Upah yang Layak, Hak Buruh yang Tidak Bisa Ditawar

Hari Buruh menjadi momentum untuk memperkuat kembali semangat keadilan sosial yang menjadi inti dari ajaran Islam.

Hak Buruh

Hak Buruh

Mubadalah.id – Hari Buruh Internasional yang jatuh setiap 1 Mei adalah momen penting untuk merenungkan kembali posisi pekerja dalam kehidupan kita. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang terus digadang-gadang, kondisi para buruh di lapangan masih jauh dari kata sejahtera. Mereka menghadapi realitas jam kerja yang panjang, upah minim, hingga ketiadaan perlindungan sosial yang memadai.

Sayangnya, dalam situasi ini, ajaran agama terkadang kita gunakan secara tidak utuh. Kata-kata seperti sabar, ikhlas, dan qanaah kerap kita kutip untuk meredam tuntutan pekerja atas hak-hak dasarnya. Padahal, Islam tidak hanya menyerukan kesabaran, tetapi juga menekankan keadilan, penghargaan atas kerja, dan perlakuan manusiawi bagi setiap individu.

Islam Meletakkan Kerja Sebagai Kontribusi yang Bermartabat

Satu pesan Nabi Muhammad Saw. yang sangat kuat terkait etika kerja adalah: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah). Hadis ini mengandung pengakuan yang jelas atas kerja hak buruh sebagai bentuk kontribusi yang berharga dan harus kita hargai dengan layak, bukan tertunda apalagi kita abaikan.

Dalam Islam, bekerja adalah jalan untuk menjemput rezeki yang halal dan menjaga harga diri. Maka, memberikan upah secara adil bukanlah soal kemurahan hati atau belas kasihan dari pemberi kerja, melainkan kewajiban moral yang melekat. Sebaliknya, menahan atau memotong upah tanpa alasan yang sah termasuk dalam bentuk kezaliman yang bertentangan dengan semangat keadilan dalam ajaran Islam.

Relasi Kerja yang Manusiawi adalah Keharusan

Salah satu akar dari ketimpangan di dunia kerja adalah relasi yang timpang antara pemberi kerja dan pekerja. Buruh sering kali kita tempatkan sebagai pihak yang pasif, hanya menjalankan perintah, dan kurang kita beri ruang untuk menyampaikan suara atau memperjuangkan haknya.

Padahal, dalam nilai-nilai Islam, hubungan antarmanusia seharusnya dibangun atas dasar saling menghormati dan saling membutuhkan. Dunia kerja bukanlah medan dominasi satu pihak atas pihak lain, tetapi ruang kolaborasi yang seharusnya menghadirkan keberkahan bagi semua yang terlibat.

Maka, relasi kerja ideal adalah relasi yang adil dan seimbang. Pekerja kita beri hak dan penghargaan yang layak, sementara pemberi kerja menjalankan tanggung jawabnya dengan transparan dan manusiawi. Ini bukan sekedar utopia, melainkan prinsip dasar kemanusiaan yang sejalan dengan nilai-nilai keislaman.

Ketimpangan Struktural Berdampak pada Kelompok Rentan

Ketimpangan dalam dunia kerja tidak terjadi secara acak. Ia cenderung menimpa kelompok-kelompok yang berada dalam posisi paling rentan. Pekerja informal di sektor transportasi, jasa kebersihan, atau logistik misalnya, banyak yang tidak memiliki kontrak kerja yang jelas atau jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.

Ketika kita menilik dari aspek gender, beban menjadi semakin berat. Buruh laki-laki sering kali tertekan dengan tuntutan menjadi pencari nafkah utama, hingga rela bekerja dalam kondisi berisiko tinggi demi mencukupi kebutuhan keluarga. Sementara buruh perempuan, selain menghadapi pekerjaan yang tidak menentu, juga harus menanggung beban domestik yang tidak ringan, dan tidak sedikit yang mengalami perlakuan diskriminatif atau kekerasan di tempat kerja.

Realitas ini menegaskan pentingnya keadilan yang merata, bukan hanya dalam hal materi, tetapi juga dalam hal akses terhadap hak buruh, perlindungan, dan penghargaan. Islam, melalui ayat-ayat seperti Surah an-Nahl ayat 90, menyerukan keadilan sebagai prinsip utama dalam kehidupan sosial. Maka, dunia kerja harus menjadi bagian dari arena tempat nilai-nilai itu diwujudkan.

Membela Hak Pekerja adalah Bagian dari Tanggung Jawab Moral

Memperjuangkan hak-hak buruh seharusnya tidak kita lihat sebagai sikap yang politis atau penuh kepentingan tertentu. Dalam perspektif keislaman, ini justru bagian dari tanggung jawab moral dan sosial. Ibadah tidak berhenti di masjid atau sajadah, tapi juga harus tampak dalam keberpihakan pada keadilan dan penghormatan atas sesama manusia.

Kita perlu mengubah cara pandang: pekerja bukan beban, melainkan mitra dalam membangun kehidupan bersama. Mereka bukan sekadar pencari kerja, tetapi manusia yang memiliki hak untuk hidup layak. Upah yang adil bukanlah bentuk kemurahan hati dari pemberi kerja, melainkan pengakuan terhadap jerih payah dan kontribusi mereka.

Harapan di Hari Buruh Untuk Masa Mendatang

Hari Buruh seharusnya tidak berhenti pada seremoni dan peringatan tahunan. Namun mesti menjadi pengingat untuk terus memperbaiki sistem kerja yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Ke depan, ada beberapa hal yang layak menjadi perhatian bersama.

Pertama, penting untuk memperluas edukasi tentang etika kerja dalam perspektif Islam yang menekankan keadilan dan tanggung jawab. Pemilik usaha, lembaga keagamaan, dan tokoh masyarakat perlu mengambil peran aktif dalam menyuarakan hal ini.

Kedua, perlindungan hukum bagi pekerja, terutama di sektor informal, harus diperkuat. Negara dan masyarakat sipil perlu mendorong regulasi yang menjamin hak dasar setiap pekerja tanpa diskriminasi.

Ketiga, dunia kerja kita harus dibangun di atas prinsip saling menghargai. Tidak boleh ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah hanya karena posisi atau status kerja. Semua pihak, baik pemberi kerja maupun pekerja memiliki peran dan tanggung jawab yang saling berkaitan.

Dengan merenungi nilai-nilai ini, semoga Hari Buruh menjadi momentum untuk memperkuat kembali semangat keadilan sosial yang menjadi inti dari ajaran Islam—bukan hanya untuk buruh, tapi untuk kita semua sebagai satu umat manusia. Selamat hari buruh. []

 

Exit mobile version