Mubadalah.id – Seperti Desember, situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Tanah Air lebih sering mendung ketimbang cerah. Selama satu dasawarsa pemerintahan Jokowi, alih-alih teratasi, pelanggaran isu KBB malah menunjukkan tren stagnan dan meningkat. Tercatat pada 2014 ada 134 peristiwa dan 177 tindakan. Kemudian pada 2023 sebanyak 217 peristiwa dengan total 329 tindakan pelanggaran KBB (Setara Institute, 2024).
Jika menilik data tahun 2023, dari total 329 tindakan pelanggaran KBB, 114 pelakunya adalah aktor negara dan 215 sisanya oleh aktor non-negara. Tingginya jumlah aktor non-negara di sini mengindikasikan potret menguatnya kapasitas koersif warga di tengah ruang publik. Dengan kata lain, kapasitas warga masyarakat belum sepenuhnya mampu menopang ekosistem toleransi dan suportif terhadap hak-hak terkait KBB.
Sementara itu aktor negara sebagai pelanggar ternyata didominasi oleh pemerintah daerah (gubernur, bupati/walikota, perangkat daerah) dan kepolisian. Ini tentu pukulan berat bagi institusi pemerintahan, mengingat mereka diberi mandat jabatan justru untuk mengupayakan rasa aman dan hak-hak warga sipil.
Namun pada kenyataannya, para pejabat terbukti kurang wawasan terkait isu KBB dan tidak memiliki perspektif yang memadai. Rentetan masalah tersebut tentu akan semakin panjang, rumit, dan berpotensi menjadi bahaya laten bilamana pemerintahan Prabowo ke depannya tidak menangani dengan serius.
Pluralisme Represif
Berkaca ke aktor negara di atas, ada hal penting perlu kita sorot. Dengan dalih menjaga ketertiban, pemerintah kita (pusat dan daerah) kerap membiarkan aksi-aksi vigilantisme (main hakim sendiri) yang mendiskriminasi kelompok minoritas. Kasusnya dapat kita baca pada penolakan pembangunan gereja, pembubaran ritual ibadah kaum penghayat, pelarangan terhadap jemaat Ahmadiyah, dan seterusnya.
Dalam spektrum yang lebih kompleks, dalih yang sama juga terpakai untuk menindas dan mengeksklusi kelompok-kelompok yang tak sejalan dengan kepentingan pemerintah. Ini sudah terjadi pada kelompok Islam yang terlabeli sebagai ekstremis, intoleran, dan radikal, sehingga mereka bubarkan.
Greg Fealy mengistilahkan panorama politik keberagaman tersebut sebagai “pluralisme represif”. Pluralisme yang menindas (Greg Fealy, 2020). Pluralisme jenis inilah yang menjadi corak menonjol dalam kepemimpinan Jokowi. Berbekal jejaring bisnis, militer, intelijen dan kedekatannya dengan ormas besar arus utama, ia melakukan diskriminasi dan eksklusi terhadap kelompok Islam tertentu, atas nama menjaga pluralisme.
Dengan kata lain, pluralisme yang ia tawarkan sangatlah rumpang. Penuh lubang-lubang dan tampil pilih kasih. Mereka yang tidak sepaham dengan kepentingan kelompok dominan (status quo) akan tersepak dan mengalami demonisasi.
Padahal, jika kita tinjau kembali, inti pluralisme bukan sekadar kesepakatan antara yang beragam untuk hidup berdampingan dalam satu nilai tunggal saja. Lebih dari itu, inti pluralisme ada pada tata kelola keragaman, sikap saling menghormati (mutual respect), saling memahami, dan toleransi aktif.
Prosesnya kita tempuh lewat pendekatan dialogis, resiprositas, dan bukan strategi imperatif berbasis kuasa. Dan seperti yang kita lihat ke belakang, watak rezim cenderung senewen menendang mereka yang tak sepemikiran, tanpa proses dialog dan penjajakan lebih dulu.
Kamu diterima, tapi…
Watak rezim semacam itu juga pandai berkelit dan mentopengi dirinya dengan dalih-dalih patriotik tertentu. Contoh dalihnya seperti bela-negara (nasionalisme), persatuan, atau alibi mangkus yang lain. Hal itu kemudian dipakainya untuk mempermulus agenda busuk mereka dengan menumpas kelompok yang kritis atas kebijakan publik yang melenceng.
Dalam isu KBB, pola semacam itu juga menumbuhkan kecenderungan “inklusi bersyarat” (conditional inclusion) dan kewarganegaraan parsial (partial citizenship). Takashi Kazama, peneliti politik keragaman asal Jepang, menyebutkan bahwa dalam politik toleransi dan inklusi bersyarat, hak-hak sebagai warga negara dari kelompok minoritas tertentu hanya terjamin secara parsial (Takashi Kazama, 2020).
Dalam kondisi demikian, toleransi mereka artikan sebagai praktik yang melindungi orang-orang sepanjang mereka masih berada dalam ruang-ruang diskursif yang diizinkan. Tetapi menghukum mereka yang keluar dari ‘ruang’ tersebut.
Itu adalah sebuah model inklusi sosial yang memproklamirkan diri sebagai toleran dan terbuka. Tetapi di saat yang sama, mengeksklusi pihak liyan dengan tameng dalih tertentu. Jikapun mereka, kaum liyan yang dieksklusi tadi, dilibatkan, itupun mereka hanya berposisi sebagai “objek” dan hak-hak kewargaan mereka hanya diberi sebagian saja (partial citizenship).
Sederhananya, kamu diterima, tapi dengan imbuhan tanda bintang kecil: syarat dan ketentuan berlaku. Kita jadi sadar bahwa ada semacam “inklusi dalam gelembung” di ruang publik kita. Dalam taraf tertentu, mereka toleran dan mengamini inklusi sosial. Namun pada sisi berbeda, mereka enggan menjalin dialog kewargaan dengan kelompok yang tidak sefrekuensi.
Situasi ini akan membuat masyarakat semakin terkungkung di sangkar budaya masing-masing (cultural aviaries). Tanpa interaksi bermakna, empati, dan rasa terhubung satu sama lain. Potret demikian akan berpotensi semakin mengasingkan kelompok minoritas tanpa jaminan hak yang sama dan setara sebagai warga negara.
Atas hal itu, sebagai wujud partisipasi bermakna dalam demokrasi, kita pun perlu ikut andil memantau bagaimana nanti kebijakan Prabowo-Gibran dalam mengawal isu KBB di Tanah Air. Apakah mendungnya akan tersibak dan menjadi cerah atau justru semakin pekat dan gelap. []