Namun, ada satu hal yang sering terlupakan. Bagaimanapun vonis diberikan, air mata ibu tak akan pernah reda.
Mubadalah.id – 1 Oktober 2022. Kala itu—layaknya daun-daun di musim gugur—nyawa-nyawa berjatuhan. 135 orang meninggal dunia. Tak mengenal laki-laki ataupun perempuan. Tak mengenal tua ataupun muda. Namun tak seperti musim gugur yang cantik, Tragedi Kanjuruhan adalah tragedi berdarah.
Proses hukum pun berjalan. Mencari titik terang: siapa yang harus bertanggung jawab dalam tragedi memilukan ini. Akan tetapi, “keadilan” kita rasa masih sangat jauh dari para korban dan keluarganya. Setidaknya hal itulah yang salah satu keluarga korban katakan kepada saya.
Arah angin sempat menjadi alasan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memvonis bebas dua terdakwa dari pihak kepolisian. Meskipun pada akhirnya Mahkamah Agung membatalkan vonis itu.
Namun, ada satu hal yang sering terlupakan. Bagaimanapun vonis diberikan, air mata ibu tak akan pernah reda.
1 Oktober 2023 lalu, tepat satu tahun Tragedi Kanjuruhan berlalu. Tepat satu tahun pula, kasus berjalan tanpa kejelasan. Tulisan ini tak akan membahas lebih jauh mengenai ketidakjelasan proses hukum yang berjalan. Melainkan menjadi sebuah pengingat tentang duka yang tertinggal dan membekas atas tragedi kemanusiaan ini.
135 nyawa hilang dalam tragedi itu. Dan 43 di antaranya adalah anak-anak. Betapa banyak air mata ibu yang jatuh karena kehilangan anaknya. Betapa banyak ibu yang tak menyangka bahwa izin anaknya untuk menonton pertandingan bola adalah izin terakhir dari mereka.
Satu tahun telah berlalu dan duka itu masih ada. Menjadi mimpi buruk bagi para keluarga korban. Meninggalkan trauma mendalam untuk menonton sepak bola. Menciptakan kerinduan yang tak akan mampu terbalaskan.
Peringatan Satu Tahun
Sebagai peringatan satu tahun Tragedi Kanjuruhan lalu, sebuah aksi damai dilakukan di depan Stadion Kanjuruhan, Malang. Bukan hanya dihadiri oleh keluarga korban, tetapi juga berbagai masyarakat yang peduli dan bersimpati.
Puluhan atau bahkan ratusan orang ada di sana. Berpakaian hitam sebagai tanda duka. Tujuannya jelas, untuk merawat ingatan dan mengawal jalannya penegakan keadilan.
Perwakilan keluarga korban silih berganti membacakan petikan perjuangan dan pernyataan sikap. Dengan isak tangis, mereka bercerita dalam orasi tentang kenangan bersama keluarga yang mendahului mereka.
“Biasanya, teh hangat atau makan malam, selalu kami hidangkan saat anak-anak pulang. Kini, makan malam itu tak pernah lagi serupa, tak pernah lagi ada,” tutur seorang ibu dalam orasinya.
Suaranya bergetar. Saya bukan seorang ibu dan kiranya tak perlu menjadi ibu untuk turut merasakan kesedihan dalam kata-kata yang ia sampaikan. Walaupun saya yakin, saya tak akan pernah bisa memahami persis seperti yang ia rasakan.
Aksi Damai Keluarga Korban
Masih dalam rangkaian aksi damai ini, selanjutnya massa berkumpul di depan Gate 13, saksi bisu melayangnya ratusan nyawa. Foto-foto para korban terpampang di depan sana. Nama-nama mereka turut tersusun dengan rapi. Di depan foto-foto itu, diletakkan bunga-bunga sebagai tanda berkabung.
Massa berkumpul dalam suasana khidmat. Menundukkan kepala dan melantunkan doa-doa. Sesekali saya mendengar suara-suara isak tangis dari para keluarga korban dalam prosesi tahlilan bersama itu.
“Balekno anakku, balekno anakku,” jerit histeris seorang Ibu pecah. Kemudian tubuhnya terjatuh. Orang-orang di sekitarnya membopongnya keluar dari kerumunan.
Saat itu saya hanya bisa terdiam. Terpaku pada sebuah pemandangan memilukan yang belum pernah saya lihat sebelumnya.
Pasca prosesi tahlilan, sebagian massa mulai meninggalkan Gate 13. Beberapa masuk ke dalam stadion yang sedang direnovasi itu. Ada pula yang memilih tetap berada di Gate 13 dan berdoa di sana.
Saya kemudian berbicara dengan seorang perempuan, yang anaknya turut menjadi korban dalam tragedi ini. Beliau adalah seorang Ibu yang merantau ke Jakarta. Sambil memangku foto anaknya, ia bercerita bahwa selama ini ia meninggalkan anaknya sejak kecil untuk bekerja. “Waktu kecil saya tinggal, sudah kelas 2 SMK, sekarang dia yang meninggalkan saya,” tuturnya sembari meneteskan air mata.
Sampai Kapan?
Setahun berlalu, kenangan pedih itu tak terlupakan bagi para keluarga korban. Bahkan diperparah oleh ketidakadilan yang mereka rasakan. Sebuah pertanyaan selalu terbesit di benak saya. Sampai kapan mereka harus menanggung itu semua?
Mereka bukanlah pejabat yang memiliki kekuasaan besar. Bukan juga aparat yang mahir menggunakan senjata. Mereka adalah warga sipil. Yang hanya punya solidaritas sebagai senjata dan melakukan aksi untuk merawat ingatan.
Semoga tak terulang kembali tragedi seperti ini. Dan semoga keadilan yang diperjuangkan segera mereka dapatkan. []