• Login
  • Register
Senin, 26 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menyuarakan Keadilan Gender tanpa Menabrak Nilai Budaya Nusantara

Upaya untuk menjadikan Feminisme tidak asing bagi masyarakat Indonesia adalah perlu. Kita dapat menyebut hal ini sebagai upaya mempribumikan Feminisme. Menjadikan Feminisme sebagai gerakan perempuan dan keadilan gender yang ramah dengan budaya Nusantara

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
21/06/2022
in Publik
0
Keadilan Gender

Keadilan Gender

907
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Feminism, like any other –ism, such as liberalism, pluralism, or socialism, has a negative connotation in Indonesian society as it is ingrained in post-colonial history (Feminisme, seperti isme-isme lain, misalnya liberalisme, pluralisme, atau sosialisme, punya konotasi negatif dalam masyarakat Indonesia sebagaimana itu berakar dalam sejarah post-colonial),”

Zezen Zaenal Mutaqin dalam “Culture, Islamic Feminism, and the Quest for Legal Reform in Indonesia.”

Mubadalah.id – Meski tujuan cita-cita Feminisme adalah baik, yaitu mengupayakan adanya kesetaraan relasi, dan keadilan gender antara perempuan dan laki-laki. Atau mengupayakan agar menempatkan posisi perempuan sebagai manusia dan bukan sebagai makhluk kelas dua yang terjajah. Namun tidak bisa memungkiri bahwa tetap saja terdapat konotasi negatif jika menyebut istilah ini.

Hal ini tidak lepas karena Feminisme merupakan produk Barat, sehingga memandang sebagai–dalam penjelasan Mutaqin–“a neo-colonial intrusion into Indonesian values (sebuah gangguan neo-kolonial dalam nilai-nilai ke-Indonesia-an).”

Sebagaimana dijelaskan oleh Raewyn Connel, dkk., dalam “Toward a Global Sociology of Knowledge: Post-Colonial Realities and Intellectual Practices” bahwa, “The long shadow of colonial history falls across whole domains of knowledge (bayangan panjang sejarah penjajahan melingkupi domain pengetahuan).”

Maka, tidak mengherankan jika narasi antara Barat (representasi penjajah) dan non-Barat (representasi bekas jajahan) tetap kuat pada masyarakat negara yang pernah dijajah. Sehingga, feminisme yang pada dasarnya adalah produk Barat memiliki konotasi negatif bagi masyarakat Indonesia. feminisme dianggap bahaya bagi nilai-nilai budaya, dan juga agama, di Nusantara.

Membumikan Feminisme sebagai Gerakan Keadilan Gender yang Ramah Tradisi Nusantara

Upaya untuk menjadikan Feminisme tidak asing bagi masyarakat Indonesia adalah perlu. Kita dapat menyebut hal ini sebagai upaya mempribumikan Feminisme. Menjadikan Feminisme sebagai gerakan perempuan dan keadilan gender yang ramah dengan budaya Nusantara.

Baca Juga:

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Tegaskan Eksistensi Keulamaan Perempuan

Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Mutaqin menjelaskan bahwa, “…the colonial period until the Reform era, the movement has been inspired by both Islamic and western feminism in addition to pre-existing cultural gender norms (periode kolonial hingga era reformasi, gerakan (perempuan di Indonesia) terinspirasi oleh Feminisme Islam dan Barat dengan tambahan norma budaya gender yang sudah ada).” Jadi, gerakan perempuan di Indonesia setidaknya terpengaruh oleh Feminisme Barat, Islam, dan budaya Nusantara.

Budaya jelas sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Jangankan dengan Feminisme sebagai ideologi maupun gerakan, bahkan agama juga tidak lepas dengan pengaruh budaya di mana agama hidup. Maka, dalam hal ini, gerakan perempuan perlu memperhitungkan budaya Nusantara yang telah melekat kuat dalam masyarakat.

Kita perlu melakukan upaya untuk menggali konsep kesetaraan dan keadilan gender dari akar sejarah dan nilai budaya Nusantara. Dan, hal itu sangat mungkin, sebab Nusantara kaya dengan warisan nilai luhur budaya yang memiliki semangat untuk memuliakan perempuan.

Memang tidak bisa memungkiri bahwa ada juga tradisi di Nusantara yang terlihat menempatkan perempuan pada posisi yang tidak adil. Maka, dalam hal ini, perlu melakukan interpretasi nilai terhadap tradisi demikian. Jadi, melihat tradisi yang seakan menunjukkan ketidakadilan gender, tidak lantas langsung mengutuk tradisi yang telah hidup berakar dalam masyarakat. Akan tetapi coba memahami agar tradisi itu sesuai dengan semangat keadilan gender atau relasi sehat antara perempuan dan laki-laki.

Pentingnya Tradisi Midang dalam Prosesi Merarik (Kawin Lari) di Suku Sasak

Misalnya, melihat tradisi Merarik (kawin lari) di Suku Sasak, kita membayangkan perempuan melarikan diri secara paksa, dan mau tidak mau harus menikah dengan lelaki yang melarikannya. Jika frontal menentang adat tradisi ini akan memberi dampak potensi chaos dalam masyarakat. Maka, perlu pemahaman yang baik dan pendekatan kultural untuk menyuarakan Merarik yang tidak menjadikan perempuan sebagai objek nikah paksa.

Rabiatul Adawiyah, dkk., dalam penelitian mereka terkait “Perempuan Nyurlembang dalam Tradisi Merarik” menjelaskan bahwa,  sejak 1980-an muncul kesadaran di antara laki-laki dan perempuan Suku Sasak bahwa menikah harus atas dasar keinginan diri sendiri, bukan karena paksaan. Sehingga, melihat Midang sangat penting dalam prosesi Merarik.

Midang merupakan proses pendekatan seorang laki-laki datang ke rumah perempuan, dari Midang inilah perempuan Suku Sasak memilih laki-laki mana yang ingin menjadi calon suami, dan merencanakan Merarik tanpa sepengetahuan orang tua perempuan karena demikian dalam adat mereka.

Jadi Midang merupakan kebebasan perempuan untuk memilih dengan laki-laki mana dia ingin menikah dan melakukan Merarik. Maka, dalam hal ini, yang perlu penekanan membangun kesadaran kepada perempuan Suku Sasak dalam memilih pasangan yang baik. Lalu kesadaran tentang usia minimal dalam melangsungkan pernikahan. Sehingga, mereka tidak akan mau Merarik oleh lelaki yang tidak sesuai keinginannya.

Sedangkan untuk menghindari Merarik sebelum masuk usia pernikahan. Sebab, menikah bukan berdasarkan pada paksaan, melainkan karena dasar keinginan diri.

Demikian termasuk satu contoh dalam menyuarakan keadilan gender dalam relasi tanpa menabrak secara frontal budaya Nusantara. Sehingga dengan demikian gerakan perempuan atau Feminisme mewujud dengan ramah dalam masyarakat Nusantara. []

Tags: GenderIndonesiakeadilanKesetaraanNusantaraTradisi Lokal
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

Pernikahan Anak

Melihat Lebih Dekat Dampak dari Pernikahan Anak

25 Mei 2025
Tantangan Difabel

Tantangan Difabel: Aku Tidak Berbeda, Hanya Hidup dengan Cara yang Berbeda

25 Mei 2025
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Tegaskan Eksistensi Keulamaan Perempuan

24 Mei 2025
Ulama perempuan Indonesia

Bulan Kebangkitan: Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

24 Mei 2025
Kekerasan

Kasus Pelecehan Guru terhadap Siswi di Cirebon: Ketika Ruang Belajar Menjadi Ruang Kekerasan

24 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

23 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pernikahan Anak

    Melihat Lebih Dekat Dampak dari Pernikahan Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membangun Keluarga Sakinah: Telaah Buku Saku Keluarga Berkah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menjadi Perempuan dengan Leluka yang Tak Kutukar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tantangan Difabel: Aku Tidak Berbeda, Hanya Hidup dengan Cara yang Berbeda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Tegaskan Eksistensi Keulamaan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membangun Keluarga Sakinah: Telaah Buku Saku Keluarga Berkah
  • Melihat Lebih Dekat Dampak dari Pernikahan Anak
  • Tantangan Difabel: Aku Tidak Berbeda, Hanya Hidup dengan Cara yang Berbeda
  • Menjadi Perempuan dengan Leluka yang Tak Kutukar
  • Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Tegaskan Eksistensi Keulamaan Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version