Mubadalah.id – Idulfitri, begitu cara penulisan yang benar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), telah tiba. Idulfitri atau lebaran disebut sebagai hari kemenangan bagi umat Islam (muslim/muslimah). Umat Islam menyambut Idulfitri dengan suka dan duka. Dukanya timbul karena bagi sebagian orang, berpisah dengan bulan suci yang penuh kemuliaan dari Tuhan adalah berat.
Kemenangan itu kini perlu kita perluas maknanya. Kemenangan jangan sampai hanya berlaku bagi umat Islam atau individu manusia saja, lebaran juga harus kita maknai dan kita niatkan sebagai dukungan kemenangan untuk lingkungan. Isu lingkungan belakangan menjadi isu yang begitu menarik perhatian. Bukan hanya oleh pihak-pihak di dalam negeri, melainkan luar negeri juga.
Isu lingkungan telah berkembang menjadi masalah bersama dunia internasional. Isunya kian mengkhawatirkan banyak pihak karena menyangkut masalah kelangsungan hidup manusia di bumi. Beberapa waktu lalu, pasca presiden terpilih kita, Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, Joe Biden, Presiden Amerika Serikat menelpon Xi dan salah satunya membahas isu lingkungan.
Begitu krusialnya isu lingkungan sampai membuat dua pimpinan negara adidaya membahasnya. Memang, bukan hanya dua negara itu saja, semua negara juga sudah membahas dan membuat kesepakatan tentang lingkungan melalui Perjanjian Paris. Masing-masing negara telah berkomitmen mewujudkan Net Zero Emission (NZE) tahun 2050 mendatang melalui kebijakan-kebijakan di negaranya.
Isu Lingkungan dan Kerusakan Alam
Semua isu lingkungan itu muncul karena manusia dan agenda pembangunannya (melalui sistem yang disebut negara) yang berlebihan dan memicu kerusakan alam.
Seperti misalnya di Indonesia, laju kerusakan hutan di Indonesia periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun karena aktivitas pembangunan. Data terbarunya saya belum dapat, tetapi semua itu (ditambah kerusakan hutan di negara lain) telah menyebabkan perubahan iklim (climate change) semakin menjadi.
Data dari Copernicus Climate Change Service Uni Eropa selama satu tahun terakhir menunjukkan, bahwa suhu terus meningkat pada kecepatan yang mengkhawatirkan. Pemanasan global periode Februari 2023 hingga Januari 2024 mencapai 1,52°C. Awal tahun lalu hanya 1°C. Peningkatan suhu ini timbul karena dua benua es raksasa, Kutub Utara dan Selatan terus menyusut (mencair).
Peningkatan suhu itu kemudian membuat masalah cuaca mengemuka (cuaca ekstrem). Kita rasakan atau tidak, cuaca di berbagai belahan bumi termasuk Indonesia belakangan sangat tidak menentu. La Nina yang menyebabkan curah hujan begitu tinggi dan banjir sempat membuat kocar kacir. Lebih-lebih lagi El Nino yang membuat pemerintah harus menggelontorkan anggaran perlindungan sosial (Perlinsos) yang kini menjadi polemik di Mahkamah Konstitusi (MK).
Bukan hanya Indonesia rasakan, dua atau lebih persoalan iklim itu terasa juga oleh masyarakat dunia. Dan hal itu memang harusnya membuat dunia semakin sadar dan bergerak lebih cepat menangani masalah ini. Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengatur dan menginisiasi berbagai kebijakan sebagai respon atas persoalan iklim yang semakin parah.
Transisi Energi
Pemerintah kita sedang terus menerus menggenjot apa yang kita sebut transisi energi menuju energi yang lebih ramah lingkungan (melalui Energi Baru Terbarukan/EBT). Temuan “Gunung Baru” di sekitar kawasan Bledug Kuwu (yang kaya akan EBT/mineral dan lithium) di Jawa Tengah menjadi temuan yang terus diteliti untuk mendukung upaya transisi energi di Indonesia.
Di samping itu, pemerintah juga tengah mempromosikan kendaraan listrik sebagai kendaraan masa depan. Berbagai insfrastruktur industri kendaraan listrik sedang terus pemerintah bangun di banyak wilayah dalam negeri.
Lalu juga menggenjot hilirisasi, meski kemudian harus dievaluasi karena ternyata di dalamnya banyak tikus-tikus yang memakai jas dan dasi. Lalu kebijakan pajak karbon serta anjuran menerapkan konsep Environment, Social and Government (ESG) pada setiap perusahaan negara dan swasta.
Namun, semua kebijakan pro lingkungan itu memang harus masyarakat dukung supaya berhasil. Kesadaran masyarakat untuk membudayakan sesuatu yang tidak merusak lingkungan atau memperparah perubahan iklim menjadi sangat penting.
Selain juga harus didukung oleh kesadaran para pejabat kita yang berada di pemerintahan. Jangan sampai, semua kebijakan itu disusupi oleh oknum-oknum pejabat yang hendak mencari keuntungan pribadi. Saya kira, hal itu bisa memperlambat progres negara mewujudkan Indonesia yang bebas emisi (yang tidak ramah lingkungan).
Kesadaran Kelestarian Lingkungan
Momen lebaran mudah-mudahan bisa kita jadikan sebagai ajang perubahan sikap dan kesadaran terhadap kelestarian lingkungan dari kita semua. Kita jadikan momen itu sebagai momen yang menjadi awal kemenangan bagi umat Islam dan lingkungan. Harapannya juga awal kemenangan negara dari kebobrokan yang selama ini menggerogoti sistem pemerintahannya.
Lebih lanjut, momen lebaran juga mesti menjadi awal kemenangan bagi perdamaian dunia. Kecamuk perang yang melanda Rusia-Ukraina, Israel-Hamas dan terbaru Israel-Iran mudah-mudahan segera mereda. Bagaimana pun, saya melihat upaya memenangkan lingkungan akan sia-sia jika tidak didukung oleh kemenangan bagi perdamaian dunia.
Di sini perdamaian dunia menjadi kunci bagi stabilitas ekonomi internasional, dan stabilitas ekonomi ini menjadi sesuatu yang wajib ada di tengah situasi iklim yang sedang mengkhawatirkan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, yang artinya:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Surat Al-Baqarah Ayat 30).
Ayat itu menerangkan bahwa manusia adalah pemimpin yang betugas memelihara bumi. Maka, mari kita berusaha untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab ini dengan sungguh-sungguh. []