Menjadi Perempuan dengan Leluka yang Tak Kutukar

Aku ingin ia tahu: luka bisa jadi pelindung. Luka bisa jadi pelajaran. Luka bisa jadi nyala api yang menuntunnya agar tak jatuh di lubang yang sama.

Menjadi Perempuan

Menjadi Perempuan

Mubadalah.id – Aku masih duduk di sudut warung ini, menatap sendok kopi yang kuputar tanpa niat. Entah sudah berapa kali membuat kopi yang tak habis-habis ini. Barangkali, aku hanya ingin ditemani wangi pahit ini, agar hidupku terasa sedikit lebih nyata.

Aku lelah. Tapi siapa yang peduli? Dunia tak pernah benar-benar mendengarkan keluhan orang sepertiku. Perempuan tanpa gelar. Tanpa suami. Tanpa siapa-siapa—kecuali anak perempuanku yang kini tidur pulas di rumah sewa sempit, memeluk boneka yang aku beli dari sisa keringat jadi pelayan warung.

Lucu, ya. Dulu aku ingin jadi guru. Atau apalah yang bisa membuat anak-anak memanggilku dengan penuh hormat. Tapi sekarang? Aku menjadi perempuan dengan panggilan “mbak” dan pandangan sinis atau lirikan nakal.

Apa aku marah menjadi perempuan? Kadang. Tapi lebih sering aku hanya diam. Diam dan menunggu waktu berjalan lebih cepat, agar malam segera datang dan aku bisa pulang. Mengunci diri. Mengusap kepala anakku yang sedang tumbuh tanpa tahu betapa berdarahnya perjuangan ibunya.

Kadang aku ingin berteriak. Mengutuk lelaki itu yang pernah bilang cinta, tapi lari saat kutunjukkan dua garis merah di test pack murahan. Tapi buat apa? Namanya bahkan sudah menguap di kepala orang-orang. Hanya aku yang masih menyimpannya dalam kenangan paling busuk.

Aku Menangis dalam Sunyi

Dulu, saat aku bilang aku hamil, dunia seperti pecah. Ibuku terisak sampai suaranya tak keluar. Ayahku… ah, Ayah. Ia jatuh, tubuhnya kaku, dan sejak itu tak pernah membuka mata lagi. Aku membunuh harapan mereka dengan satu kesalahan kecil yang kucinta sepenuh hati.

Anakku. Hanya itu yang membuatku bertahan. Wajahnya, setiap pagi, adalah matahari yang baru. Ia tak pernah bertanya siapa ayahnya. Mungkin belum saatnya. Mungkin juga, ia tahu: ibunya sudah cukup remuk tanpa harus mengungkit sesuatu yang tak ada.

Orang-orang suka bilang aku kuat. Tapi mereka tak tahu, setiap malam aku menangis dalam sunyi, takut besok tak bisa memberi makan. Takut harga diriku habis dijilat waktu. Takut anakku tumbuh jadi cermin yang retak.

Aku menabung diam-diam. Uang receh, uang seribu, uang koin dari kembalian belanja. Aku kumpulkan, bukan untuk pergi, tapi untuk membangun harapan kecil: membuka warung sendiri. Warung di rumah, tempat aku bisa bekerja tanpa digoda, tanpa disentuh, tanpa harus berpura-pura baik kepada pelanggan yang melecehkanku dengan pandangan mereka.

Aku tahu hidup tak akan berubah dalam semalam. Tapi setidaknya, aku ingin meninggalkan sesuatu. Bukan rumah mewah. Bukan warisan. Tapi harga diri. Agar kelak, jika anakku berdiri di hadapan dunia, ia bisa berkata: “Ibuku pernah jatuh, tapi ia tak pernah menyerah.”

Ah, mungkin aku sedang berbicara sendiri. Di warung sepi ini. Dengan kopi yang hampir dingin. Tapi jika ada yang mendengar, biarlah ia tahu: aku bukan perempuan sempurna.

Tapi aku, menjadi perempuan yang memilih tetap hidup, meski dunia sering kali berkata: mati saja lebih baik.

Tak Ada Sosok Bapak

Di hari-hari berikutnya, ombak tak lagi landai. Bukankah memang selalu begitu?

Anakku sekarang sudah duduk di bangku kelas tiga SD. Mulai pintar menulis puisi. Suka menggambar wajah perempuan dan anak kecil yang saling berpegangan tangan. Katanya, itu aku dan dia. Tapi gambar itu selalu hampa di sisi kanan. Tak ada sosok bapak. Hanya langit kosong dan daun-daun yang luruh.

Dan sejak itu, satu per satu pertanyaan mulai datang.

“Bapakmu kerja di mana, Dek?”

“Kenapa kalau ambil rapor, cuma sama Ibu terus?”

“Kamu anak siapa, sih?”

Pertanyaan-pertanyaan yang tampak lugu, tapi terasa seperti silet di dada.

Anakku selalu diam. Ia hanya menggigit bibir, menunduk, lalu pulang dengan wajah kelabu. Dan malam itu, ia bertanya dengan suara yang lebih lirih dari biasanya,

“Bu,bagaimana rasanya punya Bapak? Kenapa di rumah kita tak ada Bapak ?”

Aku tercekat. Mataku mematung ke dinding yang mengelupas. Suaraku tercekat di kerongkongan. Ingin kujawab: “Karena ia pengecut.” Ingin kuteriakkan: “Karena ia memilih kabur daripada bertanggung jawab!”

Tapi yang keluar hanyalah bisikan, “Nanti, ya, Nak. Kalau kamu sudah besar.”

Sejak malam itu, ia tak pernah bertanya lagi. Tapi aku tahu, anak sekecil itu sudah belajar menelan kecewa. Ia belajar menyimpan luka di tempat yang tak kelihatan.

Kadang aku dengar tetangga berbisik saat aku lewat membawa belanjaan.

“Itu tuh, yang punya anak tapi gak jelas suaminya siapa.”

“Cantik, tapi sayang… nasibnya kelabu.”

“Pasti gara-gara kurang agama.”

Karena Aku, Perempuan

Lucu.

Seolah-olah menjadi perempuan yang jatuh harus dihukum selamanya. Seolah-olah kesalahan yang pernah dibuat, yang sudah ditebus dengan kehilangan, kesepian, dan kerja mati-matian, tak cukup untuk mereka ampuni.

Aku pernah ingin pindah atau pulang kampung. Meninggalkan gang ini, orang-orang ini. Tapi dunia macam apa yang menjamin tempat baru akan lebih baik? Aku perempuan biasa. Tak punya cukup tabungan, tak punya cukup waktu untuk memulai lagi dari nol. Dan lagi pulang kampung hanya akan merobek luka baru untuk putriku.

Jadi yang kulakukan adalah tetap berdiri. Menyambut pagi meski semalam tak bisa tidur. Menjawab sapaan dengan senyum meski hatiku diguyur ombak kecil yang makin lama makin tajam. Karena aku tahu, jika aku menyerah, dunia akan bertepuk tangan.

Dan aku tidak mau memberinya kemenangan.

Aku tak ingin anakku tumbuh dengan rasa malu karena lahir dari luka.

Aku ingin ia tahu: luka bisa jadi pelindung. Luka bisa jadi pelajaran. Luka bisa jadi nyala api yang menuntunnya agar tak jatuh di lubang yang sama.

Malam ini, ia tertidur sambil memelukku. Napasnya tenang.
Dan aku berbisik ke ubun-ubunnya, “Maaf, Nak. Dunia memang kejam. Tapi kamu tak sendirian. Ada Ibu, yang akan tetap jadi tembok saat semua pintu menutup.”

Karena aku mungkin bukan siapa-siapa. Tapi aku perempuan.

Dan seorang perempuan, jika sudah memilih bertahan, bisa lebih kuat dari badai mana pun. []

 

Exit mobile version