Mubadalah.id – Seks bebas yang mengakibatkan terjadinya kehamilan di luar nikah yang tidak terlalu menarik perhatian fuqaha klasik ternyata menarik perhatian tersendiri bagi fuqaha kontemporer. Sa’id Ramadhan al-Buthi dengan tegas mengatakan bahwa aborsi untuk kasus yang demikian adalah haram mutlak.
Sa’id Ramadhan al-Buthi mengemukakan empat dalil sebagai berikut:
Pertama, al-Qur’an Surat al-Isra ayat 15:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ
“… Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain…”
Berdasarkan ayat ini seorang janin yang tidak berdosa tidak menanggung dosa ibunya. Ia tidak bersalah, karena itu tidak boleh menggugurkan baik sebelum maupun sesudah takhalluq.
Kedua, Hadits mengenai perempuan Ghamidiyah yang diriwayatkan Muslim dari Buraidah r.a. yang datang kepada Rasulullah dengan membawa pengakuan ia telah berzina dengan Ma’iz bin Malik sedang hamil karenanya.
Ma’iz dirajam lebih dulu setelah empat kali membuat pengakuan zina dan meminta Rasulullah mensucikannya. Namun terhadap peremuan Ghaamidiyah itu Rasulullah menangguhkan hukuman rajam sampai ia melahirkan anaknya dan menyapihnya. Setelah si anak disapih dan diserahkan kepada orang lain, barulah ia dirajam.
Hadits ini menunjukan bahwa anak yang diakndung akibat zina tidak boleh digugurkan. Bahkan Imam Nawawi dalam syarah atas hadits ini menyatakan bahwa semua had, termasuk hukuman jilid, harus ditangguhkan ketika perempuan sedang hamil demi menjaga kehidupan janin.
Rukhsah
Ketiga, bahwa hukum yang diperbolehkan aborsi di bawah 40 hari usia kehamilan berlaku untuk nikah yang sahih dan bahwa kebolehan aborsi adalah bersifat rukhsah.
Padahal, ada kaedah fiqhiyah yang mengatakan ”ar-rukhas laa tunaathu bi al-ma’ashi”(rukshah tidak berlaku untuk perbuatan-perbuatan maksiat). Oleh karena kehamilan itu sendiri akibat oleh perbuatan haram, maka aborsi dengan sendirinya tidak boleh ia lakukan.
Keempat, adanya kaedah fiqhiyah yang menyatakan “tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-masalahah”.
Berdasarkan kaedah ini ibu dari sang bayi tidak boleh mengugurkan kandungannya karena ia secara syar’i tidak berhak atas janin tersebut. Berbeda dengan aborsi dalam perkawinan di mana kedua orang tua punya hak atas janin, aborsi karena perzinaan tidak demikian.
Si ibu tidak memiliki hak syar’i atas nama anaknya, demikian pula lelaki yang menghamilinya. Hak perwalian ada di tangan hakim. Sementara hakim harus mengambil tindakan yang melindungi hak janin yang ada dalam perwaliannya sekaligus hak-hak masyarakat.
Oleh karena itu, aborsi tidak boleh ia lakukan. Hal ini karena akan membawa dampak negatif bagi masyarakat secara luas, yakni dengan munculnya sikap permisif terhadap pergaulan bebas. []