Eksistensi perempuan pada masyarakat Indonesia masih terkungkung dengan budaya patriarki. Hal ini menyebabkan peran perempuan tersubordinasi di bawah kuasa laki-laki. Kondisi tersebut setidaknya berdasarkan atas kenyataan perbedaan alamiah, genetis maupun biologis antara laki-laki dan perempuan. Secara antropologis, ketertindasan perempuan disebabkan oleh sistem nilai patriariki secara turun temurun yang kemudian memengaruhi posisi laki-laki dan perempuan dalam peran sosial.
Sistem nilai patriarki memang lahir dari budaya, tapi sebetulnya tidak berlaku di seluruh komunitas masyarakat. Ada sekelompok masyarakat yang menempatkan status dan kedudukan perempuan secara terhormat jauh sebelum isu kesetaraan gender dan Islam muncul.
Kelompok masyarakat itu ialah masyarakat Sunda. Isu kesetaraan ini justru lahir dari budaya Sunda yang secara nilai diturunkan dari karuhun (leluhur). Salah satu budaya yang merepresentasikannya yang masih eksis adalah budaya mapag Dewi Sri.
Budaya mapag Dewi Sri merupakan salah satu cara masyarakat Sunda mengucapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas kesuburan tanah dan hasil panen yang diperolehnya. Budaya ini bisa ditemui di Cirebon, Banten, Tasikmalaya, Sukabumi, Sumedang, Subang, dan lainnya.
Konsep mapag Dewi Sri yang kini menjadi ritual suci mampu menetralisasi kekuasaan laki-laki dalam tradisi masyarakat adat. Budaya tersebut justru dianggap sebagai salah satu bentuk kearifan lokal yang membebaskan perempuan. Kearifan lokal yang masih dijaga itu menunjukkan adanya suatu nilai indeginious, otentisitas dan nilai keindonesiaan yang mendorong kesetaraan sosial.
Dalam budaya mapag Dewi Sri, perempuan dan laki-laki terlibat bersama-sama dalam pra-ritual, pelaksanaan, hingga berakhirnya acara ritual. Tidak ada pembatasan tugas antara laki-laki dan perempuan.
Misalnya ketika sekelompok laki-laki sedang melakukan tugasnya memanggil dan menyambut kedatangan Dewi Sri. Kelompok perempuan sejak pagi-pagi sibuk menyiapkan bahan makanan, memasak, mencuci sayuran, dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan laki-laki.
Pekerjaan itu antara lain memasang saung sanggar dan kombongan, memasang tempayan kayu yang dipasangi baju dan aksesoris lainnya, dan membantu memasang umbul-umbul di sepanjang pematang sawah serta membuat janur kuning yang akan diarak keliling kampung.
Peran perempuan dalam tradisi mapag Dewi Sri terasa menonjol ketika dalam prosesi Tari Gembyung dengan beberapa sinden dan penari, serta proses helaran dengan membawa nampan berisi rangkaian padi di atas kepala.
kemudian ada prosesi nutu (menumbuk padi) menggunakan lesung dan alu pun dilakukan oleh perempuan. Peran perempuan yang lebih dominan ini menjadi simbol penghargaan tinggi bagi perempuan pada masyarakat Sunda.
Ritual mapag Dewi Sri lahir dari kepercayaan terhadap Dewi Sri sebagai simbol kekuatan yang melimpahkan kesuburan. Menurut tradisi lisan masyarakat Sunda, Dewi Sri adalah anak angkat Batara Guru yang mati dibunuh dan dikuburkan ke bumi.
Lalu di atas kuburan Dewi Sri muncullah beragam tanaman, salah satunya tanaman padi. Dalam hal ini, Dewi Sri dilambangkan sebagai perempuan yang dihormati karena telah memberikan kehidupan berupa makanan pokok yaitu padi.
Dewi Sri memiliki pasangan yang bernama Ujang Sarana yang melambangkan bumi. Menanam padi pada dasarnya mengawinkan Dewi Sri dengan Ujang Sarana. Dalam perkembangan sekarang, Ujang Sarana disimbolkan dengan uang kertas. Maknanya bahwa beras yang berasal dari padi sebagai makanan pokok tidak bisa dilepaskan dengan uang sebagai alat tukar untuk membeli lauk pauk pendamping nasi.
Ujang Sarana di sisi lain merupakan simbol laki-laki Sunda yang memiliki peran penting, baik dibidang sosial maupun keagamaan. Laki-laki memiliki kesempatan sebagai pemimpin keluarga, kelompok, kampung dan beragam ritual, salah satunya mapag Dewi Sri, tapi bukan berarti menguasai segala sendi kehidupan masyarakat, khususnya dalam masyarakat Sunda.
Dalam prosesi ritual mapag Dewi Sri, perempuan memiliki fungsi dan peran yang sama dengan laki-laki, bahkan ada peran yang khas yang tidak boleh dilakukan laki-laki, yaitu dalam prosesi Tarian Gembyung.
Laki-laki dan perempuan dalam sistem nilai masyarakat Sunda yang turun temurun sama-sama memiliki fungsi dan peran penting. Dalam hal ini, laki-laki tidak bersifat mendominasi, begitupun dengan perempuan yang tidak tersubordinasi. Berdasarkan kisah Dwi Sri dan Ujang Sarana, perempuan dianggap sebagai sumber kehidupan, sehingga masyarakat Sunda memiliki keyakinan tidak akan ada kekuatan kehidupan tanpa adanya perempuan.
Perempuan sebagai sumber kehidupan diungkapkan dalam sebuah kalimat yang turun temurun hingga generasi sekarang, yaitu “Indung tunggal rahayu, bapak tangkal kadarajatan”. Artinya ibu adalah kunci keselamatan dan bapak adalah pembawa derajat kehidupan.
Makna kalimat itu ialah tiada kebahagaiaan dan keselamatan tanpa doa dari seorang ibu. Kalimat itu diperkuat dengan ungkapan “Indung nu ngandung bapak nu ngayuga, nya munjung lain ka gunung tapi ka indung, muja lain ka sagara tapi ka bapak.
Makna tersirat dari ungkapan tersebut ialah hendaknya menyanjung ibu dan memuja ke bapak. Dalam ungkapan-ungkapan tersebut ibu selalu disebut pertama dibandingkan bapak yang menggambarkan bahwa perempuan itu berharga dan terhormat.
Dalam prosesi ritual mapag Dewi Sri ini pun perempuan bebas berekspresi dalam memilih warna pakaian sesuai dengan minatnya. Di sisi lain perempuan bebas menggunakan bedak yang tebal dan gincu yang mencolok.
Berbeda dengan laki-laki yang menggunakan pakaian seragam pangsi serba hitam. Di sini perempuan bebas memilih cara berpenampilannya tanpa terikat konstruksi sosial atau aturan lain selain aturan adat.
Nilai-nilai kesetaraan gender yang dibawa oleh karuhun diterapkan masyarakat Sunda dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya dalam hal kepemimpinan. Pada masa sejarah Kerajaan Sunda, terdapat satu ratu yang memimpin Kerajaan Singdangkasih di Majalengka.
Ratu itu bernama Nhay Ambetkasih atau Rambutkasih, adapun yang mengenalnya dengan sebutan Ngambetkasih. Pada masa sesudahnya, pertengahan abad ke-18 Sumedang dipimpin oleh bupati perempuan yang dikenal dengan nama Bupati Sumedang Dalem Istri Ratu Ningrat.
Nilai kesetaraan gender pun diaplikasikan dalam proses menanam padi pada masyarakat Sunda pedesaan. Laki-laki dan perempuan bekerja sama serta berbagi peran dalam menggarap sawah. Laki-laki mencangkul dan perempuan menyiangi rumput serta tandur (menanam benih padi).
Peran tandur untuk perempuan sebagai pengakuan kehormatan bagi keluwesan, kepintaran, dan ketelatenan. Dalam melaksanakan tandur perempuan diasah untuk berpikir kritis dalam menghasilkan strategi dan keuletannya dalam membuat garis. Kemudian menanam padi pada setiap sudut siku. Dalam proses menanam padi ini laki-laki dan perempuan saling bersinergi bukan saling meniadakan dan mengkonfrontir.
Aktivitas lainnya yang mengaplikasikan nilai kesetaraan gender dari karuhun ialah pasar-pasar yang bercampur antara perempuan dan laki-laki. Di pesantren-pesantren pun ulamanya tidak hanya laki-laki, melainkan ada ulama perempuan.
Istilah kyai untuk ulama laki-laki dan nyai untuk ulama perempuan, telah hidup bersinergis begitu lama. Pesantren pun sejak awal berdirinya selalu diperuntukkan bagi santri putra dan putri. Dalam hal ini, peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat tidak termarjinalkan.
Besarnya peran perempuan dalam masyarakat Sunda Kuno telah menginspirasi perempuan Sunda kontemporer. Di era sekarang, perempuan Sunda adalah pewaris generasi unggul perempuan Sunda baheula.
Perempuan Sunda masa kini menjadi barometer kekuatan kageulisan, mode, kuliner, dan lain sebagainya. Untuk mengingatkan peran perempuan Sunda yang begitu besar sejak zaman karuhun, dibuatlah karya-karya Sunda seperti carita pantun Sri Sadana yang menantang bias gender dalam bahasa, hukum, dan filsafat.
Dalam pandangan carita pantun itu berpendapat bahwa perempuan tidak bertujuan untuk menjadi laki-laki, tapi berusaha mengembangkan bahasa, hukum, filsafat, dan mitologi yang baru yang khas dan bersifat feminim. Alhasil, kehidupan masyarakat Sunda kontemporer pun memiliki bahasa dan hukum adat yang ramah gender. []