Mubadalah.id – KUPI digerakkan oleh sebuah jaringan konvergensi antara aktivis pesantren, kampus, dan pekerja pendampingan di akar rumput.
Dialektika di antara mereka sangat memperkaya hasil rumusan fatwa yang mereka tawarkan yang menunjukkan dinamika perdebatan tingkat tinggi sebelum sampai pada tawaran final mereka sebagaimana dalam keputusan fatwa KUPI.
Proses diskusi perumusannya dilakukan berbulan-bulan dan berulang kali dengan mendialogkan tiga kutub: realitas lapangan berbasis riset, pemikiran keagamaan berbasis metodologi ushul fiqh, dan tataran praksis kerja-kerja gerakan di lapangan.
Di antara itu, membangun metodologi perumusan fatwa yang sedapat mungkin terhindar dari prasangka jenis kelamin, kelas, dan rezim pemikiran tunggal.
Semua ini hanya mungkin karena KUPI bergerak oleh para ibu nyai pimpinan pesantren, sayap perempuan ormas keagamaan arus utama. Bahkan peneliti bisa bergaul luas dan bersentuhan dengan paradigma yang sanggup menembus ruang-ruang beku dan buntu dalam pemikiran agama.
Para aktivis perempuan dengan latar belakang keluarga Muslim non-santri, serta para pekerja komunitas yang bersitekun dengan pemberdayaan perempuan di komunitas-komunitas perempuan yang terpinggirkan termiskinkan.
Mereka menghindari dominasi sepihak atau bersandar pada ketokohan orang per orang. Namun, semua berangkat dari titik keyakinan yang sama, Islam Indonesia (seharusnya) sanggup menjawab soal-soal kekinian yang kaum perempuan di Indonesia hadapi. Dan bahkan dapat menyumbang pada pemikiran Islam dunia yang juga menghadapi persoalan ketertindasan perempuan di dunia global.
Jawaban yang terbarukan itu kita perlukan karena struktur relasi kuasa sosial dan gender masa kini tak lagi sama dengan ketika agama turun.
Perlindungan-perlindungan personal terhadap perempuan yang semula berbasis klan dalam tradisi patriarki. Sebagaimana dinarasikan agama dianggap tak sanggup lagi menjawab persoalan ketertindasan perempuan terkini. Hal itu disebabkan adanya perubahan relasi gender dalam masyarakat pasca-industrialisasi dan modernisasi.
Tercatat dalam Sejarah Islam dan Dunia
Di lain pihak, mereka meyakini, agama seharusnya menjadi pegangan etis dan etos dalam membaca situasi kaum perempuan masa kini. Karena itu, kita butuhkan cara baca atau metode yang terbarukan sehingga agama tetap relevan sebagai pemandu perubahan. Kongres ini sangat penting untuk dicatat dalam sejarah Islam di Indonesia ataupun di dunia.
Kongres ini telah melegitimasi dan mengafirmasi kerja-kerja perempuan-perempuan ulama di Indonesia. Terutama mereka yang telah memiliki kesadaran keberpihakan untuk keadilan antara laki-laki dan perempuan.
Tinggal kemudian bagaimana ulama, terutama lelaki, sebagaimana Presiden Ashraf Ghani, mampu merekognisi capaian ini dan tak menganggapnya sebagai ancaman. Meski hasil fatwa mereka mungkin mengganggu kenyamanan para patriarki penunggang agama. []