,” kukuhnya, seperti ingin meyakinkan bahwa Arivia mungkin saja benar-benar jodohnya.

“Kalau begitu, bagaimana dengan gadis itu?”

Seorang Gadis dengan Rencana-rencananya

Pertanyaan itu menyadarkannya. Maka lekas-lekaslah dia menghubungi Arivia. Mereka bertemu kembali.

“Apa rencanamu di masa depan?” tanya Ali.

Gadis itu sempat terdiam. Mencoba mengutarakan apa yang telah ia rangkai dalam keraguan, “Apa saja yang datang nanti, Arivia akan mencoba untuk ikhtiar dulu, Gus.”

“Apa kamu tidak terpikirkan untuk menikah?” tanya Ali tiba-tiba. Membuat Arivia terhenyak, dan Ali sudah menduga hal itu.

Arivia menenangkan kembali air mukanya agar terlihat biasa, “Kalau soal itu…”

“Tak perlu dijawab, Arivia,” potong Ali.

Kemudian hening. Ali membaca detik demi detik untuk mengungkapkan hal yang agak intens, sementara Arivia mencoba tenang yang semakin membuat Ali gamang.

“Sebenarnya, Arivia… saya ada maksud dengan kamu…”

Arivia mendongak. Terkejut sesaat, untuk kemudian bersikap datar dan tampak tak acuh. Bahkan tiba-tiba saja, gadis itu berdiri.

“Maaf Gus, saya baru ingat kalau hari ini saya ada janji lain.”

Ali terperangah. Terpaku cukup lama. Melihat kepergian Arivia dengan tatapan tak percaya. Jawaban apa itu? Apakah gadis itu baru saja menolaknya?

Ia kecewa. Perih menyebar di hatinya.

Seorang Gadis dengan Lukanya

Gadis itu, Arivia, Ayah dan Ibunya bercerai saat dia remaja. Ibunya menikah lagi hanya saja mendapat perlakuan buruk dari suami barunya. Kakak tirinya yang perempuan juga sering memukul adik Arivia. Ibu dan suami barunya itu akhirnya bercerai. Namun tak lama, Ibunya meninggal. Arivia hidup dengan adiknya yang sekarang masih tsanawiyah.

Akan tetapi adiknya yang halus hati itu memilih hidup dengan Bibi mereka di Sumatra, lantaran tahu bahwa banyak keraguan bila hidup dengan sang kakak yang masih terlunta. Kepergian bertubi-tubi itulah, yang mungkin menjadikannya gadis pengembara yang bebas tanpa ikatan dan tanggungan, namun kesepian tanpa arah dengan dada yang berlubang dan menganga.

Terjun di dunia aktivis semakin membentuk Arivia menjadi gadis penjelajah dengan peta tak bermuara dan pemberhentian yang sepertinya tidak pernah ada. Dia pergi kesana-kemari, mencari jati diri, mencari penghidupan untuk ruang kosong yang sudah lama usang.

Dan atas itu pulalah Ali tak bisa menggenggamnya. Jangankan menggenggam, sekedar ingin melihat Arivia ada di depannya walau sesaat saja tidak. Arivia lagi-lagi pergi. Kali ini mengejar Beasiswa S2 di Inggris.

“Keterima LPDP, Gus.”

Ah, semakin jauh engkau pergi, Riv.

Seorang Gadis yang Memilih Pergi

Sekarang menjadi jelas; ia ditinggalkan. Seperti Qais yang ditinggalkan Layla sebab restu orang tua yang tak kunjung tiba.

Lalu siapa yang sebenarnya Engkau takdirkan untukku? Jika nama yang tertulis untukku saja terhapus dengan kepergiannya?

Sepertinya Arivia sudah menasbihkan diri lebih dalam pada nama penanya. Yakni ‘Kertas’ yang sudah begitu banyak menerima ketetapan takdir sehingga menjadikannya ‘Usang’. Ia meletih dengan usia dan garis penanya. Memilih bertahan menanggung kelusuhan nasib itu dengan tegar sambil menerima untaian kejadian demi kejadian selanjutnya.

Sebuah bingkisan dia terima dari Alumni; Buku karya terbaru Arivia dengan catatan di dalamnya.

“Terima kasih atas semua hujan dengan mendung, angin dan kabutnya. Tanganku memang memegang payung, tapi tak kubentangkan sebab aku yakin aku tak akan kebasahan. Tapi selama aku melintas di atas genangan ini, takkan kulupakan pelangi setelahnya.”

Arivia Qalyubi Arsya.

Benar kata orang, jika wajah yang semanis senja mampu memberikan luka sedalam samudra. []

Exit mobile version