Mubadalah.id – Dalam suatu kesempatan, Haideh Moghissi pernah mengemukakan hal sebagai berikut ini : “someone like me who was enforced to leave her home country, exactly because of the reislamisation in our country”. Apa yang Haideh Moghissi katakan di atas adalah gambaran mengenai gerakan reislamisasi sebagai bagian dari proyek gerakan fundamentalisme Islam yang selalu menimpa kaum perempuan. Moghissi adalah seorang perempuan Iran yang harus meninggalkan hak dasarnya untuk hidup dan berkehidupan di negerinya sendiri. Karena hak dasar yang ia miliki dianggap bertentangan dengan misi syariat “Islam”.
Ketika sebuah negara menerapkan sistem politik syari’ah, maka mau tidak mau semua hak harus berdasarkan pada sistem syari’ah. Menurut sistem ini, fungsi seorang perempuan (istri) harus hidup di bawah regulasi syari’ah yang mengharuskan perempuan (istri) tinggal di dalam rumah. Wajib memakai jilbab, taat kepada suami, dan sebagainya.
Mereka yang tidak mau hidup seperti aturan itu, akan mendapatkan sanksi hukum. Kalau tidak mereka harus meninggalkan negaranya. Meskipun hak untuk hidup di Negara sendiri adalah bagian dari hak dasar manusia. Pengalaman Haideh Moghissi, dan apa yang ia katakan adalah potret di mana hak-hak perempuan selalu menjadi target pertama sebuah sistem yang mengadopsi model syari’ah (fundamentalis).
Beberapa penelitian penting menyatakan bahwa penerapan sistem politik fundamentalis (syari’ah) selalu memiliki implikasi negatif terhadap hak-hak perempuan. Shahrzad Mojab, misalnya, menyatakan ketika rezim Islam berkuasa di Iran, perempuan secara langsung menjadi target dan alat yang utama untuk Islamisasi tatanan politik dan sosial masyarakat Iran. Secara perlahan perempuan terlarang memilih model pakaian yang mau ia kenakan. Untuk keperluan ini Negara biasanya menggunakan cara-cara yang memaksa.
Kondisi di Iran
Apa yang terjadi di Iran juga terjadi di Negara-negara lain. Dalam konteks Indonesia, misalnya ketika Aceh meresmikan diri sebagai provinsi yang menegakkan syari’ah, maka aktivitas-aktivitas yang mereka persiapkan untuk menuju tatanan tersebut adalah hal-hal yang berkaitan dengan tubuh perempuan. Perempuan dianggap simbol moralitas masyarakat.
Pada satu sisi penobatan itu baik jika tidak ideologis. Namun penobatan biasanya berlatar belakang selubung partriarkisme yang cukup kuat. Karena perempuan sebagai simbol moral, maka segala tingkah laku dan gerak-gerik perempuan harus mereka awasi. Ungkapan yang muncul adalah baik dan buruknya masyarakat tergantung pada baik-buruknya kaum perempuannya.
Dengan kata lain, bila perempuannya bagus maka masyarakatnya juga akan bagus. Hal ini selalu mereka kaitkan dengan riwayat Nabi bahwa perempuan adalah salah satu tiang agama. Parameter yang sangat bias laki-laki ini nyatanya memang terjadi di Negara-negara yang menggunakan sistem syari’ah sebagai dasar negaranya.
Pembebanan ini sangat berat dan tidak adil atas diri perempuan. Sebab yang bertanggung jawab atas moralitas publik tidak hanya mereka, namun juga kaum laki-laki. Bahkan bila kita bandingkan dengan struktur masyarakat yang lebih banyak diatur oleh aturan kelaki-lakian, maka kaum laki-laki yang sesungguhnya paling bertanggung jawab atas moralitas publik.
Secara keseluruhan ide yang diturunkan oleh Haideh Mighissi tentang hal ini sangat menarik. Misalnya, sebagaimana yang penulis lansir dalam bukunya, Feminisme and Islamic Fundamentalism: The Limits of Post Modern Analysis. Pertama, soal pandangan Moghissi terhadap fenomena anti orientalisme-postkolonialisme akibat pengaruh Edward Said di dalam kajian Islam dan gender di Negara-negara Timur Tengah. Tak terkecuali hal ini juga merambah Indonesia).
Kedua, pandangan Moghissi atas persoalan fundamentalisme Islam yang menurutnya mendapat supportive thinking dari postmodernisme. Ketiga adalah pandangan Moghissi mengenai feminisme Islam.
Pemikiran Haideh Moghissi
Persoalan yang ingin penulis tampilkan dari pemikiran Moghissi adalah soal feminisme Islam. Ia mengulas tentang kemungkinan-kemungkinan dan batasan-batasan feminisme Islam. Persoalan apakah feminisme Islam bisa menjadi alternatif bagi feminisme barat adalah hal yang menarik yang Moghissi sampaikan. Ia merekam diskursus yang berkembang di kalangan feminis dan pengkaji Islam pemerhati isu gender.
Menurut Moghissi terma feminisme Islam pada dasarnya diambil dari tradisi di luar Islam, diciptakan oleh akademisi di Barat. Mengapa demikian? Karena bagi Moghissi, meskipun gerakan terhadap perempuan dijumpai di dalam tradisi Islam, namun di dalam Islam perjuangan politik mereka para aktivis dan tokoh memang tidak pernah terjadi dalam kerangka feminisme sebagaimana di Barat.
Namun demikian apa yang para aktivis di Negara-negara Islam Timur perjuangkan untuk membela hak-hak perempuan, pada dasarnya bisa kita katakan bukan merupakan fenomena baru. Yakni sebuah fenomena yang mungkin mirip dengan feminisme di Barat. Selain itu, perjuangan untuk pembelaan hak-hak perempuan yang menggunakan kerangka Islam pada saat itu tidak pernah para feminis Islam rekayasa.
Para aktivis baik yang berlatar belakang Islam atau sekular (bahkan non Islam, pada saat itu memiliki pandangan yang sama bahwa persoalan yang perempuan hadapi dengan statusnya yang rendah adalah karena dengan adanya misinterpretasi terhadap al-Qur’an.
Fundamentalisme Islam dan Perjuangan Perempuan
Pendapat yang mengatakan bahwa Islam tetap kita butuhkan untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan gender. Dan, pernyataan sebaliknya bahwa Islam tidak usah kita gunakan untuk hal ini. Sementara itu dalam pandangan Moghissi tidak langsung menyelesaikan persoalan. Ia menyatakan tidak alergi dengan pelbagai upaya revitalisasi teks-teks keagamaan dalam perspektif baru. Namun hal itu juga tidak akan menjamin keberhasilan. Sebab persoalan feminisme (perempuan) tidak hanya terletak pada teks tetapi juga konteks di mana teks itu berkembang.
Moghissi mengisyaratkan bahwa ruang fundamentalisme Islam sudah tentu akan susah menjadi sarana untuk penciptaan wacana perempuan yang egaliter dan penuh keadilan. Sebagaimana kondisi yang terjadi di Iran. Meskipun ia tidak optimistik dengan proyek revitalisasi teks agama. Namun ia juga tidak mengagungkan sekularisme.
Apa yang penting bagi perempuan, menurut Moghissi adalah bagaimana menciptakan ruang-ruang untuk mengartikulasikan wacana-wacana yang mereka butuhkan. Hal penting yang Moghissi tegaskan adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan pada agama tidak akan bisa menerima hal ini. Karena pada hakikatnya pemerintahan yang demikian memiliki karakter anti kesetaraan dan keadilan gender serta memonopoli ruang publik dan wacana.
Secara tegas, Moghissi menyatakan bahwa pemerintahan teokratis akan selalu otoriter. Demikian juga pemerintahan berdasar sayari’ah juga akan menutup kemungkinan munculnya diskursus tandingan yang diciptakan oleh kaum perempuan. []