Mubadalah.id – Satu minggu terakhir, ada dua berita baik yang muncul di berbagai lini masa media sosial. Pertama, aktivis sosial sekaligus perintis pendidikan alternatif asal Indonesia, Butet Manurung terpilih menjadi salah satu figur yang direplika menjadi 12 boneka edisi khusus dari Barbie, dalam rangka menandai Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2022 lalu. Boneka barbie Butet ditampilkan dalam busana daerah yang memakai atasan dari batik berwarna merah muda dipadukan dengan kain batik bernuansa merah muda dan hitam dengan corak bunga.
Butet tak hanya sendiri dalam menampilkan keberagaman citra perempuan, ia tampil bersama 11 perempuan dari berbagai belahan dunia lainnya untuk memperkenalkan pada anak-anak seluruh dunia bahwa karakter perempuan di dunia tak hanya sebatas yang berkulit putih, tapi ada yang berkulit coklat, mata sipit, dan bahkan berambut ikal.
Merujuk laman resmi perusahaan produsennya, Mattel, pembuatan ‘Barbie Role Models’ bertujuan untuk mendorong anak-anak untuk menemukan inspirasi dari tokoh-tokohnya yang berasal dari berbagai latar belakang budaya, ras, dan agama.
Di saat yang sama, perusahaan boneka asal negeri Paman Sam tersebut menyadari bahwa selama ini mereka menerapkan kebijakan yang terlalu eksklusif karena lebih banyak menampilkan tokoh kulit putih saja. Tak hanya itu, harapan ke depan adalah Barbie dapat berkontribusi dalam usaha pemberdayaan anak perempuan, dan menginspirasi mereka untuk mengejar impian apapun yang mereka miliki.
Kabar positif lainnya berasal dari buku ajar bagi sekolah dasar terbaru yang ditampilkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dalam edisi terbaru Bahasa Indonesia, laman sampulnya memperlihatkan tiga anak SD: seorang anak perempuan berjilbab, teman laki-lakinya yang penyandang disabilitas, dan anak perempuan lain berkulit sawo matang dan berambut keriting.
Halaman depan yang memotret karakter heterogen dari pelajar sekoalh dasar di Indonesia tadi, tentu patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, selama ini buku referensi sekolah kita cenderung monoton, dan terdapat ketidaksesuaian antara konsep dan materi yang disajikan (Asy’ari, 2017). Oleh karenanya, inovasi yang diterapkan oleh Kemendikbud perlu diapresiasi, agar tidak hanya sebatas dalam periode jangka pendek saja, tapi ketika tampuk pimpinan sekarang diganti, tradisi baik ini dapat terus dilanjutkan.
Mengapa Penting untuk Menampilkan Beragam Representasi Individu di Media?
Meski terkesan sepele, keberagaman representasi yang ditampilkan oleh Mattel dalam bonekanya, dan Kemendikbud dalam ilustrasi bahan ajarnya menunjukkan bahwa representasi di media memegang peranan penting dalam upaya internalisasi nilai-nilai luhur pada generasi muda (Qian dkk, 2015).
Lebih rincinya, media yang kita konsumsi, baik itu cetak maupun daring memiliki pengaruh besar terhadap cara kita melihat, memahami, dan memperlakukan orang. Dan dampaknya sendiri ternyata amat luas, tidak sebatas pada sesama atau dari ras atau etnis kita sendiri, tapi juga lintas budaya hingga negara.
Beberapa dekade terakhir, banyak penelitian memperlihatkan bagaimana representasi etnis-rasial di media memengaruhi orang dewasa dalam bersikap, dan selanjutnya mendorong mereka memberikan label, mana yang dicap sebagai “normal” dan “baik” atau “berbeda” dan “buruk”.
Dan representasi tersebut secara tidak langsung memiliki implikasi dunia nyata dari waktu ke waktu. Untuk anak-anak, representasi media mungkin lebih bermakna karena mereka mencari isyarat di lingkungan sosial mereka untuk mengembangkan dan membentuk pemahaman mereka tentang kelompok etnis-ras (Rogers, dkk, 2021; Shivega, 2021).
Tak heran, sedikitnya representasi karakter yang dimunculkan di media selama beberapa dekade lalu hingga saat ini, turut berdampak pada bagaimana rasisme dan ektremisme muncul. Kabar buruknya, jika ada karakter non-kulit putih yang ditampilkan di media, acap kali mereka digambarkan secara negatif.
Di Amerika misalnya, meskipun 18% dari populasinya berasal dari kelompok warga Latin, namun mereka hanya ditampilkan dalam media dengan proporsi hanya 5% dari film-film Hollywood yang ada. Bahkan karakter individu dari golongan kulit berwarna dalam acara yang paling banyak ditonton oleh anak-anak usia 2 hingga 13 tahun lebih cenderung digambarkan sebagai pelaku kekerasan.
Sedangkan untuk tokoh wanita dari semua kelompok etnis-ras non kulit putih dalam program dewasa lebih cenderung muncul sebagai penggoda, atau karakter lain yang lekat dengan objektifikasi seksual (Mastro dan Robb, 2021).
Melihat kondisi ini, tentu mengapresiasi langkah Mattel dan Kemendikbudristek saja tidak cukup. Orangtua, pelaku pendidikan hingga pekerja media perlu berupaya keras untuk tidak hanya menampilkan karakter mayoritas dalam berbagai konten yang mereka buat. Pembuat konten memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan keragaman, dan meningkatkan inklusi di media yang mereka buat untuk para generasi muda.
Sebab, mereka memiliki kesempatan luar biasa untuk menggunakan kekuatan mereka melalui beragam jenis cerita, tokoh yang dibalut dengan keanekaragaman budaya Indonesia. Apalagi dengan modal sosial cukup tinggi, diversitas Indonesia pasti akan dinikmati beragam kalangan, tak hanya sebatas warga lokal semata.
Dan efek jangka panjangnya adalah pemilik media ini akan membantu kita semua membentuk dunia yang kita inginkan, dimana Bhineka Tunggal Ika tidak hanya dijadikan sebagai slogan. Namun, direalisasikan secara nyata lewat media. []