Mubadalah.id – Akhir pekan ini, Salingers memiliki agenda apa nih? Untuk yang bingung mencari kegiatan, menonton bisa jadi salah satu pilihan kegiatan di rumah saja. Salah satu yang bisa jadi pilihan Salingers, adalah Seri Televisi Korea Selatan yang berjudul The Sound of Magic, yang memuat pesan parenting drama korea. Kisah ini diangkat dari cerita webtoon berjudul Annarasumanara.
Serial ini sangat saya rekomendasikan untuk Salingers tonton, karena selain hanya memiliki jumlah episode yang sedikit, yakni enam episode serial ini memiliki pesan parenting drama korea yang sangat penting untuk diketahui terlebih untuk generasi muda yang akan memasuki masa dewasa.
Terdapat tiga tokoh utama yang menjadi sorotan, yakni Yoon Ah Yi, Na il Deung, dan Ryu Min Hyuk atau Lee Eul. Jika dilihat dari judul dan sinopsinya, mungkin dibenak kita hanya muncul kisah remaja dan dunia sulap saja. Namun, jika kita simak dengan seksama, ada pesan parenting drama korea yang disisipkan.
Pesan Parenting Drama Korea: Anak Laki-Laki dengan Tekanan dan Tuntutan Kehidupan Tinggi
Pesan parenting drama korea dimulai dengan menceritakan alur kehidupan Na il Deung memiliki kesamaan dengan masa lalu Lee Eul (Pesulap). Mereka berdua adalah siswa yang pintar di kelasnya, dan berasal dari keluarga mapan tentunya. Na il Deung adalah anak seorang Jaksa, dimana ayah dan ibunya benar-benar mengawasi dengan ketat proses belajar dan kesehariannya. Sedangkan, Lee Eul pada masa mudanya dikenal sebagai juara kelas, yang sudah tidak diragukan lagi karena keluarganya berisi para akademisi, bahkan ayahnya adalah seorang professor.
Pada salah satu episode yang memuat pesan parenting drama korea, Lee Eul menyampaikan pada Na il Deung yang intinya “Apakah kamu menikmati jalan yang sangat dingin kamu lewati saat ini. Bukankah akan lebih nyaman untuk menikmati hidup dengan versimu sendiri”. Dan diakhir episode barulah diketahui, ternyata Lee Eul memiliki masa lalu yang tidak jauh berbeda dengan kondisi Na il Deung saat ini.
Bahkan dalam serial ini dikisahkan, ayah Na il Deung tidak segan menyebutkan bahwa untuk dihargai orang lain harus memiliki jabatan yang tinggi. Hal tersebut yang ditanamkan pada Na il Deung, yang membuatnya justru semakin menolak, karena apa yang orang tuanya inginkan justru tidak membuatnya bahagia menikmati hidup yang penuh tekanan. Ini pesan parenting drama korea yan relevan dengan kehidupan kita.
Jika dilihat, kondisi keluarga Lee Eul yang akademisi menuntut dirinya juga mengikuti jejak saudara dan juga ayahnya yang seorang professor. Akan tetapi di akhir masa sekolah dia semakin menyukai bermain-main dengan sulap dan berhalusinasi, hingga akhirnya dia terjatuh dari atas gedung dan dianggap gila oleh keluarganya sendiri. Dan sejak saat itu dia diasingkan oleh keluarganya. Keputusan yang sama kemudian dipilih oleh Na il Deung pada akhir cerita, yang memutuskan berhenti dari sekolah dan memilih jalan hidupnya sendiri. Ada Pesan parenting drama korea yang penting di sini.
Anak laki-laki dalam sistem patriarki seperti memiliki beban kehidupan yang sebenarnya jauh lebih berat dari perempuan. Masyarakat dibangun untuk memberikan standar hidup tidak hanya bagi perempuan, tapi juga laki-laki. Ya, minimal memiliki jejak karir yang sama atau tidak jauh berbeda dengan ayah mereka, seperti pada kisah di atas. Bahkan tak jarang, ketika anak mereka dianggap ‘tidak normal’ akan dikucilkan dari keluarga.
Kehidupan yang menuntut lebih banyak hal kepada laki-laki ini, berujung nanti pada saat mereka membangun rumah tangga. Saat berkeluarga, laki-laki yang belum memiliki pekerjaan mapan akan dianggap gagal oleh masyarakat, karena tidak bisa menafkahi keluarganya. Bahkan meski sudah memiliki pekerjaan untuk menafkahi sekalipun, laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan standar masyarakat kadang kala masih dianggap gagal.
Di akhir episode, ada pesan parenting drama korea dari Yoon Ah Yi, tokoh utama perempuan dalam serial ini, yang saya kutip:
“Jika tidak memenuhi standar yang ada kau akan dianggap gagal, Pada awalnya aku juga berpikir begitu, bahwa kau melarikan diri karena tidak bisa beradaptasi dengan kenyataan. Namun, sepertinya aku mulai mengerti sekarang memangnya sejak kapan mimpi juga harus mempunyai sebuah standar? Kualifikasi apa yang diperlukan untuk jadi orang dewasa yang dihormati? Aku hanya perlu jadi diri sendiri mengapa kita tidak boleh menyimpang dari standar yang dimiliki oleh orang lain.”
Sebenarnya, jika kita mau melihat secara realita di masyarakat. Feminisme ataupun gerakan kesetaraan gender bukanlah gerakan perempuan untuk memerangi laki-laki. Karena pada dasarnya yang menjadi musuh terbesar adalah sistem patriarki yang sudah mengakar.
Untuk itu juga perlu gerak bersama mendobrak bias yang menganggap laki-laki sebagai makhluk sempurna yang tidak memiliki celah kekurangan, hal ini bertujuan agar perempuan tidak lagi dianggap sebagai makhluk nomer dua yang memiliki kekurangan. Sehingga, anak laki-laki dan perempuan bebas untuk mengekspresikan diri mereka dalam mengejar impian yang mereka harapkan tanpa ada tekanan dari sekitar, terlebih tekanan untuk meneruskan impian orang tua yang mungkin berbeda dengan apa yang mereka inginkan. []