“Lalu, mengapa kami harus mendengar pendapat dari seseorang yang tidak memiliki iman?” Hypatia menjawab, “Aku beriman pada filsafat.”
Mubadalah.id – Demikian adu mulut antara seorang dewan senator dengan Hypatia di kantor pemerintahan Alexandria. Dalam film Agora yang rilis tahun 2009 silam.
Pascadirgahayu Ibu pertiwi ke-77 yang telah kita peringati bulan kemarin, pelbagai refleksi atas kemerdekaan baik berupa kajian, dialog, karya tulis, pagelaran, maupun nobar tidak sedikit bermunculan bahkan sampai hari ini. Tema yang mereka angkat antara lain seputar keberagaman, toleransi, moderasi beragama, kesetaraan gender, dan gagasan terkait ke-Indonesia-an lainnya. Menginsafi itu semua, saya terangsang untuk menulis tentang film Agora yang saya tonton beberapa hari kemarin.
Tidak sekadar tentang seorang perempuan bernama Hypatia yang begitu mencintai ilmu pengetahuan, film Agora ini mengangkat sejarah Alexandria di abad ke-4 akhir imperium Romawi pada masa kekaisarannya Theodosius I atau bernama lengkap Flavius Theodosius Augustus. Dan yang terpenting, film ini sarat akan nilai-nilai yang bersinggungan dengan kehidupan kita, antara lain perihal keberagamaan dan gender.
Terdapat tiga sistem kepercayaan yang hidup berdampingan di Alexandria kala itu, tapi keseharian mereka senantiasa diwarnai dengan adu mekanik satu sama lain. Mulai dari saling adu tentang Tuhan siapa yang lebih masuk akal, mengacaukan peribadatan satu sama lain, hingga saling bantai dan perang. Ketiga sistem kepercayaan tersebut ialah Yahudi, Kristen, dan Paganisme.
Awalnya, kaum Pagan (Paganisme) dan agama Yahudi telah hidup berdampingan dengan damai. Namun, semuanya berubah sejak agama Kristen datang entah dari mana dan mulai menyebarluaskan ajaran mereka. Kristenisasi tersebut melahirkan adu mekanik antara ketiga sistem kepercayaan. Perang, pembantaian, pembakaran buku-buku, perpustakaan menjelma kandang ternak, hingga merambat ke persoalan gender. Serba-serbi kekacauan tersebut terjadi melulu soal siapa yang benar dalam beragama.
Mengapa Terjadi ‘Adu Mekanik’ Agama?
Terlepas dari apapun sistem kepercayaan atau agama dalam film ini, bukan itu masalahnya. Melainkan “konflik” yang terjadi antara mereka atau yang dalam negeri Land of Dawn konon mereka sebut juga dengan “adu mekanik.”
Kok bisa terjadi konflik agama? Bukankah agama mestinya sarat akan cinta kasih, perdamaian, dan semua nilai-nilai kebaikan? Lantas, mengapa antarpemeluk agama malah saling menghancurkan satu sama lain dengan dalih keyakinan atas agamanya?
Kita barangkali sudah membaca pelbagai tulisan yang mengkritisi agama sebagai induk lahirnya kejahatan. Bahwa agama dengan segala doktrinnya: klaim kebenaran mutlak, klaim keselamatan, seruan perang suci, dan lain sebagainya dapat menciptakan konflik antarumat beragama.
Kendatipun demikian, kita perlu menginsafi kembali sedewasa apa kita memaknai agama itu sendiri. Jangan-jangan interpretasi kitalah yang perlu kita perbaiki. Sebab, antara agama dan yang menafsir agama bisa sangat berbeda karena dua entitas tersebut adalah dua entitas yang berbeda.
Sejatinya agama tidak pernah turun dengan maksud menghancurkan dunia. Justru sebagai way of life yang ideal karena ia mengandung serangkaian norma-norma yang menuntun hidup menuju ‘Yang Baik’ dengan cara yang baik pula. Jadi, jika ada agama yang melazimkan pemeluknya untuk membenci, mencaci, korupsi, atau bom bunuh diri, fix labelnya sebagai agama patut kita sangsikan.
Franz Magnis-Suseno atau yang akrab kita sapa Romo Magnis, pernah mengatakan “Orang menjadi ateis lebih banyak bukan karena pemikiran filsafat atau sains. Mereka menjadi ateis karena tindakan kekerasan yang para pemeluk agama lakukan. Mereka melihat kontradiksi antara apa yang mereka khotbahkan dengan apa yang mereka lakukan.”
Perempuan Dilarang Pintar
Gender. Ya, itulah persoalan kedua yang saya soroti dalam film ini. Persis ketika seorang imam Kristen bernama Cyril dalam khutbahnya membaca ayat di dalam kitab suci, “Perempuan yang mempelajari ilmu pengetahuan, mereka dilarang pintar melebihi laki-laki.” Entah sungguh tertulis atau rekayasanya semata, tapi yang jelas, seluruh jemaat yang hadir mengamininya.
“Dan aku tahu,” demikian Cyril melanjutkan khutbahnya, “Di Alexandria ada perempuan yang seperti itu, seorang perempuan yang mengumbar tentang kekafirannya. Seorang penyihir!” Selain merupakan sindiran terhadap Hypatia, pun seperti mengafirmasi bahwa perempuan yang pintar merupakan sebuah ketidaklaziman.
Cyril lalu memerintahkan orang-orang untuk berlutut sebagai bentuk ketaatan terhadap firman ilahi, tapi beberapa tampak berat hati menerima hal ini. Orestes misalnya, yang tetap berdiri tegap dan meninggalkan tempat peribadatan.
Hypatia, seorang perempuan Pagan yang terlena dengan ilmu pengetahuan, seorang filsuf, dan sosok yang pengasih lagi penyayang, humanis, juga manis. Ia akhirnya harus meregang nyawa karena menolak tunduk pada otoritas agama. Ia diseret menuju tempat peribadatan di mana ia ditelanjangi dan dirajam, jasadnya dipotong-potong, sisanya dibakar di jalanan.
Demikianlah, apa mau kita kata, ketika kejujuran intelektual tunduk di bawah dogma, yang terjadi adalah taklid buta. Kendatipun karya Hypatia hilang, ia tercatat sebagai filsuf, astronom, dan matematikawan hebat.
Di zaman ini, masih ada segelintir perempuan yang bermental kebelet nikah (lebih memilih menanti dinikahi ketimbang menambah wawasan), atau terlalu takut untuk mengekspresikan apa yang ia inginkan lantaran masih memandang sempit keperempuanannya.
Sudah cukup, kalian (perempuan) tidak Tuhan utus ke bumi untuk mengurus persoalan kasur, dapur, dan sumur . Kita (laki-laki maupun perempuan) punya kesempatan yang sama untuk menjalani, menikmati, dan merasakan hidup di semesta yang luas ini. []