Menikah sebagai Kontrak Kesepakatan

Teks-teks hadits ini menyiratkan bahwa perkawinan seharusnya tidak menjadi ajang pemaksaan. Apalagi media penundukan perempuan untuk kerja-kerja yang memberatkan atau mencederainya.

Menikah sebagai Kontrak Kesepakatan

Menikah sebagai Kontrak Kesepakatan

Mubadalah.id – Dalam diskursus fiqh, menikah  dibicarakan sebagai akad, atau kontrak yang tentu menuntut syarat-syarat sebuah kesepakatan, terutama kerelaan kedua belah pihak, tidak ada unsur paksaan dan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh hak dan kewajiban secara setara dan berimbang.

Ketika seseorang, baik laki-laki maupuan perempuan merasa dipaksa diikat dalam sebuah kontrak pernikahan. Maka ia memiliki hak yang penuh untuk membatalkan akad nikah tersebut.

Seperti yang dituturkan Aisyah ra, bahwa ada seorang remaja perempuan yang datang menemuinya seraya berkata: “Ayahku mengawinkanku dengan anak saudaranya, agar status sosialnya terangkat olehku. Padahal aku tidak suka”. “Duduklah, sebentar lagi Rasulullah datang, nanti aku tanyakan”, jawab Aisyah.

Ketika Rasulullah SAW datang, langsung mengungkapkan di hadapan beliau persoalan perempuan tadi. Beliau memanggil orang tua si perempuan (sambil memberi peringatan), dan mengembalikan persoalan itu kepada si perempuan untuk memberikan keputusan.

Di hadapan mereka, remaja perempuan tadi menyatakan (dengan tegas): “Aku izinkan apa yang telah ayahku lakukan. Tetapi aku ingin memberikan peringatan sekaligus pernyataan untuk semua perempuan: bahwa mereka para orang tua sama sekali tidak memiliki hak atas persoalan ini”. (Riwayat an-Nasa’i, lihat Jami’ al-Ushûl, no. hadis: 8974, 12/142).

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam ra merasa dipaksa dikawinkan oleh orang tuanya, Nabi mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau dibatalkan, bukan kepada orang tuanya.

Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi Saw menyatakan kepada Khansa r.a.: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki” (Nashb ar-Rayah, 3/232).

Khansapun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia memiliki anak bernama Saib bin Abu Lubabah.

Hadits Lain

Dalam riwayat Ibn Abbas r.a. menyebutkan: “Bahwa suatu ketika ada seorang perempuan perawan (bikr) yang datang menghadap kepada Nabi Saw. Ia menyatakan bahwa ayahnya memaksanya menikah (dengan seseorang). Kemudian Nabi Saw memberikan pilihan (khiyâr) sepenuhnya kepada perempuan tersebut”. (Abu Dawud, Nikah bab 24: 2096 dan Ibn Majah, Nikah bab 12: 1875, al-Baihaqi, 7/189).

Teks-teks hadits ini menyiratkan bahwa perkawinan seharusnya tidak menjadi ajang pemaksaan. Apalagi media penundukan perempuan untuk kerja-kerja yang memberatkan atau mencederainya.

Perempuan harus kita berikan pilihan sepenuhnya untuk memasuki atau tidak memasuki bahtera perkawinannya, pilihan pasangannya dan kesepakatan-kesepakatan yang memungkinkan ia bisa merasa aman, sejahtera dan bahagia.

Ketika sudah memasuki bahtera perkawinan, setiap pasangan baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang penuh untuk meneruskan atau menghentikan kesepakatan hidup bersama dalam perkawinan, karena alasan-alasan bisa mencederai makna kebersamaan tersebut. Yaitu apa yang kita kenal dalam fiqh dengan perceraian (thalaq), atau gugatan perceraian (khulu’).  []

Exit mobile version