Mubadalah.id – Sebelum membahas rukhsah bagi ibu hamil dan menyusui saat Ramadan, saya ingin menceritakan pengalaman kemarin, saat menyampaikan sebuah isu kepada mahasiswa UNU Blitar. Ada salah satu peserta dari universitas lain yang agak keberatan saat saya menyampaikan bahwasanya realita harus bersinergi dengan teks sumber dan aktor dalam berijtihad. Ia menginginkan disuguhkan banyak dalil, banyak teks sebagai proses istinbath hukum.
Sebanyak apapun kita memberikan adillah, sebanyak apapun kita menjelaskan, jika pada dasarnya orang tersebut tidak menangkap poin yang kita sampaikan. Yakni menciptakan keadilan melalui teks, maka itu tidak aka nada habisnya. Dari sini sudah jelas, bahwasanya kita berangkat dari pemahaman dan perspektif yang berbeda dalam menghasilkan sebuah pandangan keagamaan.
Kisah ini mengingatkan saya pada peristiwa perempuan yang merekam perempuan lain yang sedang tiduran karena mengalami nyeri haid saat berada di KRL. Walaupun sesama perempuan, sang perekam ini kaku terhadap teks bahwasanya ada larangan tidak diperbolehkannya tidur di kursi-kursi penumpang dalam gerbong. Ia menafikan kenyataan, bahwa ada perempuan yang sedang kesakitan.
Dalam hal serupa, saya mengingat betul Instagram story Bu Pemred Mubadalah.id Zahra Amin, saat menghadiri pertemuan yang membahas P2GP, umumnya kita kenal dengan khitan perempuan. Di mana ada seorang ustaz yang begitu keukeuh bahwa khitan perempuan adalah wajib berdasarkan dalil-dalil ‘tak mendasar yang ia sampaikan. Ustaz ini menegasikan data-data yang telah terungkap oleh peserta lain tentang dampak buruk dari praktik ‘tak bertanggung jawab tersebut.
Pengalaman Perempuan sebagai Standar Kemanusiaan
Mengapa kita sulit sekali berempati, dan mengasihi? Lalu, kerap menjadikan pengalaman kita sendiri sebagai standar tunggal kebaikan yang juga harus orang lain alami? Ya, karena kita masih terlalu tekstual, terlalu litterlijk, terlalu jumud, terlalu menyukai sesuatu yang kadaluarsa daripada yang lebih berguna, terlalu suka jika orang lain menderita. Inilah yang membuat saya jatuh hati pada metodologi KUPI, karena KUPI mengajak umat manusia untuk saling mengasihi, menyayangi, dan mengisi dalam berbagai perbedaan pengalaman, maupun perbedaan pengetahuan.
Bukankah itu tujuan diutusnya Kanjeng Nabi, untuk menyempurnakan akhlak. Dengan cara apa? Dengan Khitab-Nya yang berupa ayat qawliyah dan kauniyahnya. Realita itu ayat kauniyah lho, dia juga sumber dalam pertimbangan hukum, dia juga teks. Jangan lagi meniadakan realita dalam memahami suatu hukum syara. Itulah mengapa banyak para ulama yang sangat menyayangkan para ahli ilmu yang hafal ribuan kitab, hafal ribuan hadis dan juga ayat-ayat Alquran, namun ia merugi karena apa yang ia miliki tidak memiliki manfaat untuk orang lain.
Buya Husein bahkan menyampaikan, jika terdapat pertentangan antara teks, logika dan fakta/realita, maka yang wajib kita dahulukan adalah fakta/realita. Seperti halnya ketika harus memberikan keputusan hukum kepada pencuri singkong yang mencuri karena kelaparan. Atau memberikan keputusan hukum terhadap ibu tua renta yang diusir anak-anaknya dari rumah peninggalan suaminya karena masalah waris. Atau juga pada kasus ibu-ibu yang tanpa kesadaran membunuh anak-anak balitanya karena depresi yang ia alami..
Realita, fakta, data, adalah illat/rasio legis yang tidak boleh kita hilangkan begitu saja dalam pembentukan suatu hukum. Ibnu Rusyd juga menyampaikan, jika terdapat pertentangan, maka kita tidak cukup menafsiri saja, namun juga menafakkurinya. Lagi-lagi, cirri khas sikap pandangan keagamaan KUPI tidak sekedar menjawab, tetapi juga menyelesaikan, sehingga rumusan masalah musyawarah keagamaan KUPI bersifat global dan terperinci.
Hukum itu Pasti, Tapi Bisa Berubah
Apa yang dilakukan oleh para tokoh KUPI ini bukanlah sesuatu yang baru, sejak dahulu, para Imam Madzhab juga telah melakukan itu. Imam Syafi’i masih melakukan observasi dan wawancara mendalam kepada banyak perempuan untuk merumuskan Fikih Haid. Bahkan ia memiliki qaul qadim dan jadid. Itu tandanya, hukum itu pasti, namun bisa berubah (Buya Hussein). Realita, data, fakta, adalah indikator penting dalam merumuskan bunyi fatwa.
Termasuk dalam kasus puasa Ramadan. Rukhsah bagi ibu hamil dan menyusui pasti mengalami kebimbangan-kebimbangan hati, apakah harus berpuasa atau tidak? Amankah untuk kesehatan sang ibu dan anak? Sang ibu sanggup berpuasa atau tidak? Dalam teks Alquran sendiri, syarat berpuasa adalah kuat melakukannya, dengan menyebutkan pengecualian terhadap orang yang sakit dan bepergian (Al-baqarah: 185).
Perihal kondisi ibu hamil dan menyusui tidak dijelaskan di sini. Akan tetapi oleh Rasulullah selaku utusan yang lahir untuk melindungi perempuan dari segala bentuk diskriminasi, telah Nabi jelaskan secara lebih detail. Yakni, bahwasanya ibu hamil dan menyusui juga tidak wajib melaksanakan puasa Ramadan. (Tapi tetap harus mengqadla puasa di lain hari, dengan atau tanpa harus membayar fidyah.) (HR. Anas bin Ka’ab). Hal ini menandakan, Rasulullah sendiri berijtihad atas wahyu-Nya dengan melihat kondisi, realita, fakta, dan pengalaman yang pengikutnya alami.
Sebagaimana bunyi teks penutup dalam ayat tersebut, yuriidu Allah bikum al-yusr wa laa yuriidu bikum al-usr (Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu). Respon Nabi terhadap realita dan teks menunjukkan bahwasanya Hukum Islam/Syara’ itu bersifat dinamis, dan fleksibel. Sehingga ia dapat menjadi jawaban atas segala macam perubahan zaman. Demikianlah visi Islam, yakni sebagai rahmat bagi sekalian alam, tidak saja bagiku, tapi juga bagimu. Tidak saja untukku, tapi juga untukmu.
Teladan Nabi Membawa Rahmat
Apa yang Nabi sampaikan ini sesuai dengan apa penjelasan Dr. Faqih, bahwasanya dalam menciptakan teks yang berkeadilan kita tidak saja butuh modal yang berupa berbagai pengetahuan tentang agama, tetapi kita harus mampu menegoisasikan teks, mempertanggungawabkannya, menjadikannya inspirasi kebaikan dengan berbagai strategi yang kita miiliki. Itu adalah teladan Kanjeng Nabi sebagai pembawa rahmat, bukan yang sedikit-sedikit men-skakmat.
Walaupun memiliki udzur syar’i untuk tidak berpuasa Ramadan, namun bukan berarti musafir maupun orang sakit, termasuk ibu hamil dan menyusu diharamkan untuk melaksanakannya. Semuanya kembali kepada kondisi masing-masing individu. Tidak sedikit ibu hamil dan menyusui yang mampu melakukan itu, namun tidak sedikit pula yang tidak mampu menjalankannya.
Pengalaman Mamakku, selama 7 tahun tidak memiliki hutang puasa Ramadan, karena selama periode tersebut ia mengalami pengalaman biologis untuk hamil dan menyusui 4 orang anak secara berturut-turut. Kondisi tubuh Mamak sangat memungkinkan dan kuat untuk melakukan puasa, sehingga ia menjadi mukhatab yang dipanggil dalam ayat tersebut.
Adapun saya, 4 tahun belakangan ini tidak menjalankan puasa Ramadan karena harus hamil dan menyusui 2 anak secara berurutan. Meskipun memiliki kualitas dan kuantitas asupan makanan dan minuman yang sama dengan Mamak saat itu, namun kondisi tubuhku dan anak-anakku ternyata tidaklah sama. Anak-anak menjadi letih, lemah, lesu dan badannya mengisut, demikian juga saya. Sehingga saya memutuskan untuk tidak berpuasa.
Pengalaman Biologis setiap Perempuan Berbeda
Walaupun memiliki kondisi biologis yang sama, ternyata sesama perempuan tidak selalu merasakan pengalaman yang sama lho. Sekalipun ada kemiripan dalam hal kesanggupan, namun tidak semua orang tua mampu menyusukan anaknya dalam rentang waktu yang sama. Ada yang hanya 1 bulan, ada yang 6 bulan, ada yang cukup 1 tahun, ada yang sempurna 2 tahun, bahkan ada yang lebih.
Tidak ada yang lebih unggul dan lebih baik di antara semua pilihan tersebut, karena setiap orang tua memiliki pengalaman yang berbeda, prinsip yang berbeda, dan hasil musyawarah yang berbeda tentang kapan akan menyapih buah hatinya.
Ingin 2 tahun tidak apa, kurang dari 2 tahun juga tidak mengapa, atau lebih dari 2 tahun juga tidak kenapa-kenapa (Al-Baqarah 233). Sehingga, 2 tahun dalam konteks ini merupakan batas ideal untuk menyusui, dia berada di antara had al-adna. Yakni batas minimal, dengan diperbolehkannya menyapih sebelum 2 tahun dengan kesepakatan) dan had al-a’la atau batas maksimal, selama dokter memperbolehkan dari segi kesehatan psikis sang anak dengan kesepakatan pula.
Hukum Syara’ itu tidak Baqa’
Karena hal lain di balik proses ketentuan menyusui ini adalah tidak ada pihak yang merasa terbebani, disulitkan, direpotkan, dan dirugikan. Apakah Mamak saya julid ke saya? Dulu Mamak aja bisa tuh puasa, bahkan lagi hamil dan menyusui 4 anak dalam kurun waktu 7 tahun. Alhamdulillah tidak. Mamak adalah perempuan dengan penuh empati, perempuan yang menganggap bahwa semua orang tidak akan memiliki suatu pengalaman yang sama.
Justru Mamak yang berpuasa ini masih memasakkanku makanan-makanan yang ku butuhkan sebagai ibu yang menyusui. Tidak cukup dengan memahami, tetapi juga bertindak. Semua yang ku tulis di atas ini poinnya adalah, segala sesuatu itu berubah, sehingga benda yang sama pun tidak akan serupa di lain waktu, termasuk hukum syara’. Membuatnya tetap pada satu bunyi saja, secara tidak langsung kita menganggap, bahwa hukum syara’ itu sifatnya baqa’.
Bukankah hukum syara’ itu juga sebagaimana kita, yakni makhluk yang sangat mustahil menjadi kekal dan abadi. Karena yang tetap itu hanyalah Dia. Membuat hukum syara menjadi tetap sepanjang masa, sama saja kita melakukan persekutuan atas nama-Nya. Wallahu A’lam bi Al-shawwaab. []