Mubadalah.id – “Membangun Pengetahuan dan Kesadaran Kritis Soal Gender dan Radikalisme Agama”, begitu topik Halaqah Paralel II KUPI II, pada 25 November 2022, di depan MTs P.P. Hasyim Asy’ari Jepara. Pembicaraan menjadi menarik dengan hadirnya Kamala Candrakirana (Ketua Komnas Perempuan 2003-2009), Nur Huda (Visiting Fellow di RSIS), dan Lies Marcoes (Direktur Rumah KitaB), sebagai pembicara dalam halaqah itu.
Materi Kamala Candrakirana fokus pada diskursus seputar narasi perempuan dan radikalisme agama, serta materi Nur Huda serta Lies Marcoes banyak mendedahkan soal narasi perempuan membangun pandangan kritis dalam melihat gerakan radikal. Keseluruhan materi yang mereka sampaikan memunculkan pertanyaan: bagaimana narasi perempuan dalam gerakan radikal?
Radikalisme Bukan Hal Baru
Sebagaimana Kamala Candrakirana menjelaskan bahwa radikalisme atau ekstrimisme bukanlah peristiwa baru. Di berbagai dunia, bukan hanya di Indonesia, aksi radikalisme menghiasi kehidupan manusia dalam berbagai lintasan sejarah konflik. NAZI di Jerman, PERMESTA (Pergerakan Rakyat Semesta) di Indonesia, dan lainnya, merupakan bentuk laku radikalisme ekstrim yang pernah terjadi. Dan, perlu saya tambahkan, “umumnya” aktor utama adalah laki-laki, sedangkan korbannya adalah perempuan.
Meski radikalisme bukan hal baru, itu tidak berarti kita dapat mengabaikan radikalisme sebagai suatu gejala umum dalam sejarah manusia. Bahwa radikalisme bukan hal baru adalah fakta sejarah, namun kita tetap membutuhkan kerja pencegahan, seperti pembinaan dan counter narasi, sebagai upaya menghindari bahaya dari dampak radikalisme.
Perempuan dan Penerimaan Narasi
“Narasi” merupakan kata kunci menyebarkan paham radikal. Ya, tentu, narasi juga menjadi kata kunci menyebarkan paham rahmat. Dan, sebagaimana Lies Marcoes menjelaskan kalau narasi menyebar ke mana-mana tanpa bisa terkontrol. Penyebaran tidak terkontrol ini semakin menjadi di era media sosial saat ini.
Satu kejadian yang sama, sebagaimana menurut Nur Huda, dapat menghasilkan framing (pembuatan narasi) yang berbeda. Dan, sebagaimana kita ketahui bahwa, framing narasi tidak lepas dari kepentingan si pembuat. Kelompok radikal tentu akan membuat framing untuk menarik orang kepada agenda mereka, dan begitupun kelompok ramah. Satu catatan penting dalam hal ini adalah, bahwa penerimaan narasi antara laki-laki dan perempuan itu berbeda.
Lies Marcoes mencontohkan penerimaan narasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, seperti pada narasi tunggal (single story) radikalisme yang biasanya bernada janji surga. Laki-laki, umumnya, menerima narasi janji surga dengan balasan bidadari, sehingga dia tertarik untuk menjadi jihadis.
Sedangkan, perempuan menerima narasi surga, bukan karena kepentingan individu, melainkan ingin dia dan keluarganya masuk surga. Oleh karena penerimaan narasi antara perempuan dan laki-laki berbeda, sehingga perlu cara penanganan yang juga berbeda.
Pada counter narasi radikal untuk perempuan, bukan mendasari dari persepsi laki-laki terhadap perempuan, melainkan perlu melihat pengalaman dan kecenderungan psikis perempuan sendiri
Single Story Bukan Jalan Membaca Narasi Gerakan Radikal
Dalam pembahasan narasi dan perempuan dalam gerakan radikal, Lies Marcoes juga menyinggung soal narasi tunggal (single story). Topik ini dapat kita baca dalam bukunya yang berjudul Seperti Memakai Kacamata yang Salah: Membaca Perempuan dalam Gerakan Radikal, pada bab “Tersesat dalam Narasi Tunggal Terorisme.” Sebagaimana penjelasan Lies Marcoes bahwa, “Cara itu (analisis single story) mungkin dapat menjelaskan (melihat) keterlibatan perempuan (dalam gerakan radikal dengan lebih utuh).”
Single story sendiri, sederhananya, hanya mendasari sikap atau kecenderungan pada satu narasi. Dalam hal perempuan dan gerakan radikal, menurut Lies Marcoes, ada tiga hal yang menjadi soal single story.
Pertama, menurut Lies Marcoes, “…single story terorisme (baca: radikalisme) itu didominasi oleh prasangka tentang Islam.” Sehingga, persepsi yang berlandaskan prasangka itu banyak mengabaikan realitas umat Islam. Seperti, pada kasus kelompok-kelompok Islamisme, single story mengidentikkan Islamisme sepenuhnya sebagai ideologi jahat dan anti peradaban ala ISIS.
Padahal, di sisi lain, paradigma itu tidak selalu cocok, misalnya, banyak kelompok Islamis, dalam hal ini perempuan hijrah, yang menampakkan laku beragama dengan ramah dan bukan marah.
Contoh lain, misalnya, single story radikalisme selalu memandang perempuan bercadar sebagai kelompok yang radikal, eksklusif, dan tidak ramah. Sehingga, terjadi bias narasi terhadap perempuan bercadar yang selalu identik dengan perempuan berpaham keras dan eksklusif. Padahal, banyak perempuan bercadar yang ramah dan tidak eksklusif. Namun, gaya single story membuat kita gagal melihat sisi baik itu.
Membangun Kesadaran Kritis Gender dan Radikalisme Agama
Kedua, menurut Lies Marcoes, “…single story terorisme sepenuhnya berisi narasi tunggal tentang keterancaman negara (state security) yang seolah-olah hanya negara sedang terancam oleh ulah para teroris.” Padahal, melihat pengalaman perempuan ternyata bukan ulah teroris yang membuat perempuan terancam, melainkan kehidupan itu sendiri, seperti: teror kemiskinan, kekerasan terhadap perempuan (ktp), dan hidup tanpa kepastian, itu semua yang sesungguhnya menjadi teroris dalam kehidupan perempuan.
Dan ketiga, “…single story terorisme telah membentuk bangunan narasi tentang terorisme di mana aktor tunggalnya hanya laki-laki. Pandangan itu sepenuhnya bersumber dari ideologi gender esensialis maskulin yang menganggap menjadi teroris itu secara esensial merupakan watak bawaan laki-laki.”
Mengenai hal ini, Lies Marcoes menganalogikannya, bahwa dalam anggapan perempuan yang memiliki rahim mustahil akan terlibat terorisme. Sebab, rahim merupakan sumber kehidupan, sementara terorisme adalah anti kehidupan.
Maka menjadi logis jika terorisme atau ekstrimisme lekat pada laki-laki sebagai pemilik mutlak kejantanan. Baik fisik maupun sosial, dan kalaupun perempuan terlibat, itu karena mereka telah bermetamorfosis menjadi laki-laki.
Pada dasarnya, pembacaan kita terhadap narasi perempuan dalam gerakan radikal, untuk membangun kesadaran kritis soal gender dan radikalisme agama, adalah tidak ideal jika semata melihat dengan kacamata single story. Perlu pemahaman yang utuh, dan berangkat dari pengalaman perempuan sendiri, untuk dapat melihat bagaimana narasi perempuan dalam gerakan radikal. []