Tafsir Ayat Soal Kepemimpinan Perempuan

Dengan melihat asbabun nuzul ini, ayat ini turun berkenaan dengan kasus khusus menyangkut masalah keluarga dan tidak ada kaitannya dengan keterlibatan perempuan dalam politik.

Ayat Kepemimpinan

Ayat Kepemimpinan

Mubadalah.id – Setiap ayat Al-Qur’an yang Allah Swt turunkan ke Nabi Muhammad Saw selalu ada situasi dan peristiwa yang melatarbelakanginya. Karena itu, penting bagi kita untuk memahami konteksnya agar tidak salah dalam menafsirkan maknanya. Termasuk misalnya soal ayat kepemimpinan dalam Surat An-Nisa ayat 34.

Dalam ayat ini, kita akan mendapatkan fakta bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kasus salah seorang istri sahabat yang ditampar suaminya. Sang istri mengadu kepada Nabi yang dijawab oleh Nabi “al-qishash” (balaslah). Ketika perempuan itu pergi turunlah Jibril dengan ayat di atas (lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Dar al-Turats, Cairo, juz I, h. 491).

Dengan melihat asbabun nuzul ini, ayat ini turun berkenaan dengan kasus khusus menyangkut masalah keluarga dan tidak ada kaitannya dengan keterlibatan perempuan dalam politik.

Hal itu semakin jelas jika kita memperhatikan teks ayat secara utuh, yakni bahwa kepemimpinan dalam keluarga itu terjadi karena sebagian (tidak semua) laki-laki melebihi sebagian perempuan (bima fadhdhal’allahu ba ‘dhahum ‘ala ba’dhin) dan karena laki-laki memberi nafkah istri. Jika demikian halnya, tidak ada alasan untuk menarik cakupan ayat ini dari wilayah domestik ke arah wilayah publik.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada ayat kedua (QS. al-Baqarah ayat 228). Ayat ini terletak di tengah ayat-ayat yang berbicara mengenai perempuan yang dicerai.

Dengan adanya keterkaitan (munasabah) di antara ayat-ayat itu, tampak bahwa persoalan kelebihan laki-laki atas perempuan dalam ayat ini sama sekali tidak berkaitan dengan ketiadaan peran politik dan partisipasi perempuan dalam urusan kenegaraan.

Memahami al-Ahzab ayat 33

Selanjutnya, ayat ketiga (QS. al-Ahzab ayat 33) juga memiliki mukhathab (sasaran pembicaraan) yang khusus, yakni para istri Nabi. Ayat ini merupakan satu di antara beberapa kekhususan yang berlaku untuk para istri Nabi. Seperti tidak boleh menikah setelah Nabi wafat (QS. al-Ahzab ayat 53).

Lalu, dilipatgandakan dosanya jika melakukan perbuatan keji (QS. al-Ahzab ayat 30). Demikian juga pahalanya dilipatkan dua kali jika melakukan amal saleh (QS. al-Ahzab ayat 31). Dengan kekhususan itu, ayat ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang perempuan berkiprah di dunia publik.

Apalagi sejarah juga membuktikan bahwa para istri Nabi tidak dikurung dalam rumah. Melainkan juga pergi ke masjid, menghadiri majlis ilmu, menengok orang sakit, ta’ziyah dan melakukan aktivitas sosial lain.

Bahkan setiap kali pergi berperang Rasulullah selalu di dampingi istrinya. Ini berarti bahwa tinggal di rumah bagi istri Nabi sendiri bukan berarti tidak boleh keluar dari pintu rumah. Melainkan lebih baik tinggal di rumah dari pada keluar kalau keluarnya itu menjadi sasaran fitnah orang-orang yang ingin berbuat jahat kepada keluarga Nabi. Seperti yang terjadi dalam peristiwa “Hadits Dha’if” (berita bohong).

Dalam peristiwa ini kaum munafik ingin menghancurkan kredibilitas keluarga Nabi dan menumbuhkan saling curiga di kalangan kaum muslimin melalui berita bohong perselingkuhan Aisyah r.a. dengan Shafwan bin Mu’aththal.

Peristiwa ini benar-benar mengguncang Nabi sampai akhirnya turun ayat yang membebaskan Aisyah dari segala tuduhan (QS. an-Nur ayat 11-18).

Dengan menempatkan ayat-ayat di atas pada konteksnya. Maka tampak bahwa ayat-ayat yang selama ini jadi alasan untuk memotong hak perempuan menjadi kepala negara sama sekali tidak tepat. []

Exit mobile version