Mubadalah.id – Praktik poligami bukanlah praktik perkawinan yang dilahirkan Islam. Islam tidak pernah menginisiasi Poligami. Hal ini karena jauh sebelum Islam datang tradisi poligami telah menjadi salah satu bentuk praktik peradaban jahiliyah Arabia yang patriarkhis.
Peradaban patriarkhi adalah peradaban yang memposisikan laki-laki sebagai aktor yang menentukan seluruh aspek kehidupan. Nasib hidup perempuan dalam sistem ini didefinisikan oleh laki-laki dan untuk kepentingan mereka.
Peradaban poligami sesungguhnya telah lama bercokol bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia, tetapi juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti di Mesopotamia dan Mediterania, dan juga di belahan dunia lainnya.
Dengan kata lain, perkawinan poligami sejatinya bukan khas peradaban Arabia, tetapi juga peradaban bangsa-bangsa lain.
Di tempat kelahiran Islam (Arab), sebelum Nabi Muhammad lahir, perempuan dipandang sebagai makhluk yang rendah dan merupakan entitas yang tak berarti.
Bahkan, al-Qur’an dalam sejumlah ayatnya mengabadikan realitas sosial ini. Umar bin Khattab pernah mengungkapkan kenyataan ini dengan mengatakan, “kunna fi aljahiliyyah la na’udd al-nisa syai-an”. (Dalam dunia kelam (jahiliyah), kami tidak menganggap perempuan sebagai makhluk yang perlu diperhitungkan).
Perbudakan manusia (terutama perempuan) dan poligami menjadi praktik kebudayaan yang lumrah dalam masyarakat Arabia saat itu.
Ketika Islam hadir di tengah-tengah mereka, praktik-praktik ini tetap berjalan dan dipandang tidak bermasalah, sebagaimana tidak bermasalahnya tradisi “kasur, dapur, dan sumur” bagi peran perempuan dalam masyarakat Jawa.
Kehadiran Nabi Muhammad Saw
Meskipun Nabi Muhammad Saw mengetahui bahwa poligami yang bangsa Arab praktikkan saat itu banyak merugikan kaum perempuan. Namun bukanlah kebiasaan Islam melakukan penghapusan praktik kebudayaan secara revolusioner.
Al-Qur’an tidak pernah menggunakan bahasa provokatif, apalagi radikal. Transformasi Islam selalu bersifat gradual, akomodatif, dan kontinyu.
Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw selalu berupaya memperbaiki keadaan ini secara persuasif dengan mendialogkannya secara intensif.
Tindakan transformasi Islam tersebut tidak semata pada isu poligami, melainkan juga pada seluruh praktik kebudayaan yang tidak menghargai manusia.
Karena sesungguhnya, kehendak logis dari sistem kepercayaan Islam (Tauhid) adalah keadilan dan penghargaan terhadap martabat manusia. []