Baca juga: Adakah Keluarga Ideal?
Pada hari itu, kaum perempuan menyadari bahwa gerakan pembaharu memang harus dimulai dari kesadaran diri, mulai dari lini paling kecil, individu dan keluarga. Maka persoalan poligami sudah dibahas dalam agenda Kongres.
Peringatan Hari Ibu yang marak dirayakan saat ini sejatinya bukan sebuah perayaan atas domistifikasi perempuan – peran ibu, sejatinya sebuah perayaan akan sejarah gerakan perempuan yang luar biasa.
Sebuah sejarah yang menggugat ketidakadilan dan budaya patriarkhi yang mendiskriminasikan perempuan. Sebuah gerakan yang berangkat dari keluarga, dari rumah tangga.
Maka, bila akar ketertindasan perempuan berangkat dari rumah tangga sebagaimana disebutkan dalam narasi feminis. Saya bersyukur, almarhumah Ibu Siti Umrah patut kusebut pahlawan perempuan, paling tidak bagiku.
Salah satu kenangan yang paling kuat Ibu ceritakan padaku adalah tentang peran seorang ibu ketika memaknai kalimat wahnan ala wahnin atau artinya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah.
Yakni situasi di mana Ibu harus mengandung bayi mulai bulan 0 sampai 9 bulan, dilanjutkan melahirkan, dan menyusui. Membaca Surat Luqman ini, Ibu berkata dalam bahasa Jawa, yang kira-kira artinya adalah “maka sudah sepatutnya pekerjaan rumah tangga dikerjakan laki-laki, lha, sebagai perempuan kita sudah capek urus diri dan bayi.“
Berangkat dari itu, saya menilai Ibu berhasil mendidik putranya agar tak mendikotomi antara pekerjaan publik dan privat. Ibu berhasil mendidik putranya untuk mau berbagi peran rumah tangga, support pasangan dan yang pasti, putranya berani berjanji menolak poligami sejak detik sebelum akad nikah dimulai sebagai perjanjian ikatan suci Kami.
Inilah perayaan memperingati Hari Ibu yang utama, berangkat dari rumah tangga, mendobrak dikotomi domestic–publik, privat–publik. Semoga amal baik ibu menjadi pahala kekal di sana. Dan apa-apa yang ibu didikkan pada putra Ibu, akan saya didikkan pada kedua putraku. Amin.[]