Mubadalah.id – Independensi perempuan mengenai harta miliknya adalah terobosan progresif dalam hukum Islam, ketika peradaban lain, bahkan sampai akhir abad 19 banyak yang masih menempatkan perempuan menikah (istri) setara dengan anak kecil dan orang gila, yang dalam pengelolaan hartanya harus di bawah pengawasan sang suami.
Perempuan dalam perspektif hukum Islam, menurut semua ulama fiqh, dapat melakukan tindakan hukum secara penuh (ahliyah kamilah) atas harta yang dimilikinya, baik sebagai lajang maupun menikah dengan seseorang.
Orang tua maupun suami perempuan tidak berhak melakukan intervensi atas harta yang dimilikinya, apalagi mengambil dan memiliki hartanya secara paksa. Yang mengurangi kelayakan tindakan hukum seseorang hanya persoalan umur dan kewarasan, bukan persoalan jenis kelamin, atau karena sebab pernikahan. Ini berlaku bagi perempuan dan laki-laki.
Karena itu, tindakan hukum mereka yang masih kecil, belum dewasa, dan gila, harus memperoleh persetujuan dari wali mereka. Sementara tindakan hukum seorang perempuan, yang sudah dewasa dan tidak gila, adalah sah tanpa memerlukan izin dari orang tua maupun suami.
Dari prinsip independensi ini ditambah prinsip kewajiban nafkah yang tunggal oleh suami, maka secara teoritis hukum Islam tidak mengenal sharing properti keluarga, atau harta bersama dalam keluarga. Kecuali jika perempuan dan laki-laki secara suka rela melakukan ikatan perkongsian (syirkah) harta.
Perkongsian harta ini harus secara eksplisit muncul di luar akad/ikatan pernikahan. Akad nikah dalam fiqh tidak otomatis menjadi perkongsian harta antara suami dan istri. Karena itu, perkongsian harta antara suami dan istri tidak menjadi pembahasan dalam referensi fiqh mengenai pernikahan.
Perkongsian harta bisa kita temukan dalam pembahasan transaksi keuangan (mu’âmalah). Tetapi pembahasan mu’amalah juga tidak secara khusus membicarakan perkongsian harta antara suami dan istri. Pembahasan yang ada menyangkut perkongsian umum, antara teman, antara saudara, yang bisa menyangkut juga antara suami dan istri.
Syarat yang Jelas
Tetapi perkongsian (syirkah) yang dibahas dalam mu’amalah mensyaratkan adanya porsi penyertaan yang jelas dari setiap anggota kongsi, baik berupa modal, harta, tenaga, maupun kepercayaan. Sementara penyertaan modal atau tenaga dalam kehidupan rumah tangga pada galibnya tidak pernah diperhitungkan secara jelas.
Karena memang kehidupan rumah tangga bukan sebagai sebuah perkongsian usaha, dengan modal dan tenaga tertentu untuk menghasilkan keuntungan tertentu. Mungkin karena karakter pernikahan yang tidak bisa sama persis dengan perkongsian. Ia kemudian tidak bisa kita bahas dalam mu’amalah, dan tidak menemukan persoalan harta bersama dalam pembahasan hukum fiqh.
Harta dalam pernikahan tetap harus keduanya pisah antara milik suami dan milik istri. Hanya suami yang memiliki beban kewajiban nafkah terhadap istri dan tidak sebaliknya. Hal demikian adalah teori dasar fiqh mengenai properti dalam kehidupan rumah tangga, yang seringkali menjadi dasar dari pertimbangan-pertimbangan hukum untuk persoalan-persoalan lain terkait hak dan kewajiban suami dan istri.
Konsep sharing properti keluarga dalam fiqh bisa kita runut dari konsep nafkah itu sendiri, di mana teori ‘nafkah setimpal dengan seks’ harus kita tinjau ulang. Terutama ketika teori ini bertentangan dengan pandangan-pandangan hukum fiqh yang menjadi turunannya.
Misalnya, apakah jika ‘nafkah setimpal dengan seks’ maka besaran jumlah nafkah ia ukur dengan besaran layanan seks? Ternyata tidak, karena dalam fiqh, besaran nafkah fiqh tentukan dari kebutuhan istri dan status sosialnya yang istri miliki. Kebutuhan istri juga bisa berubah sesuai dengan kondisi, sekalipun secara prinsip harus memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan sandang.
Pada praktiknya, fiqh memperkenank istri menuntut nafkah karena ia membutuhkannya, bukan karena ia telah melayani kebutuhan seks suami. Sekalipun tuntutan istri, bisa tidak terkabulkan menurut fiqh dalam pembahasan lebih lanjut. Jika ia tidak atau enggan melayani kebutuhan seks suami. []