Mubadalah.id – Apa bedanya ketika perempuan menggunakan otoritas untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya, dengan ketika otoritas diserahkan pada pihak lain? Yang paling pasti adalah risiko besar bahwa pengalaman perempuan tidak dipertimbangkan oleh yang mewakilinya. Terutama ketika yang diserahi otoritas memang tidak mengalaminya.
Secara biologis, perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Durasinya mulai dari menit, jam, hari, bulan, sampai tahun. Semuanya memberi sensasi rasa sakit secara biologis, di samping mungkin rasa bahagia secara psikis.
Belum lagi ketika hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui itu akibat perkosaan. Tentu rasa sakitnya tidak hanya secara fisik. Melainkan juga secara batin yang bisa berlangsung seumur hidup anak yang ia lahirkan dan seumur hidupnya.
Ketika kebijakan negara dan kemaslahatan agama hanya laki-laki rumuskan, sedangkan ia tidak akan pernah mengalaminya, apakah mereka memahami pengalaman biologis yang juga melibatkan psikis ini dengan baik?
Mau dan mampukah mereka mempertimbangkan rasa sakit secara lahir dan batin dalam waktu lama, dalam kebijakan dan kemaslahatan tersebut?
Belum lagi pengalaman sosial. Perempuan bisa mengalami stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda, hanya karena menjadi perempuan. Bentuknya sangat banyak dan beragam. Laki-laki mungkin mengalami ketidakadilan, tetapi sangat jarang hanya karena ia menjadi laki-laki.
Bahkan ketika laki-laki mengalami ketidakadilan karena menjadi laki-laki. Hal itu tetap berbeda dengan perempuan yang mengalami ketidakadilan karena menjadi perempuan. Mungkinkah mereka mau dan mampu mempertimbangkan pengalaman jenis ini dalam perumusan kebijakan dan kemaslahatan.
Perempuan yang mengalaminya pun perlu waktu untuk sampai terampil mengintegrasikannya. Semoga perempuan dan laki-laki bisa mengintegrasikan pengalaman khas masing-masing dalam merumuskan kebijakan dan kemaslahatan, sebab keduanya sama-sama punya otoritas. []