Mubadalah.id – Memesan tiket bioskop adalah salah satu cara melihat kehidupan dalam sebuah karya. Ya, aku melihat kehidupan pernikahan dari sebuah film garapan Upi yang baru saja tayang di bioskop, awal Januari ini. Jika beberapa orang yang aku kenal membagikan kisah romantisnya, berbeda dengan film berjudul Sehidup Semati.
Sehidup Semati menayangkan sisi gelap pernikahan yang enggan orang-orang bicarakan secara gamblang. Ada yang bilang, membicarakan sisi gelapnya pernikahan itu pamali, aib, atau bahkan bentuk pengkhianatan kepada proses akad nikah. Tetapi aku ingin bilang, penting bagi kita membicarakan sisi lain pernikahan yang berupa keburukan agar kejadiannya tidak terjadi menerus dan berulang.
Larangan membincang keburukan dari sebuah pernikahan belum tentu solusi bagi sebuah konflik. Kadang, bisa menyebabkan seseorang terjebak romantisme pernikahan tanpa mempertimbangkan adanya celah penderitaan, seperti penderitaan yang terjadi dalam tayangan bioskop Sehidup Semati.
Sehidup Semati mengisahkan seorang perempuan bernama Renata yang menjadi korban kekerasan dan berjuang mati-matian mempertahankan pernikahannya dengan laki-laki bernama Edwin. Aku tidak akan mereview keseluruhan, aku mencoba menelusuri beberapa scene yang mengandung horor sekaligus mengajak penonton untuk mengenal diri sebelum mengenal pasangan.
Tentang Nasehat Pernikahan
Bagian awal film menayangkan ceramah seorang penasehat agama yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam dan derajat perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Tidak jarang penceramah agama menyampaikan nasehat demikian seperti sedang mengabaikan posisi perempuan.
Kiai Faqih dalam buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah menyampaikan, ayat-ayat penciptaan manusia di dalam Al Quran sama sekali tidak membedakan penciptaan antara laki-laki dan perempuan. Juga tidak menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki, apalagi dari tulang rusuk.
Sejalan dengan nasehat agama dari KH. Nasaruddin Umar yang disampaikan melalui kanal website NU Online, menganalisis ayat-ayat penciptaan manusia bahwa banyak sekali ayat Al Quran tentang penciptaan manusia yang sama sekali tidak membedakan asal-usul penciptaan antara laki-laki dan perempuan.
Hal tersebut menjadi catatan penting bagi kita untuk melihat proses penciptaan perempuan dengan mengupas tuntas bagaimana tafsir dari ayat yang disampaikan tanpa merendahkan manusia lainnya. Sudah semestinya dalam mengambil kesimpulan mempertimbangkan kemaslahatan kedua belap pihak. Yaitu perempuan dan laki-laki.
Scene berikutnya menggambarkan keseringan Edwin melarang Renata keluar rumah dan masuk ke ruang kerja apartemen selama Edwin bekerja di kantor. Larangan itu tidak hanya ucapan, tetapi Edwin juga melakukan kekerasan fisik kepada Renata.
Stigma terhadap Perempuan
Perempuan sering dijejerkan dengan stigma harus berdiam diri di rumah. Apa yang Renata alami merupakan potret laki-laki patriarki yang membebani istri tanpa memberikan celah kebahagiaan secuilpun. Edwin juga menghabisi mental Renata dengan menutupi alasan dia melarang Renata masuk ke ruang kerja.
Sepakat ketika pernikahan sudah semestinya membangun komitmen untuk tidak memandang rendah perempuan ataupun laki-laki. Ibu Nyai Nur Rofiah berpesan, ketika pasangan suami hanya memandang istri sebatas makhluk fisik bukan makhluk berakal budi, maka tujuan pernikahan sebatas transaksional.
Suami istri harus sama-sama memandang dengan akal budi. Keduanya harus mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing agar pernikahan penuh dengan keberkahan.
Selain kerap mendapatkan kekerasan fisik, Renata juga menyaksikan jelas suaminya selingkuh dengan perempuan lain yang ternyata Edwin sembunyikan di ruang kerja. Perempuan mana yang tidak remuk hatinya mengalami kisah demikian tragisnya?
Akan tetapi, remuknya hati Renata tidak mengubah prinsip pernikahannya “apa yang disatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh manusia.” Prinsip ini lahir dari nasehat ibunya yang juga menjadi korban kekerasan suaminya. Renata dan ibunya sama-sama mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Menyoal Doktrin Agama
Doktrin agama yang tidak lengkap tafsirnya bisa menjadi senjata suami untuk membungkam istri tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan. Prinsip pernikahan Renata dan Ibunya tidak lepas dari doktrin yang diperoleh dari penasehat agama dan suaminya. Keduanya tidak berdaya dan takut akan bayang-bayang dosa rumah tangga.
Pernikahan adalah perjalanan menuju kehidupan yang menentramkan jiwa. Prof Quraish Shihab melalui website pribadinya menerangkan, Sakinah adalah ketenangan yang akan terjadi jika manusia mendahulukan gejolak.
Manusia menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain akan membantunya mendapatkan kekuatan dan membuatnya lebih mampu menghadapi tantangan. Jika keduanya tidak ada keinginan mengupayakan atau gejolak untuk saling menumbuhkan kekuatan, maka bisa melukai salah satu pasangan.
Suatu hari, teman Renata mengatakan, lelaki semacam Edwin tidak pantas untuk dipertahankan. Renata sadar terluka tetapi ia berada dalam penjara doktrinasi agama yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Renata keras mempertahankan pernikahan dengan Edwin kecuali maut yang memisahkan.
Aku tidak akan menceritakan bagaimana akhir dari film ini. Aku seperti punya sinyal kuat untuk menuliskan betapa perempuan seusiaku, punya kesempatan panjang mempersiapkan pernikahan. Paling tidak selesai mengenal diri agar tidak menjadikan pernikahan sebagai alasan menyesal di kemudian hari.
Pentingnya Mengenal Diri sebelum Mengenal Pasangan
Menikah bukan lagi hidup tanpa mau mengenal pasangan lebih jauh. Mengenal pasangan sendiri dan tidak ada yang merasa paling berkuasa adalah salah satu kunci ketenangan sebuah pernikahan. Menurutku, sebelum mengenal pasangan, aku perlu mengenal diriku ini sebenarnya siapa? Apa yang menjadi prinsipku, kebahagiaanku, serta trigger apa yang bisa membuatku berduka.
Nikah Institute membagikan tanda-tanda seseorang selesai dengan dirinya sendiri sebelum menikah melalui channel instagramnya. Pertama, memahami pasangan seperti apa yang diri sendiri butuhkan. Memahami pasangan yang sesuai tidak selalu dengan mencari pasangan dengan strata sama, pendidikan sama, atau hobi yang sama. Akan tetapi, bisa mencari pasangan yang mau menghargai prinsip dan komitmen hidup ke depan.
Kedua, tidak menggantungkan hidup ke orang lain. Semakin diri kita mandiri, semakin diri kita tidak melibatkan atau mengganggu orang lain, maka bisa meminimalisir konflik dalam sebuah hubungan.
Ketiga, bisa mengendalikan keadaan. Tidak mudah mengambil keputusan dengan tergesa-gesa dan mengolah keadaan bisa menurunkan emosi negatif. Keadaan yang stabil bisa melanggengkan ketentraman dalam sebuah pernikahan.
Tulisan ini lahir dari aku yang pernah mengalami ketakutan menuju pernikahan. Sehidup Semati memberi alarm agar aku terus mempelajari bagaimana perempuan tumbuh dengan kecerdasan dan ketegasan yang matang. Semoga jika kelak menemukan pasangan, aku sudah dalam kondisi mengenal diri dan mampu mengenal pasangan dengan kacamata keteduhan. Yuk, bisa, yuk! Bisa belajar lebih jauh. []