Mubadalah. id – Dalam Bukunya – I’adatu Fathi al-‘Uqul al-Muslimah; Audatun Ila al-Aqli Wa al-Hurriyah wa al-Tasamuh – Musthafa Akyol memberikan sub judul yang provokatif: اللين ألاشعري أمام الاستبداد (Pengaruh teologi Sunni Asy’ariyah dalam Kekuasaan diktator).
Ia menandaskan;
هذه هي الأسباب التي جعلت العقيدة الأشعرية، «بقصد أو بغير قصد»، تقود إلى «سيادة السلطة السياسية المطلقة». من أجل ذلك ظلت العقيدة الأشعرية، «منذ نشأتها، عقيدة السلطة المنتصرة.»
“Dengan sebab-sebab itu (teologi tentang Tuhan dan negara) teologi Asy’ariyah – sengaja atau tidak sengaja – mendorong pada “Supremasi otoritas politik absolut (status quo)”. Oleh karena itu, doktrin Asy’ari sejak awal kelahirannya menjadi doktrin otoritas yang menang”.
Mustofa Akyol membangun narasinya bertolak dari paradigma persinggungan kekuasaan (negara) dan syariat atau akal. Dalam teologi Asy’ariyah, kekuasaan masuk dalam segmen syariat, bukan akal – berseberangan dengan Muktazilah yang menilainya sebagai domain rasional.
Tidak hanya itu, beliau juga mengabsen beberapa pionir Sunni – Asy’ariyah khususnya – semisal Imam al-Mawardi, al-Ghazali, al-Iji, dan Imam Nawawi. Lebih jauh, Akyol meminjam analisis Ovamir Anjum, mengidentifikasi 2 paradigma yang bertolak belakang mengenai “kekuasaan”.
Pertama, kekuasaan yang berpusat pada kerakyatan yaitu menurut Muktazilah yang orientasinya adalah kekuasaan dari Allah untuk rakyat. Kedua, Asy’ariyah yang orientasinya adalah kekuasaan dari Tuhan untuk khalifah.
Konsekuensinya, menurut Akyol, paradigma teologi Sunni: Asy’ariyah, besar kemungkinan membawa kelanggengan sistem kediktatoran dan kekuasaan tirani.
إلى اليوم، بقي «تحالف الدولة والعلماء» قائمًاً في الدكتاتوريات الإسلامية، وهي غير قليلة، إذ لا يتحرج كثير من علماء الدين أن يسوغوا حكم الحكام الأوتوقراطيين ما دام هؤلاء يمثلون أنهم مدافعون عن الدين
“Sampai saat ini, aliansi antara ulama (sunni) dan negara amat efektif dalam menyokong eksistensi kediktatoran muslim yang masih saja belum terminimalisir. Karena banyak ulama yang mengonsolidasikan – melegitimasi dan justifikasi – tindakan penguasa autokrasi-tirani selama ia merepresentasikan sebagai pembela agama (sunni)”.
Bahkan, Akyol juga mengutip hadis-hadis yang Imam al-Ghazali kemukakan bahwa mengkritik penguasa tak boleh di publik. Menurut Akyol, hadis-hadis tersebut membatasi seruan moral manakala ada penyelewengan kekuasaan.
Catatan Untuk Mustofa Akyol: Teologi Asy’ariyah Melegitimasi Status Quo?
Lalu benarkah semata-mata lantaran teologi Asy’ariyah tentang paradigma “kekuasaan” melegitimasi status quo “kediktatoran” (kejam)?
Saya kira, terasa gegabah bila hanya alasan “kekuasaan” berada dalam ranah syariat. Atau lantaran faktor teologis semata Asy’ariyah punya andil dalam kediktatoran dan kezaliman penguasa.
Pertama, Islam sendiri – menurut kalangan Sunni – tak pernah menetapkan sistem negara secara baku. Islam hanya memandatkan beberapa nilai universal yang harus dijalankan oleh masyarakat muslim.
Dan negara, apa pun sistemnya (baca: kekuasaan), adalah alat yang paling efektif untuk merealisasikan nilai-nilai tersebut. Oleh sebab itu, kekuasaan (sistem negara) hanya merupakan strategi sehingga bersifat adaptif dan dinamis.
Di zaman penulisan teorisasi politik Islam (siyasah), sistem kekuasaan yang paling efektif adalah sistem khilafah hingga monarki. Berangkat dari sanalah pemikir Islam semisal al-Mawardi dan Imam al-Haramain menyusun teori baku tentang kekuasaan Negara dalam perspektif Islam.
Dua Alasan Mengapa Kekuasaan dalam Ranah Syariat
Betul memang, klaim Akyol, bahwa kekuasaan di kalangan Sunni termasuk ranah syariat – tetapi bukan berarti menyingkirkan akal sama sekali. Sebab, kekuasaan atau negara, dalam Islam bertugas bukan semata-mata mengatur stabilitas duniawi, tapi juga ukhrawi, meminjam istilah pakar Hukum Tata Negara Islam, Imam al-Mawardi yakni: فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Selain itu, dua alasan yang Imam al-Mawardi ajukan ketika memasukkan kekuasaan dalam ranah syariat. (1), penguasa mengurus hal-hal berdimensi syariat sehingga kalau pijakannya akal semata atau institusi moral maka tidak ada sisi ta’abbud dari syariat.
(2), akal hanya mendorong kepada para bijak bestari (yang punya akal budi/ intuisi moral) untuk tidak bertindak zalim dan diktator dan mendorong untuk bersikap proporsional kepada dirinya sendiri, bukan pada akal orang lain, (Al-Ahkam al-Sulthaniyah).
Taat Pada Pemerintah Tidak Gratis
Alasan kedua mengapa penyimpulan “lantaran teologi Sunni semata membawa pada kediktatoran itu gegabah”, yaitu karena hak-hak penguasa untuk dipatuhi tidak gratis. Pemerintah juga dibebankan berbagai kewajiban. Kewajiban rakyat untuk patuh bahkan berpartisipasi dalam program pemerintahan dikaitkan dengan “penguasa yang sudah melaksanakan tugas-tugasnya”.
10 tugas pokok pemerintah yang ditetapkan Imam al-Mawardi agar direalisasikan. Dalam Ahkamul Sulthaniyah (42), ketika beliau menjabarkan 2 kewajiban rakyat pada pemerintah, beliau menegaskan, pemerintah yang konsisten melaksanakan tugasnya: menjaga stabilitas duniawi dan agama.
وَإِذَا قَامَ الْإِمَامُ بِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ حُقُوقِ الْأُمَّةِ، فَقَدْ أَدَّى حَقَّ اللَّهِ تَعَالَى فِيمَا لَهُمْ وَعَلَيْهِمْ، وَوَجَبَ لَهُ عَلَيْهِمْ حَقَّانِ: الطَّاعَةُ وَالنُّصْرَةُ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ حَالُهُ.
“Apabila Imam atau Pemimpin sudah melaksanakan tugas-tugas pokoknya berupa hak-hak rakyat, maka ia sudah melaksanakan hak-hak Allah terkait hak dan kewajiban rakyatnya. Dan Wajib atas semua rakyatnya untuk melakukan dua hal sebagai hak dari pemimpin. Pertama, taat. Kedua, adalah berpartisipasi selagi sang pemimpin konsisten dengan komitmennya”.
Dalam penjabaran itu, Imam al-Mawardi memberikan catatan: wajib patuh bila penguasa konsisten dengan komitmennya untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Inilah yang perlu di-highlights. Mafhumnya, secara realistis bila pemerintah tidak bisa, bahkan enggan, merealisasikan tugas-tugas pokonya, maka rakyat pun tidak tercela andai tidak mematuhinya.
Beririsan dengan itu, teori tata negara dalam politik teologi Sunni dibangun dengan asumsi bahwa pemimpin itu baik. Misalnya, Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Umar bin Abd Aziz. Yang sedikit kemungkinan melakukan kezaliman dan kediktatoran sehingga wajib mematuhinya.
Berbeda bila asumsi fondasi teorisasi itu bila pemimpinnya adalah buruk (diktator dan tiran), maka teksnya – barang kali – “Tidak wajib patuh, selama penguasanya tirani dan diktator”.
Mengkritik Penguasa Hatta Memakzulkannya
Namun demikian, penguasa memang rentan terlena dengan kekuasaan yang ingin langgeng. Dan itu tidaklah masalah selama rakyat damai sentosa, stabil ekonominya, dan penguasa menjalankan tugas-tugasnya: mengatur stabilitas duniawi dan ukhrawi. Bukankah kondisi demikian yang menjadi cita-cita dari teori negara Timur dan Barat?
Adapun pemimpin yang menyeleweng dari rel kekuasaan, maka rakyat memiliki kewajiban untuk mengkritiknya dalam rangka memperbaiki. Berkaitan dengan kritik atau nasehat, dalam pandangan Sunni, masyarakat atau wakilnya menyampaikan aspirasinya secara santun atau “kritik diplomasi” – sebagai langkah pertama.
Yang perlu dapat perhatian bahwa “kritik diplomasi” adalah hanya strategi belaka sesuai keefektifannya. Sementar alasan lain yang realistis dan fundamental yaitu supaya tetap menjaga kestabilan rakyat: tidak tertindas lebih parah bila menyampaikan kritik secara terbuka dan frontal.
Sehingga menurut pandangan teologi Sunni, lebih baik menempuh jalan yang diplomatik agar tidak banyak korban dari kekejaman penguasa (Daf’ul mafasid aula min jalbil masalih). Hanya saja, bila jalan diplomatik itu tak bisa dilakukan dan penguasa semakin sewenang-wenang maka kritik terbuka harus dilakukan.
Sebagaimana hadis yang juga menjadi doktrin teologi Sunni, “Jihad yang paling utama adalah mengkritik kepada pemerintah yang zalim”. Imam Muslim juga menuliskan riwayat ketika Usamah bin Zaid mengkritik Utsman terbuka setelah melakukan secara diplomatik lantaran ada gejala nepotisme. Demikian pula, Abu Sa’ide melakukan kritik terbuka pada Marwan yang ugal-ugalan dalam keagamaan.
Kilas Sejarah Pemerintahan Muslim terkait Pemakzulan Penguasa
Titik terakhir sebagai perjuangan civil society, boleh saja memakzulkan bila penguasa tak lagi menjalankan tugas-tugas pokoknya. Dalam lintasan sejarah, kita bisa banyak menelaah peristiwa bagaimana khilafah – pemimpin umat muslim itu – termakzulkan begitu tidak hormat, bahkan terbunuh.
Sekedar contoh faktual, al-Musta’in khalifah ke 12 Abbasiyah, pada tahun 862 M ia dilengserkan oleh rakyatnya, pasukan militer. Karena konflik internal ditambah korupsi besar-besaran yang dilakukan orang kepercayaan al-Musta’in.
Selain al-Musta’in sebagai korban pemimpin yang termakzulkan, al-Qahir Billah adalah khalifah yang naik tampuk kekuasaan dengan cara mengkudeta. Pemberontakan al-Qahir billah dua kali.
Kali pertama, gagal namun dapat ampunan dari penguasa. Kedua kalinya berhasil. Maka pada tahun 320 H atau 932 M, al-Qahir Billah menggantikan al-Muqtadir melalui jalan kudeta. Jadilah ia khalifah ke 19 dalam pemerintahan Abbasiyah. Kedua generasi itu, teologi Sunni masih menjadi yang maistrem.
Taghallub Bukan Representasi Tirani Tapi Legitimasi Pemakzulan Penguasa Diktator
Hal ini rupanya memiliki legitimasi dalam yurisprudensi fikih. Fikih belakangan – fikih setelah zaman al-Mawardi, al-Haramaian, dan al-Ghazali – mengafirmasi kekuasaan yang tercapai melalui pemakzulan. Sebagaimana tercermin dalam konsep taghallub; naik ke takhta pemerintahan melalui kudeta.
Nyatanya ulama Sunni mengakui keabsahan pemerintahan yang terperoleh melalui pemberontakan (taghallub) lantaran penguasa menyeleweng dari amanat konstitusi dan undang-undang negara (baca: syariat). Misalnya konstitusi menghendaki pemerintahan yang demokratis dan tidak KKN, lalu berubah diktator, tirani, nepotisme dls.
Konsep taghallub tertera dalam literatur Sunni semisal Imam Nawawi ke belakang – sampai pada kitab-kitab Nusantara Syekh Nawawi al-Bantani yang kalangan pesantren mengkajinya. Meskipun ada kecaman dari doktrin politik sunni untuk melakukan kudeta, tetapi itu dalam situasi normal saat penguasa menjalani tugas sesuai konstitusi negara.
Dengan konsep taghallub, sesungguhnya kalangan teologi Sunni memberikan “solusi” bagi rakyat yang sudah tak kuasa hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan yang diktator. Taghallub bukan representasi dari tirani. Penguasa yang menindas dan mengagresi sampai batas tertentu, maka pelengseran absah menggunakan konsep taghallub.
Penutup
Akhiran, dengan memahami berbagai dimensi sebagaimana ulasan sebelumnya, bagi saya, tak tepat bila doktrin Asy’ariyah atau Sunni melegitimasi status quo kediktatoran dan tirani. Dan terasa gegabah bila menyimpulkan bahwa semata-mata doktrin “kekuasaan dalam segmen syariat” mendorong kediktatoran.
Sebab, formulasi doktrin politik Sunni tersusun di zaman sistem negara khilafah, kerajaan, dan autokrasi – barang kali yang terbaik – yang umumnya tergelincir dalam lembah kediktatoran. Sehingga dengan mengabsahkan konsep taghallub, bukan sebagai legitimasi sistem tirani. Melainkan sebagai solusi menghadapi kepala negara yang diktator dan tirani.
Andaipun dalam torehan sejarah, ada kalangan al-Asy’ariyah sebagai teologi Sunni arus utama yang bergandengan dengan kekuasaan mengafirmasi kediktatoran, maka bukan semata-mata dorongan teologi. Ada banyak faktor. Antara lain hal yang bersifat realistis bahkan pragmatis atau kepentingan pribadi.
Pun, teologi Muktazilah seandainya berada di arus utama dalam simpangan politik, maka dalam satu dan dua kasus tetap mendorong kediktatoran. Misal tragedi Mihnah – yang mencerminkan tiadanya kebebasan keyakinan. Tetapi hal itu tak bisa mengaitkan semata-mata dorongan teologi. []