Selamat melaksanakan Catur Brata Penyepian Tahun Baru Saka 1945 bagi teman-teman Hindu. Semoga heningnya perayaan Nyepi membawa kebahagiaan bagi semesta. Saatnya manusia dan alam menikmati kontemplasinya.
Mubadalah.id – Baru nyadar setelah lihat kalender, Bulan Maret 2023 ini perayaan Nyepi perkiraannya akan beringan dengan masuknya bulan Suci Ramadan loh Salingers. Beberapa dari kita mungkin bertanya-tanya, ibadah Ramadan umat muslim di Bali saat nyepi nanti gimana?
Melalui Surat Edaran Pemprov Bali yang beredar di internet. Ada satu poin yang menjelaskan bagaimana mekanisme peribadatan keagamaan di Bali. Khususnya karena Hari Suci Nyepi bertepatan dengan hari pertama melaksanakan salat tarawih Ramadan 1444 Hijriyah pada tanggal 22 Maret 2023 maka:
“Umat Hindu melaksanakan Catur Bratha Penyepian dengan khidmat dan khusyuk. Lalu umat Islam Melaksanakan Salat Tarawih di rumah masing-masing atau Rumah Ibadah terdekat dengan berjalan kaki, tidak menggunakan pengeras suara dan dengan menggunakan lampu penerangan yang terbatas. Sementara umat lain melaksanakan ibadah di rumah masing-masing.”
Menurutku poin kebijakan di atas udah tepat dan tentunya nggak akan mereduksi nilai ibadah setiap agama dan kepercayaan masyarakat Bali hanya karena ada perayaan Nyepi. Melalui sosial media, beberapa orang membagikan pengalamannya saat ikut perayaan ini. Hal ini membuat aku tambah penasaran tentang Nyepi.
Akhirnya, semalam rezeki banget ketemu sebuah jurnal berbahasa Indonesia yang berjudul “Nilai Tradisi Nyepi di Bali.” Sedikit banyak jurnal ini bisa menginformasikan makna tersirat dalam konteks toleransi tentang perayaan Nyepi. Dari kacamata seorang muslim inilah yang bisa aku bagikan dari hasil bacaan semalam. Enjoy ya gais!
Perayaan Nyepi dan Totalitas Keheningan
Hari Raya Nyepi biasanya jatuh pada bulan Maret, Tanggal Apisan, Sasih Kedasa. Pelaksanaan Nyepi memiliki beberapa rangkaian upacara, mulai dari melasti, nyejer, ngerupuk, tawur, sipeng, ngembak geni serta dharma santi.
Popularitas Nyepi memang nggak hanya diketahui oleh masyarakat Bali, tetapi juga mereka yang pernah berada di Bali. Apalagi jika kebetulan salingers udah punya agenda healing ke Bali bertepatan dengan perayaan Nyepi. Mungkin healing kamu bakalan istimewa, karena bukan hanya jadi ruang kontemplasi buat diri sendiri, tapi sekaligus bisa ngeliat pemandangan toleransi di saat yang tepat.
Saat pelaksanaan brata penyepian di Bali, ada kerjasama yang baik antara pemerintah Bali dan seluruh komponen masyarakat Bali untuk mendukung perayaan tersebut. Misalnya tidak boleh menyalakan api atau cahaya (amati gni). Nggak bekerja (amati karya). Nggak bepergian kemana-mana (amati lelungaan), dan nggak menikmati kesenangan (amati lelanguan).
Intinya orang yang tinggal di Bali tidak boleh keluar rumah selama 24 jam mulai dari pukul 06.00 hingga pukul 06.00 keesokan paginya.
Nyepi memang berfokus pada totalitas keheningan. Tradisi ini juga tertulis di dalam teks-teks suci agama Hindu (Wijaya, 2021). Tapi ternyata Nyepi nggak hanya sebatas itu loh salingers. Nyepi mengandung makna yang dalam. Seperti wahana untuk menjaga kesucian diri dan alam semesta.
Relasi Antara Sesama Manusia dan Manusia dengan Alam
Nyepi dimaksudkan untuk “merayakan kesederhanaan hidup” sehari-hari melalui peningkatan kedamaian hati, bumi, dan seluruh elemen alam semesta. Namun, Keberadaan Nyepi juga tidak berhenti pada aspek seremonial semata. Akan tetapi sebagai bentuk “teks sosial” yang membantu setiap individu membangun jejaring sosial, melalui penguatan nilai-nilai keberagaman, dalam ruang pluralisme.
Pertama, relasi antara manusia dengan manusia. Orang Hindu punya nilai leluhur yang terkenal dengan istilah Tat Twan Asi. Sebuah nilai yang mengandung makna kesetaraan sesama makhluk Tuhan. Yakni seseorang harus memiliki kesadaran untuk memandang dan memperlakukan orang lain layaknya ia ingin diperlakukan dengan dasar Teologis.
Prinsip ini berlaku bukan hanya untuk sesama pemeluk Hindu. Tetapi juga bagi pemeluk Hindu untuk pemeluk agama dan kepercayaan lain. Kalau di Mubadalah aku sering dengar kata yang senada seperti “kau adalah aku yang lain.”
Kedua, relasi antara manusia dengan alam semesta. Melalui Nyepi, manusia diajarin untuk berdamai, baik dengan keluarganya juga dengan alam. Santa dyayuh santa Prithvi (semoga langit penuh damai), Santam idam urvantariksam, Santa santa udanvatir apah (semoga bumi bebas dari gangguan), Santa nah santu osadhih (semoga bumi memiliki suasana yang baik).
Perayaan Nyepi memiliki nilai ajaran filosofis bahwa manusia punya sebuah kemampuan yakni “mengendalikan diri.” Dengan tidak menikmati kesenangan duniawi selama 24 jam tadi, alam pun akan menikmati ritmenya sendiri tanpa kendali manusia.
Ibarat dalam Islam mungkin kita punya ritual puasa lah ya, puasa dari senangnya makan enak, dan minum es teh di siang bolong. Bahkan saat puasa umat muslim diwajibkan untuk berbagi rezeki melalui zakat fitrah.
Bergaul Secara Inklusif
Saat ini suka atau enggak kita udah memasuki era post truth. Di mana informasi yang tidak bisa kita validasi mampu menciptakan kecurigaan, sentimen, xenophobia, dan lain-lain. Di sinilah pentingnya nilai keberagaman kita tanamkan supaya tercipta social trust antar satu individu dengan individu lainnya.
Melalui internalisasi keberagaman mungkin bisa jadi alternatif untuk menanamkan ide dalam menghadapi dinamika sosial yang menjadi ancaman sebuah kerukunan. Misalnya dengan meyakini bahwa kebudayaan kita punya warna tersendiri dengan kebudayaan dari suku lain.
Dari beraneka ragam warna tadi bukankah akan menghasilkan sebuah kontras yang indah? Yang bukan hanya hitam dan putih! Kebudayaan juga nggak seharusnya kita salah gunakan sebagai “senjata” bagi mereka yang “dominan.” Akan tetapi menggunakan aspek ragam kebudayaan justru kita mencari ruang untuk menanamkan kedamaian.
Nyepi di Bali menjadi sebuah sudut pandang yang menunjukkan bukti, bahwa suatu kultur tertentu tidak mengandung nilai eksklusivitas dengan memarginalkan pemeluk agama selain Hindu di Bali.
Bahkan pemeluk agama lain di Bali masih diperbolehkan untuk melakukan ibadahnya saat nyepi berlangsung. Tentunya pemeluk agama selain Hindu di Bali juga juga turut mendukung perayaan hari besar umat Hindu ini agar berjalan dengan lancar. Lalu bagaimana di tempat lain? Di tempat yang mungkin Agama Hindu menjadi sebuah agama yang minoritas, apakah kita akan melakukan hal serupa?
Larangan Menyakiti Pemeluk Agama Lain dalam Islam
Kalau salingers udah baca buku Dr. Faqihuddin Abdul Kodir yang berjudul “Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama” kamu bakal banyak nemuin kisah teladan Rasulullah Saw dalam bergaul dengan pemeluk agama lain.
Salah satunya, ada beberapa teks hadits yang menjadi landasan larangan untuk menyakiti pemeluk agama apa pun. Misalnya pernyataan Nabi Muhammad Saw bahwa menyakiti diri sendiri atau orang lain adalah haram dalam Islam (Sunan Ibnu Majah, hadist nomor 2430).
Namun, kita sering terbawa emosi dan terpengaruh dengan mudah membenci dan menyakiti dengan tindakan atau kata-kata. Dengan mudahnya kita membuat dalih dengan alasan sesat, kafir, atau non-muslim. Padahal secara bahasa “Islam” adalah perdamaian loh, damainya juga bukan hanya untuk sesama manusia, tapi juga dengan alam.
Satu hal yang harus kita ingat adalah keberagaman itu bukan jadi sesuatu yang harus kita hindari atau kita hilangkan. Tetapi keberagaman itu realitas yang harus kita terima eksistensinya. Hal ini adalah bentuk tendensi sekaligus definisi, bahwa keberagaman adalah “pengalaman subjek” yang secara autentik dan akan terus hidup dalam masyarakat yang majemuk. []