Mubadalah.id – Pembahasan childfree sampai saat ini masih ramai menjadi perbincangan. Padahal kalau kita tarik dalam konteks historis, childfree sudah dijalankan jauh sebelum memasuki abad ke 21. Banyak studi riset yang mengemukakan bahwa childfree sudah masyarakat terapkan. Yakni di Eropa ataupun Amerika pasca perang dunia ke II. Bahkan konsepsi childfree sudah menjadi tren keluarga milenial di beberapa negara Asia. Seperti Jepang dan Korea. Sedangkan di Indonesia, konsepsi childfree ini masih menjadi polemik masyarakat yang diperdebatkan.
Beberapa kalangan masyarakat Indonesia yang secara terang-terangan mengikuti gaya keluarga childfree mendapatkan respon yang beragam. Terdapat kalangan yang pro dan kontra terhadap childfree. Bila kita amati, kalangan pro lebih didominasi oleh kaum feminis yang tidak sepakat apabila identitas perempuan selalu kita sandingkan dengan pengasuh anak. Selain itu memperjuangkan hak-hak perempuan, sehingga perempuan independen terhadap pilihannya. Sedangkan kalangan kontra didominasi oleh kaum yang masih menguatkan peran sosial budaya dan dogma keagamaan.
Terdapat hal yang unik jika kita amati bersama. Yaitu terdapat sintesa antara faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia dan Eropa ataupun Amerika memilih untuk childfree. Adalah faktor makro seperti meluasnya gerakan feminisme yang menyuarakan hak perempuan, tingkat pendidikan yang meningkat, dan kerja sebagai prioritas utama untuk memenuhi kebutuhan.
Sedangkan faktor mikro sebagaimana yang Hanandita jelaskan dalam risetnya yang meliputi kesiapan mental, lalu keinginan bahagia bersama pasangan saja. selain itu juga minimnya kesejahteraan ibu dan anak.
Pronatalitas versus Antinatalitas
Kendati demikian, yang perlu kita cermati adalah adanya corak pemikiran yang menjadi akar konstruksi pro dan kontra persoalan childfree. Corak pemikiran ini adalah pronatalitas dan antinatalitas. Pronatalitas bisa kita pahami sebagai pemikiran yang menjunjung angka kelahiran. Sedangkan antinatalitas merupakan corak pemikiran yang cenderung meminimalisir angka kelahiran.
Tentu saja pronatalitas lebih mendominasi dalam struktur masyarakat. Dalam konteks sosial misalnya keluarga yang tidak memiliki anak meskipun mereka telah sepakat, maka keluarga tersebut mendapatkan label yang negatif dari masyarakat sekitar. Adakalanya dicap sebagai pasangan yang memiliki penyakit reproduksi (mandul). Hal ini terjadi penyebabnya adalah masyarakat pronatalisme memahami peran utama seorang perempuan adalah melahirkan dan menghasilkan keturunan.
Melahirkan atau memiliki anak dalam masyarakat pronatalis sering kita representasikan sebagai simbol dari identitas perempuan. Bahkan keinginan tidak memiliki anak merupakan tindakan yang kita anggap tidak normal. Identitas perempuan harus dan hanya menghasilkan anak inilah yang menjadi dogma sosial masyarakat yang pronatalisme. Parahnya dogma ini menguat dengan ajaran keagamaan yang tidak dikontekstualisasi oleh masyarakat. Seperti anjuran menikahi perempuan yang subur supaya bisa menghasilkan banyak keturunan.
Kalau kita berkaca kepada teori konstruksi sosial yang Peter L. Bergen tawarkan, bahwa konstruksi pronatalitas semacam ini telah menghegemoni masyarakat sehingga habitus yang masyarakat kembangkan, adalah pasangan suami-istri pasca pernikahan harus memiliki anak. Terlebih adagium yang dikonsumsi kolektif oleh masyarakat yaitu “banyak anak maka banyak rezeki.”
Stigma Negatif terhadap Pasangan Childfree
Pronatalitas yang bercengkrama dalam masyarakat bukan tanpa perlawanan. Beberapa kalangan melakukan perlawanan terhadap stigma negatif kepada pasangan yang sepakat untuk childfree. Kalangan antinatalitas hendak meluruskan pemikiran pronatalitas yang dinilai kurang tepat dalam memahami identitas dan peran perempuan di masyarakat. Tidak lupa juga ingin menghidupkan privilege perempuan, dan kontekstualisasi pemahaman yang bersifat keagamaan.
Berkaitan dengan identitas dan peran perempuan di masyarakat, kalangan antinatalitas lebih sepakat apabila identitas perempuan kita lepaskan dari makhluk yang diciptakan hanya untuk melahirkan anak. Perempuan lebih kita maknai sebagai makhluk sosial yang memiliki kontribusi lebih dari sekedar melahirkan dan merawat anak. Perempuan memiliki peran publik untuk mengeksplorasi kegiatan yang memiliki daya guna dan signifikan untuk kehidupannya.
Sedangkan pada persoalan privilege, perempuan sejatinya memiliki hak reproduksi. Terkadang dalam masyarakat kita perempuan masih dianggap objek reproduksi, sedang laki-laki sebagai subjek. Hal ini yang hendak garis bawahi oleh kalangan antinatalitas, bahwasanya laki-laki ataupun perempuan yang telah menikah berhak menjadi objek dan subjek dalam persoalan reproduksi anak. Tidak ada dominasi lebih antara satu dengan lainya.
Privelege Hak Reproduksi Perempuan
Menurut Masdah F. Mas’udi, privilege dalam konteks ini adalah hak reproduksi perempuan. Yaitu di mana perempuan berhak menghendaki kehamilan dan menentukan jumlah anak yang ia inginkan. Karena ini menjadi pilihan bebas dari individu yang bersangkutan.
Pihak manapun tidak bisa mengintervensi bahkan memaksakan kehendak dengan cara apapun. Terlebih dengan cara kekerasan. Karena yang menanggung kelahiran adalah kedua belah pihak suami istri yang bersangkutan, khususnya istri yang melahirkan. Akan tetapi habitus pronatalisme mengkaburkan hal semacam ini.
Ajaran Islam dengan muatan kesetaraan dan keadilan juga melarang adanya sikap intervensi ataupun pemaksaan. Sebab ini sama halnya dengan melanggar prinsip (Q.S. An-Nisa’: 19). Oleh karena itu kalangan antinatalitas mengembalikan keputusan childfree berdasarkan kemaslahatan dan kemudharatan dari kedua pasangan.
Sebab situasi dan kondisi reproduksi setiap pasangan beda-beda. Apabila childfree kita nilai merugikan ya bisa tidak dilakukan. Sedangkan apabila childfree kita nilai lebih maslahat bagi keduanya dengan mempertimbangkan segala aspek juga bisa dilaksanakan.
Jaminan Kesejahteraan Ibu dan Anak Adalah Solusi
Selanjutnya mengenai tentang adanya distorsi pemahaman yang bersifat keagamaan. Distorsi bisa kita lihat ketika masyarakat pronatalitas memahami hadis “Nikahilah wanita yang subur dan pengasih, karena aku bangga dengan banyak anak kalian.” secara tekstual. Tentu saja hadis ini harus kita kontekstualisasi supaya sesuai dengan semangat tuntutan zaman. Karena sangat memungkinkan sekali alasan Rasulullah Saw. cenderung untuk mengeskalasi kelahiran anak adalah agenda untuk menyebarkan agama Islam.
Sedangkan pada saat ini dengan banyaknya orang Muslim di seluruh dunia mungkin tidak lagi melihat kuantitas, melainkan kualitas. Sebab itu kalangan antinatalitas melihat apabila terdapat pasangan memilih childfree mereka tetap bisa melahirkan kebaikan dan kemaslahatan untuk menunjukan kualitas mereka sebagai hamba Allah Swt.
Alih-alih memperdebatkan pro dan kontra mengenai pembahasan childfree di kalangan pronatalitas ataupun antinatalitas, terdapat satu hal yang sekiranya bisa mempertemukan kedua kalangan. Yaitu jaminan kesejateraan Ibu dan anak. Saya memiliki keyakinan bahwa kedua kalangan ini akan menyepakai persoalan ini. Tidak sedikit pasangan yang memilih childfree dengan dalih khawatir akan kesejahteraan anak. Begitu juga pasangan yang tidak childfree pasti memiliki kekhawatiran juga mengenai hal ini.
Kesejahteraan Ibu dan Anak
Tentu saja kesejahteraan ibu dan anak di Indonesia masih “raport merah”. Berdasarkan laporan UNICEF tahun 2020 tentang situasi anak di Indonesia menggambarkan bahwa mortalitas bayi, stunting dan gizi, akses kepada pendidikan usia dini menunjukan ada ketimpangan besar antara populasi Indonesia yang sejahtrera dengan populasi yang tertinggal dan kemajuan.
Raport merah ini yang harus segera pemerintah garap. Sebab perdebatan pembahasan childfree ataupun resesi seks akan menguat jika dari negara tidak memberikan kesejahteraan yang pasti terhadap keluarga. Terutama Ibu sebagai pihak yang melahirkan dan anak sebagai pihak yang terlahirkan. Setidaknya hak ibu dan anak perlu kita perhatikan dengan seksama agar tidak ada lagi ketimpangan yang menyebabkan penurunan demografi.
Hadirnya jaminan kesejahteraan Ibu dan anak bisa saja menjadi salah satu solusi hiruk-pikuk persoalan keluarga kontemporer. Sebab kesejahteraan Ibu dan anak merupakan kondisi yang sekiranya mampu menjamin terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar Ibu dan anak dalam keluarga. Baik secara fisik, psikis, sosial, ataupun ekonomi. []