Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

Memahami konteks perbedaan ini seharusnya dapat memperkaya dan dapat memandang fikih secara profesioanal.

Separuh Mahar

Separuh Mahar

Mubadalah.id – Penulis meyakini masyarakat awam sudah banyak yang tahu, meskipun tidak semuanya. Karena penulis pernah ditanya, “bagaimana mahar seorang istri yang dicerai sebelum  melakukan hubungan suami istri (dukhul). Bagaimana nanti status kepemilikan maharnya itu?” sebagai jawaban sementara lansung saya jawab “suami hanya bayar separuhnya saja”.

Di antara pembahasan penting dalam fikih pernikahan adalah masalah kepemilikan mahar oleh istri ketika talak sebelum terjadi hubungan intim atau sebelum kematian. Sebelum menyebutkan ayat, penulis akan memberikan pendapat para ulama. Para ulama ahli fikih (fukaha’), sepakat bahwasanya ketika istri ditalak padahal belum berhubungan suami istri, maka suami hanya memberikan separuh mahar untuk istri.

Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

 Artinya: Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (Q.S al-Baqarah[237]:2).

Sampai di sini saya kira sudah jelas bahwa suami hanya membayar separuhnya. Beda cerita nanti kalau misalnya istrinya sudah mengikhlaskannya, dengan cara dihibahkan misalnya.

Namun lanjutannya, bukan di sini yang menjadi objek perdebatan para ulama. Para ulama berdiskusi mengenai landasan kepemilikan istri atas mahar tersebut, sebelum dukhul. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab bidayatul mujtahid wanihayatul mutashid miliknya Ibn Rusyd:

 وَسَبَبُ اخْتِلَافِهِمْ هَلْ تَمْلِكُ الْمَرْأَةُ الصَّدَاقَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوِ الْمَوْتِ مِلْكًا مُسْتَقِرًّا؟ أَوْ لَا تَمْلِكُهُ؟ فَمَنْ قَالَ: إِنَّهَا لَا تَمْلِكُهُ مِلْكًا مُسْتَقِرًّا – قَالَ: هُمَا فِيهِ شَرِيكَانِ مَا لَمْ تَتَعَدَّ فَتُدْخِلَهُ فِي مَنَافِعِهَا. وَمَنْ قَالَ: تَمْلِكُهُ مِلْكًا مُسْتَقِرًّا، وَالتَّشْطِيرُ حَقٌّ وَاجِبٌ تَعَيَّنَ عَلَيْهَا عِنْدَ الطَّلَاقِ وَبَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْمِلْكِ – أَوْجَبَ الرُّجُوعَ عَلَيْهَا بِجَمِيعِ مَا ذَهَبَ عِنْدَهَا

Artinya “Dan sebab perbedaan pendapat mereka adalah: apakah wanita memiliki mahar sebelum dukhūl atau wafat dengan kepemilikan yang tetap (pasti), ataukah ia tidak memilikinya?”

Pandangan Ulama

Nah di sini ada dua ulama yang memiliki dua pandangan yang berbeda. Ada yang berpendapat bahwa begitu akad nikah sah, dan mahar telah ditentukan. Maka istri sudah memiliki mahar secara penuh, meskipun belum terjadi dukhul. Maka ketika terjadi talak, suami wajib mengganti separuh dari hak milik istri_bukan karena ia belum memilikinya, tapi karena Allah yang menentukan pengurangan itu secara khusus.

Nah, berangkat dari pandangan ini, mahar adalah hak istri dari sejak awal, dan tidak tergantung sudah atau belumnya didukhul. Sehingga, konsekuensinya, jika si suami wafat sebelum dukhul, maka istri tetap berhak atas seluruh mahar, bahkan juga atas warisan.

Pandangan satunya mengatakan bahwa istri belum memiliki mahar secara utuh sebelum terjadi dukhul. Sebaliknya, haknya atas mahar masih bersifat sementara (ملك غير مستقر), dan bias berubah.

Dalam pandangan ini, ketika talak terjadi sebelum dukhul, istri hanya mendapatkan setengah dari hak yang belum sempurna itu, dan sisanya gugur. Akibatnya, ketika suami wafat, sebelum dukhul, maka ada kemungkinan istri tidak mendapatkan mahar penuh, tergantung mazhab yang diikuti.

Islam Memuliakan Perempuan

Dari dua perbedaan pandangan ini, sangat berdampak pada praktiknya langsung. Misalnya, apakah istri bisa langsung menuntut mahar secara penuh setelah akad? Apakah ahli waris suami wajib membayarkan mahar penuh jika suami meninggal sebelum menyentuh istrinya?

Saat ini, sebagian besar otoritas fikih dan lembaga peradilan Islam mengikuti hak miliki penuh istri atas mahar, begitu mahar sudah ditetapkan dalam akad, selama akad sah dan tidak ada pembatalan. Ini sejalan dengan semangat perlindungan hak-hak istri dan penghormatan terhadap kejelasan akad.

Jadi sedikit kesimpulan yang bisa kita tarik bahwasanya dalam menyikapi ayat hukum, seperti kasus mahar ini, ulama berbeda pandangan. Namun yang perlu kita tekankan sejak dulu adalah bahwa Islam memuliakan perempuan. Seperti memberikan hak finansial yang jelas dalam pernikahan, bahkan sebelum ia tersentuh dari suaminya.

Yang menjadi perdebatan bukanlah niat untuk melemahkan hak istri. Melainkan bagaimana memahami batas kepemilikan dalam hukum syariat. Sesuatu yang mungkin dan wajar sekali dalam ranah ijtihad. Oleh karena itu memahami konteks perbedaan ini seharusnya dapat memperkaya dan dapat memandang fikih secara profesioanal. []

 

 

 

 

Exit mobile version