Perempuan, Intimidasi dan Hak Bersuara

Kalau kamu perempuan
Punya opini dan lantang bersuara
Mereka akan menjatuhkanmu dengan segera
Mereka akan meragukan kemampuanmu
Merendahkanmu, mempermalukanmu, mengintimidasimu
Melabeli kamu, menuduh dan menyudutkanmu
Tak peduli seberapa valid argumenmu
Argument akan direspon secara agresif atau pasif-agresif
Mereka ingin perempuan selalu di kelas dua
Pada tatanan khayalan mereka
Perempuan pasif tentu jauh lebih disenangi

Beberapa minggu belakangan ini saya mendapatkan beberapa respon yang kurang menyenangkan sebagai respon pada tulisan dan opini saya di media sosial. Kebetulan, sebagian besar adalah lelaki.

Ada yang menuduh saya tidak membaca tafsir dan mengutip sembarangan. Ada yang mengatakan saya menulis karena hawa nafsu, bukan dengan ilmu. Ada yang melabeli saya sebagai “feminazi sialan”. Ada yang mengintimidasi dengan “Dih geer banget lu betina”.

Secara personal, saya menjadi bersimpati pada mereka yang mendapatkan label dan penghakiman seperti, “dasar liberal”, kamu kafir”, “kamu atheis”, “dasar sesat” dan sebagainya. Juga ancaman seperti, “report aja akun ini”, “laporkan aja dia”, dan lain-lain, hanya karena mereka berani bersuara atau memiliki pendapat yang berbeda.

Hak-hak untuk bersuara dalam masyarakat diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia no. 9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Hal ini tentu berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi, kaum-kaum marjinal, minoritas dan rentan, masih susah mendapatkan kemerdekaan ini. Termasuk sebagian perempuan.

Dalam buku “60 Hadits Shahih” karya Kyai Faqihuddin Abdul Kodir, saya menemukan beberapa hadits yang membuat saya menyadari bahwa komentar-komentar seperti di atas adalah bentuk diskriminasi. Buku ini sekaligus memberikan kelegaan karena ternyata sikap saya sesuai dengan nilai-nilai Islam yang humanis.

Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aisyah RA, istri Nabi Muhammad SAW, ketika mendengar apa pun yang tidak dimengerti maksudnya, ia akan selalu bertanya memastikan, sampai ia memahaminya dengan benar. Suatu saat, Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Barangsiapa yang dihisab, sekecil apa pun, ia pasti akan diazab’.

Aisyah RA bertanya menegaskan, ‘Bukankah Allah SWT berfirman bahwa orang mukmin juga akan dihisab dengan perhitungan yang ringan?’. Nabi Muhammad SAW menimpali, ‘Itu hanya dihadapkan (di hadapan pengadilan Allah). Tetapi, barangsiapa yang dihisab dengan teliti, pasti akan binasa.” (HR. Imam Bukhari dalam Shahih-nya no. 103)

Hadits ini merekam tradisi belajar seorang murid yaitu Sayyidah Aisyah RA yang mengajukan pertanyaan kritis pada sang guru yaitu Rasulullah SAW. Hadits ini menginspirasi bahwa dalam relasi guru dan murid atau pun suami dan istri untuk terbuka pada pendapat. Istri/perempuan berhak bersuara untuk bertanya dan mengkritik atas sesuatu yang dianggapnya melenceng atau menjauhi kebaikan bersama.

Keterbukaan pada pendapat adalah bentuk komunikasi dalam belajar agar saling memahami. Kita dapat mendengarkan dan memahami terlebih dahulu, kemudian berbicara dan meminta dipahami.

Saat mereka mengatakan bahwa saya tidak membaca, sembarangan mengutip, dan menulis dengan hawa nafsu bukan ilmu, mungkin mereka memahami bahwa perempuan (saya) itu kurang akal dan kurang agama. Dalam hadits shahih menyatakan, “Bahwa perempuan itu kurang akal dan kurang agama”. (Ghayda Muhammad Abdul Wahhab al-Mishri, Syahadat al-Mar’ah…..hlm. 223-224)

Dalam buku Qira’ah Mubaadalah, Abu Syuqqah mengartikan “naqishat ‘aqlin” itu bukanlah “kurang akal”, tetapi “kurang berpikir” atau “kurang nalar”. Kekurangan akal yang dimaksud terjadi karena struktur sosial yang tidak memberi perempuan kesempatan untuk belajar dan berlatih berpikir.

Artinya, hadits tersebut tidak sedang menghakimi dan melabel perempuan sebagai “kurang akal”, tapi menjelaskan diskriminasi belajar pada perempuan. Diskriminasi ini yang dapat digunakan sebagai validasi untuk menjadi superior dan merendahkan perempuan dalam ilmu pengetahuan.

Dalam suatu hadits, Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesama muslim adalah saudara, tidak boleh saling menzhalimi, mencibir, atau merendahkan. Ketakwaan itu sesungguhnya di sini”, sambil menunjuk dada dan diucapkan tiga kali. Lalu Rasulullah melanjutkan, “Seseorang sudah cukup jahat ketika ia sudah menghina sesama saudara muslim. Setiap muslim adalah haram dinodai jiwanya, hartanya, dan kehormatannya”. (HR. Imam Muslim dalam kitab Shahih no. 6706)

Prinsip teks hadits ini bersifat universal, yaitu persaudaraan sesama manusia yang menjauhkan diri dari melakukan kejahatan. Hadits ini menegaskan bahwa Islam hadir untuk kebaikan dan kerahmatan bagi manusia.  Ia menegaskan hak-hak manusia yaitu hak hidup (darah), hak ekonomi (harta), dan hak sosial (kehormatan).

Setiap laki-laki maupun perempuan berhak atas kerahmatan, kemaslahatan, kebaikan, dan keadilan. Segala bentuk kekerasan, perendahan, pelecehan, peminggiran dan penzaliman tentu saja tidak direstui Rasulullah SAW. Ironisnya, saya dan mungkin perempuan lainnya yang sedang belajar dan menggunakan hak bersuara, mendapatkan hal-hal yang buruk hanya karena saya perempuan.

Padahal larangan untuk tidak berbuat jahat pada orang lain sudah jelas dalam Islam, seperti yang diriwayatkan dalam hadits di atas. Juga pada hadits yang diriwayatkan oleh Yahya al-Mazini RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak diperbolehkan mencederai diri sendiri maupun mencederai orang lain”. (HR. Imam Malik dalam kitab Muwaththa’ no. 1435)

Laki-laki dan perempuan tidak boleh saling menyakiti orang lain dan juga tidak boleh menyakiti diri sendiri. Setiap perbuatan yang kita lakukan harusnya maslahat bagi semua orang, tidak boleh ada kemudharatan. Mengintimidasi perempuan karena argumennya adalah bentuk kekerasan dan merendahkan perempuan.

Setiap komentar yang bertujuan untuk menyakiti, menghina, dan merendahkan orang lain disebut dengan intimidasi. Mereka tidak akan memberikan kritik yang membangun karena mereka ingin merasa lebih unggul.

Jabir bin Abdillah RA menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling aku cintai dan paling dekat dengan tempatku kelak di hari kiamat adalah mereka yang memiliki akhlak mulia. Sementara, orang yang paling aku benci dan tempatnya paling jauh dari diriku kelak di hari kiamat, adalah mereka yang keras dan rakus, suka menghina dan sombong.” (HR. Sunan at Tirmidzi no. 2103 dan 2150)

Setiap manusia harus melakukan kebaikan pada manusia yang lain. Manusia yang memiliki akhlak yang mulia adalah yang paling dicintai Nabi Muhammad SAW. Perampuan tidak boleh merendahkan laki-laki. Pun laki-laki tidak boleh merendahkan perempuan. Menurut Kyai Faqih, cara pandang yang merendahkan orang lain adalah awal dari segala tindak kekerasan yang akan melegitimasi pengabaian, cibiran, hinaan, kebencian, dan akhirnya kekerasan.

Melalui pengalaman negatif di atas, saya menjadi belajar bagaimana memperlakukan orang-orang yang tidak baik. Saya tidak ingin menjadi orang jahat hanya karena menjadi korban. Setiap sikap baik tidak akan selalu direspon dengan baik oleh orang lain. Tapi, berusaha menjadi baik adalah pelajaran seumur hidup. []

Exit mobile version