Judul Buku : Umat Bertanya, Ulama Menjawab
Penulis : Nyai Hj. Luluk Farida Muchtar dkk
Jumlah Halaman : 213 Hlm
Penerbit : Rahima
Cetakan : Cetakan Pertama, April 2008
ISBN : 978-979-25-4915-7
Mubadalah.id – Saat saya berjalan melewati lorong rumah Joglo, saya melihat ada salah satu buku yang cukup menarik perhatian saya. Buku tersebut adalah Umat Bertanya, Ulama Menjawab.
Buku yang ditulis oleh Nyai Hj. Luluk Farida Muchtar dkk ini ternyata membahas berbagai isu yang sering muncul di tengah masyarakat, mulai dari persoalan keluarga, karier, hingga pernikahan.
Setelah membacanya, saya merasa banyak pertanyaan dan keraguan yang selama ini ada di kepala saya akhirnya terjawab. Buku ini memberikan penjelasan yang logis dan disertai dalil yang kuat. Salah satu tema yang paling menarik perhatian saya adalah tentang perempuan menjadi pemimpin.
Dalam pembahasan ini menceritakan kisah tentang Arman, seorang mahasiswa yang kampusnya akan mengadakan pemilihan senat mahasiswa fakultas. Arman punya teman perempuan yang cerdas dan cakap, tapi ia ragu untuk mencalonkannya karena pernah mendengar bahwa dalam Islam perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Ia pun bertanya:
Bagaimana sebenarnya pandangan Islam soal kepemimpinan perempuan? Apakah benar perempuan dilarang menjadi pemimpin dalam Islam?
Pertanyaan itu dijawab oleh Nyai Hj. Luluk Farida, salah satu narasumber dalam buku ini. Ia menjelaskan bahwa persoalan kepemimpinan perempuan memang masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Beberapa ulama, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam At-Thabari, memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin, khususnya dalam bidang-bidang tertentu seperti hakim. Namun, ada pula yang tidak memperbolehkan, seperti Imam Baghawi.
Ayat Kepemimpinan
Perdebatan ini sering merujuk pada al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 34 yang berbunyi, “Laki-laki adalah qawwam atas perempuan.”
Kata qawwam kerap orang-orang artikan sebagai “pemimpin”, tetapi Nyai Luluk menjelaskan bahwa arti kata ini bisa lebih luas yaitu bisa menjadi seorang penjaga, pelindung, penanggung jawab, atau pendidik.
Bahkan menurut Nyai Luluk, jika kita memahami ayat ini secara menyeluruh, maka kepemimpinan laki-laki yang disebutkan dalam ayat tersebut disebabkan oleh dua hal: anugerah Allah dan tanggung jawab nafkah yang ditanggung laki-laki.
Lebih jauh lagi, kata Nyai Luluk, jika kita melihat konteks turunnya ayat (asbabun nuzul), ayat ini berkaitan dengan kasus seorang perempuan yang mengadu kepada Rasulullah karena dipukul oleh suaminya.
Maka, ayat ini sebenarnya bersifat kasuistik dan tidak bisa kita tafsirkan secara tekstual saja. Begitu juga dengan hadis Nabi yang menyebut perempuan tidak layak memimpin. Maka itu adalah komentar dalam konteks tertentu pada masa itu, dan tidak bisa kita jadikan alasan mutlak untuk menolak kepemimpinan perempuan di masa sekarang.
Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin
Dari pembahasan ini, saya menyimpulkan bahwa Islam sejatinya tidak membatasi kepemimpinan hanya pada laki-laki. Siapa pun yang memiliki ilmu, kemampuan, dan keteladanan, baik laki-laki maupun perempuan. Maka ia berhak menjadi pemimpin publik.
Bukti-bukti sejarah juga mendukung hal ini. Dalam Al-Qur’an, kita mengenal Ratu Balqis yang sukses memimpin Negeri Saba.
Bahkan dalam sejarah Islam, Siti Aisyah pernah memimpin pasukan dalam Perang Jamal. Di Indonesia, kita punya presiden perempuan Megawati Soekarnoputri. Dan di masa lalu Kerajaan Aceh dipimpin oleh ratu-ratu yang disegani, di antaranya Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan Sultanah Kamalat Syah.
Bahkan di lingkungan saya sendiri, di Institut Studi Islam Fahmina, presiden DEMA-nya adalah seorang perempuan bernama Siti Robiah.
Karena itu, sudah saatnya kita berhenti mempertanyakan kemampuan perempuan dalam memimpin. Kepemimpinan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh kapasitas dan integritas. Laki-laki maupun perempuan, selama mampu dan layak, berhak untuk menjadi pemimpin. []