Mubadalah.id – Belum lama ini, pada 18 Mei 2025, jaringan KUPI menetapkan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan. Deklarasi ini berlangsung di Masjid Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon. Adanya bulan kebangkitan ini menjadi penegas kembali keberadaan ulama perempuan Indonesia.
Keberadaan Ulama Perempuan Indonesia
Sudah dua kali jaringan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) melakukan kongres. Pertama pada 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Cirebon, dan kedua pada 24-26 November 2022 di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Jepara. Perjalanan dua kali berkongres (dan akan yang ketiga pada 2027 mendatang) menjadi bagian dari realitas peran keulamaan perempuan Indonesia.
Tentu, keulamaan perempuan bukan hanya ada dalam (dan bukan semata milik) komunitas dan organisasi jaringan KUPI. Kita tahu di Indonesia ada banyak perkumpulan perempuan di berbagai organisasi atau komunitas Muslim yang lain. Dalam ruang perempuan Muslim yang sangat banyak itu, akan selalu ada realitas perempuan-perempuan alim (ulama) dalam bentuk dan pengalaman mereka masing-masing.
Sebagian kelompok secara terang menggunakan term ulama perempuan. Yang lain mungkin tidak, namun meski istilahnya tidak dipakai bukan berarti realitasnya tidak ada.
Pada dasarnya, keberadaan perempuan yang punya kapasitas dan peran keulamaan itu ada, dan bukan barang yang diada-adakan. Kita bisa melihat, baik dalam sejarah maupun fakta hari ini, ada banyak perempuan yang punya kapasitas keilmuan sebagai ulama dan punya peran keulamaan.
Sejarah Ulama Perempuan Indonesia
Fenomena keulamaan perempuan itu sendiri bukan barang baru. Meski istilah ulama perempuan belum lama populer, setidaknya kita semakin mengenal istilah ini sejak masifnya gerakan jaringan KUPI. Namun begitu, realitasnya sudah ada jauh sebelum istilahnya populer.
Sudah sejak lama, perempuan Indonesia mengisi ruang-ruang keulamaan Nusantara (dan juga dunia). Ini bukan sekadar klaim tanpa dasar. Dan, bukan pula mitos atau dongeng untuk pemanis masa lalu. Ini realitas sejarah. Bahkan, dalam konteks sejarah Islam Nusantara, perempuan telah mengisi peran keulamaan sejak masa awal Islam masuk di berbagai daerah.
Pada abad ke-11 M, sudah ada sosok Fatimah binti Maimun, yang makamnya di Leran, Gresik, Jawa Timur, merupakan jejak Islam awal di Nusantara. Memang kajian terhadap sosok ini banyak perdebatan. Banyak pendapat mengenainya. Di antara pendapat-pendapat itu adalah, ia merupakan seorang perempuan penyebar Islam.
Masih seputar penyebaran Islam, pada abad ke-16 M, di Gorontalo ada sosok Boki Owutango. Perannya sangat penting dalam penyebaran Islam di daerah ini.
Tiga abad kemudian, pada 19 M, ada lagi sosok Putri Kilingo. Ia merupakan satu di antara jaringan ulama Gorontalo yang menyebarkan Islam di Bolaang Mongondow.
Selain dalam dakwah Islam di Nusantara, perempuan juga mengisi ruang-ruang keulamaan Nusantara yang lain. Dalam tradisi penulisan kitab, pada abad ke-19 M, ada sosok Fatimah al-Banjari. Ia merupakan ulama Banjar yang menulis Kitab Perukunan.
Dalam pendidikan Islam, awal abad 20 M, ada Rahmah El Yunusiyah. Ulama Minang yang mendirikan sekolah Islam perempuan pertama. Diniyyah School Putri, begitu Rahmah menamai sekolahnya. Dan, banyak lagi sosok-sosok perempuan Indonesia yang mengisi berbagai ruang keulamaan.
Kalau kita jujur membaca sejarah, maka akan mendapati realitas di mana sejak Islam berkembang di negeri ini, di setiap abad, di berbagai penjuru, selalu ada perempuan-perempuan yang mengisi ruang keulamaan.
Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan
KUPI telah mendeklarasikan Mei sebagai momentum tahunan bagi jaringannya merayakan kebangkitan ulama perempuan. Ya, kita memang butuh momentum untuk merefleksikan gerakan dan keberadaan.
Sebagaimana dalam berita Redaksi Mubadalah.id (19/05/2025), “KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia,” bahwa deklarasi ini “…untuk memperkuat peran ulama perempuan dalam membela kehidupan, mewariskan ilmu. Juga termasuk untuk merawat keberpihakan kepada kelompok yang selama ini dilemahkan oleh struktur sosial dan politik.”
Jadi, momentum bulan kebangkitan menjadi upaya untuk mempertegas posisi dan peran ulama perempuan Indonesia. Dan, tidak hanya itu, dalam pembacaan dengan pendekatan sejarah, bulan kebangkitan juga menegaskan ulang keberadaan ulama perempuan.
Meski perempuan punya realitas sejarah keulamaan, namun posisi perempuan dalam sejarah sering terpinggirkan. Sejarah ulama-ulama perempuan belum mendapat banyak tempat dalam historiografi Islam Nusantara.
Maka, momentum merayakan hari kebangkitan ulama perempuan Indonesia dalam hal ini dapat menjadi momen refleksi masa lalu. Ini sejalan dengan satu dari empat tujuan utama KUPI, untuk “…mengakui dan mengukuhkan keberadaan dan peran ulama perempuan dalam kesejarahan Islam dan bangsa Indonesia.”
Merayakan bulan kebangkitan ulama perempuan dalam hal ini berarti menegaskan sejarah ulama perempuan. Ia merupakan realitas sejarah, bukan dongeng, pun bukan mitos. Dan, realitas sejarah itu terus menjadi realitas hari ini hingga nanti. []