Alarm Bahaya Pencabulan Anak: Belajar dari Kasus Keluarga di Garut

Dampak dari kekerasan seksual, terutama jika dilakukan oleh orang terdekat, tidak hanya berhenti pada luka fisik. Korban dapat mengalami trauma psikologis yang serius dan berkepanjangan.

Pencabulan Anak

Pencabulan Anak

Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh kabar memilukan yang datang dari Garut, Jawa Barat. Seorang anak perempuan berusia lima tahun menjadi korban pencabulan. Lebih menyayat hati lagi, pelaku dari kejahatan ini bukanlah orang asing, melainkan orang-orang terdekat korban yaitu ayah kandungnya sendiri, paman, dan kakeknya.

Kasus ini mencuat ke publik setelah seorang saksi melihat ada bercak darah di celana korban. Temuan itu kemudian mengarah pada pelaporan kepada pihak berwenang.

Berdasarkan informasi yang dilansir dari MetroTV, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Garut, AKP Joko Prihatin, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima laporan tentang dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur.

Tiga orang yang diduga menjadi pelaku adalah ayah korban yang berusia 25 tahun, pamannya yang berusia 31 tahun, dan kakeknya yang telah berumur 57 tahun.

Dalam keterangannya, Joko menyatakan bahwa penyelidikan masih terus melakukan untuk mendalami kasus ini. Berdasarkan keterangan awal, korban ternyata telah berulang kali mengalami tindakan pelecehan. Pihak kepolisian saat ini juga masih menunggu hasil visum dari rumah sakit sebagai bukti tambahan.

Saat proses visum berlangsung, bidan yang memeriksa korban menanyakan sejumlah hal, dan korban menyampaikan bahwa ada sesuatu yang dimasukkan ke dalam kelaminnya. Ketika bidan menunjukkan gambar kelamin laki-laki, korban mengonfirmasi bahwa benda yang dimaksud memang seperti itu.

Kini, korban telah mendapatkan pendampingan dari Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA).

Masih Menjadi PR Besar

Kekerasan terhadap anak, baik secara fisik, emosional, maupun seksual, masih menjadi persoalan besar di Indonesia. Tidak sedikit dari kasus-kasus ini dilakukan oleh orang-orang yang justru seharusnya menjadi pelindung dan pengasuh anak.

Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), tercatat sebanyak 15.267 anak menjadi korban kekerasan sejak Januari hingga pertengahan Agustus 2024.

Dari angka tersebut menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan fenomena yang masif dan terus terjadi dari tahun ke tahun.

Salah satu penyebab mengapa kekerasan terhadap anak. Terutama kekerasan seksual masih banyak terjadi adalah karena adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban.

Dalam banyak kasus, pelaku adalah orang dewasa yang memiliki otoritas, status, atau posisi yang membuat anak merasa tidak berdaya. Relasi kuasa ini membuat pelaku bisa memanipulasi korban atau bahkan membuat korban tidak sadar bahwa dirinya sedang disakiti.

Kasus di Garut ini menjadi gambaran tragis bagaimana kekuasaan dalam hubungan keluarga dapat disalahgunakan untuk melakukan tindakan yang sangat merugikan dan meninggalkan luka yang mendalam.

Dampak dari kekerasan seksual, terutama jika orang terdekat yang melakukannya, maka dampaknya tidak hanya berhenti pada luka fisik. Korban dapat mengalami trauma psikologis yang serius dan berkepanjangan. Rasa takut, kecemasan, bahkan depresi bisa menyelimuti korban sejak usia dini dan terbawa hingga ia dewasa.

Dalam sejumlah kasus, korban juga menunjukkan gejala gangguan stres pasca trauma (PTSD). Ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain pun menjadi hal yang jamak terjadi, dan ini tentu saja memengaruhi kualitas hubungan sosial korban di kemudian hari.

Pencegahan Kekerasan Seksual

Pencegahan kekerasan seksual terhadap anak memerlukan kesadaran dan keterlibatan aktif dari berbagai pihak, terutama keluarga. Relasi yang aman dan sehat antara anak dan orang tua menjadi kunci utama.

Bahkan, orang tua perlu memahami tahap tumbuh kembang anak dan meluangkan waktu bersama mereka. Serta membangun komunikasi yang terbuka serta penuh empati.

Termasuk, anak-anak juga perlu merasa aman untuk berbicara, bertanya, atau bahkan melapor jika mengalami atau melihat sesuatu yang membuat mereka tidak nyaman.

Lebih dari itu, masyarakat juga perlu kita bekali pemahaman tentang hak-hak anak dan pentingnya perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Ruang aman bagi anak bukan hanya tanggung jawab keluarga, tetapi juga sekolah, komunitas, dan negara.

Bahkan, semakin dini kesadaran ini kita bangun, maka semakin besar pula peluang kita untuk mencegah kekerasan dan menciptakan masa depan yang lebih aman bagi anak-anak Indonesia. []

Exit mobile version