Mubadalah.id – Film-film horor, terutama yang bernuansa mistis, banyak mewarnai industri film Indonesia. Film-film ini laris, dan bahkan mengalahkan film-film genre lain. Seperti baru-baru ini sutradara kondang, Joko Anwar, membuat sebuah film yang berjudul ‘Siksa Kubur’. Film ini disambut meriah oleh banyak penikmat film horor Indonesia.
Jika Anda menonton ‘Siksa Kubur’ dengan harapan menyaksikan dramatisasi kejahatan seorang tokoh yang diazab jatuh ke lumpur, dimakamkan lalu beroleh siksaan, maka bersiaplah kecewa. Formula klise kejahatan dan azab bisa kita saksikan di layar beling. Tak perlu ke layar lebar. Sayangnya ‘Siksa Kubur’ tidak bertumpu pada pakem eksplisit semacam itu. Mereka yang rajin menonton film-film Joko Anwar tahu betul soal itu.
Dalam tulisan ini, saya tidak berniat me-review film tersebut karena saya tidak termasuk penikmat horor meskipun saya sesekali menontonnya. Dalam tulisan ini saya berusaha menjawab pertanyaan yang muncul di benak saya, mengapa kita menyukai horor.
“Mengapa orang-orang menyukai cerita, novel, film, drama, dan permainan horor?” Matt Cardin, penulis horor berkebangsaan Amerika, pernah menanyakan pertanyaan serupa dalam kumpulan esai horornya, ‘What the Daemon Said’.
Pertanyaan ini menurut saya sangat relevan di tengah pengaruh dan kompetisi teknologi dan sains yang saling berebut dominasi saat ini. Cardin menyiratkan bahwa selera kita yang tak terpuaskan terhadap horor tampaknya berhubungan dengan hilangnya simbolisme alam dan juga karena kejayaan sains, teknologi, dan paradigma materialisme.
Tentang Makna Hidup
Cerita tentang malaikat, jin, dan monster serta cerita apapun yang menimbulkan rasa takut, teror, ketakutan, dan kegelisahan telah ada sejak awal peradaban. Mereka yang berpikir bahwa manusia telah melampaui takhayul pasti akan mencemooh teror fiktif yang masih terjadi dalam industri hiburan modern. Cardin menjawab pertanyaan mengapa ketertarikan kita terhadap ilmu hitam dan takhayul semakin tinggi meskipun sains dan teknologi sudah mengalami kemajuan?
Cardin memulai pemaparannya dengan menelaah tulisan Thomas Ligotti, salah satu penulis fiksi horor generasi sebelumnya. Inti dari pandangan Ligotti, seperti yang terangkum oleh Cardin, adalah nihilistik, ketidakbermaknaan, dan tragedi. Dunia horor Ligotti adalah dunia tanpa makna yang ia sebut modernitas.
Di tengah keberadaan yang “tidak bermakna” ini, cara-cara lama untuk menemukan makna hidup di dalam Tuhan, keindahan, dan keluarga masih kita rindukan, meskipun semuanya telah terlucuti. Tabirnya telah terkelupas dan koyak. Saya setuju dengan Ligotti bahwa dunia yang kita tinggali saat ini adalah “realitas mimpi buruk” yang terpenuhi dengan “keputusasaan kosmik” dan “krisis eksistensial.”
Jadi, horor adalah keberadaan de facto di dunia tanpa makna. Dan dengan sains kita telah menghilangkan kekaguman akan kepekaan estetik, dunia dan alam semesta—yang zaman dulu selalu berkaitan dengan kepercayaan terhadap Tuhan, roh, dan entitas supernatural lainnya—horor sudah menjadi kegilaan pengganti yang populer atas hilangnya pesona metafisik dan moral.
Sains, Teknologi dan Horor
Hubungan antara sains, teknologi, dan horor cukup kuat jika kita cermati lebih dekat. Tak lama setelah revolusi mesin cetak, fiksi horor mulai bermunculan di Inggris dengan penerbitan karya-karya seperti ‘Castle of Otranto’ karya Horace Walpole. ‘The Monk’ karya Matthew Lewis, dan berbagai novel Ann Radcliffe.
Pada saat filmografi menjadi media baru untuk bercerita, horor adalah salah satu genre film pertama yang diproduksi. Di mana cerita yang berhubungan dengan malaikat dan iblis sangat berlimpah di awal industri film dunia.
Di sini kita mungkin bertanya pada diri sendiri: mengapa horor? Mengapa horor begitu populer di dunia modern? Mengapa horor kita kaitkan dengan hilangnya rasa kagum, keindahan, keajaiban, Tuhan, roh, dan moralitas?
Cardin menjawab bahwa horor adalah manifestasi atas dorongan metafisik dan supernatural manusia ketika Tuhan yang baik hati dan indah kita asingkan di zaman relativisme tekno-hedonistik saat ini. Akibatnya yang tersisa hanyalah hantu ketakutan metafisik.
Pada pertengahan abad ke-18, filsuf Anglo-Irlandia Edmund Burke menulis risalah filsafatnya berjudul ‘An Inquiry into the Sublime and Beautiful’. Dalam karyanya itu, Burke mengartikulasikan sifat ganda psikologi-estetika pada manusia bahwa ada aspek luhur dalam diri manusia berupa kerinduan metafisik. Aspek luhur ini biasanya berdasarkan pada ketakutan, ekstasi yang menggebu-gebu yang sering kali menimbulkan rasa sakit, dan bahkan kekhawatiran akan kematian.
Menurut Burke, kecemasan adalah komponen kunci aspek luhur tersebut, sebab karena kecemasan ini kita dapat mengarahkan tindakan kita agar tidak sembrono menjalani hidup. Pandangan Burke tentang aspek luhur ini juga dikaitkan dengan agama tradisional. Kemunduran agama di dunia modern tidak membunuh keinginan akan aspek luhur yang ada dalam diri manusia. Sebaliknya, hal itu menyebabkan aspek luhur ini berubah menjadi sesuatu yang lain: horor.
Memahami Kekuatan dan Potensi Realitas Supranatural
Mungkin film paling terkenal yang cocok mencerminkan hal ini adalah ‘The Exorcist’. Film ini menunjukkan bahwa horor adalah manifestasi dari hal-hal metafisik yang membantu masyarakat memahami kekuatan dan potensi realitas supranatural.
Ketika masyarakat mulai menjauh dari kepercayaan tentang kehadiran realitas supranatural, apa yang membuat ‘The Exorcist’ benar-benar mengerikan adalah “dia menyatakan bahwa kehadiran entitas supranatural yang jahat dapat memasuki tubuh seorang anak yang tidak bersalah.”
Di sini kita dapat memahami bahwa kesuksesan film horor di layar lebar adalah karena adanya pengakuan terus-menerus terhadap masalah kejahatan. Horor adalah pengingat yang kejam bahwa kejahatan tetap ada. Meskipun kita orang modern suka menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa tidak ada yang namanya kejahatan dan bahwa semua nilai sifatnya relatif. Seperti yang Cardin katakan, “Bagaimana jika ada kejahatan tetapi tidak ada kebaikan yang bisa mengimbanginya?”
Di salah satu bagian dalam film ‘Night of the Living Dead’ karya George Romero, Cardin menawarkan pembacaan yang kritis sembari mempertemukan film tersebut dengan Meister Eckhart, Buddhisme, dan Kekristenan tentang kebangkitan tubuh jasmani.
Zombi adalah tubuh yang dibangkitkan, tetapi mereka tidak indah dan penuh kasih sayang seperti yang dibayangkan Dante atau seperti yang tersirat dalam beberapa kepercayaan agama mengenai kebangkitan di alam akhirat.
Konsep Horor Cardin
Lebih jauh lagi, lemah dan rentannya tubuh jasmani membuat kita sangat cemas. Mengapa? Karena kita terbentuk oleh paradigma humanisme yang sangat memuja tubuh jasmani sebagai sesuatu yang baik dan utama. Insting menggebu zombie untuk memakan daging dalam film tersebut bertentangan dengan pandangan humanisme kita.
Film Romero—yang muncul di tengah pusaran era “kematian Tuhan”—di atas menempatkan rasa “nihilisme dan keputusasaan” sembari memanfaatkan kepekaan spiritual seperti kematian, kebangkitan, dan penghakiman. Olehnya meskipun horor berasal dari keyakinan dan sentimen supernatural dan spiritual—malaikat dan iblis, terutama iblis—konsep horor Cardin adalah bagaimana horor dan sains bisa saling berhubungan satu sama lain.
Di dunia modern kita yang nihilistik dan relativistik ini, munculnya horor sangat bertepatan dengan kemenangan tirani sains dan teknologi, yang telah menghilangkan kekaguman terhadap hal-hal yang tak kasat mata dan tak dapat kita pahami. Namun hal ini belum sepenuhnya menghilangkan kekhawatiran akan kejahatan, harapan bahwa kebaikan akan menang melawan kejahatan. Selain itu juga kerinduan terhadap hal yang melampaui dunia materi. []