Mubadalah.id – Sekitar tahun 625–6 M, seorang perempuan Madinah bernama Umu Umāra, yang merupakan generasi pertama Muslim, pernah menyampaikan kegelisahannya kepada Nabi Muhammad Saw sehubungan dengan wahyu-wahyu al-Qur’an. “Saya melihat bahwa semua hal (di al-Qur’an) berkaitan dengan laki-laki; saya tidak melihat penyebutan apapun tentang perempuan.”
Pernyataan di atas tampaknya merupakan wujud kekhawatiran tersendiri bagi perempuan Muslim generasi awal. Bahwa kurangnya rujukan eksplisit kepada perempuan dalam wahyu Tuhan berisiko menjebak umat pada asumsi hanya laki-laki sajalah yang berperan penting dalam rumusan-rumusan agama. Selain itu hanya amal laki-laki saja yang diganjar pahala di akhirat.
Dalam riwayat lain juga menyebutkan bahwa Umu Salama, istri Nabi, pernah bertanya kepada Nabi mengapa al-Qur’an hanya tertuju kepada laki-laki. Sementara perempuan yang berjuang, berhijrah dan berkorban seperti laki-laki—terkesan tidak begitu tersorot oleh al-Qur’an. Beberapa hari setelah dia menanyakan pertanyaan tersebut—dan ketika dia sedang menyisir rambutnya—dia mendengar Nabi membacakan surah al-Ahzab ayat 35 di atas mimbar yang berbunyi:
“Sesungguhnya muslim dan muslimat, mukmin dan mukminat, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan penyabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kemaluannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, untuk mereka Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al-Ahzab: 35).
Pemikiran Feminis Muslim
Para feminis Muslim sering merujuk pada ayat ini untuk menyoroti nilai-nilai kesetaraan gender yang terkandung di dalam al-Qur’an. Seperti yang Amina Wadud pahami dalam ‘Qur’an and Woman’-nya. Dia memahami ayat tersebut sebagai bukti bahwa al-Qur’an menolak asumsi umum tentang sifat jahat yang melekat pada diri perempuan. Lalu menuntut agar perempuan juga musti mendapat perlakuan setara dan penuh penghormatan sebagaimana laki-laki.
Mohammad Ali Syed dalam ‘Muslim Women and Gender Justice’ juga berpendapat bahwa ayat di atas merupakan awal dari tren baru dalam wahyu al-Qur’an. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa ayat tersebut menempatkan perempuan pada posisi spiritual yang setara dengan laki-laki.
Hal ini senada dengan apa yang pernah Ibn Arabi katakan bahwa dalam hal spiritualitas, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. “setiap kebajikan yang mengarah pada penyempurnaan jiwa sama-sama dapat diakses oleh laki-laki dan perempuan.”
Terlepas dari pendapat mayoritas mufasssir yang mengaitkan surah al-Ahzab ayat 35 di atas kepada Umu Salama (atau Umu Umāra). Namun hal itu bukan semata dimaksudkan untuk menyoroti peran Umu Salama sebagai media penyampai kritik terhadap bahasa al-Qur’an.
Lebih dari itu, mengajukan pertanyaan kritis sebagai seorang perempuan menunjukkan bahwa dia—dan semua perempuan Muslim—memiliki peran penting. Terutama dalam pemaknaan wahyu secara kritis dan bukan sekadar menjadi pengamat pasif.
Posisi Setara Laki-laki dan Perempuan
Namun demikian, meskipun ayat tersebut dan ayat lainnya secara tersurat menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan, penafsiran kitab suci yang para mufasssir laki-laki lakukan pada periode pra-modern telah menutupi nilai-nilai kesetaraan gender dalam al-Qur’an. Selain itu melemahkan dampak bahasanya yang inklusif gender.
Hal tersebut menyebabkan terciptanya paradigma moral dan agama yang cenderung mengistimewakan laki-laki daripada perempuan. Kisah penciptaan Adam dan Hawa adalah salah satu contoh penafsiran androsentrik seperti itu.
Berbeda dengan kisah Adam-Hawa dalam kitab-kitab suci lain, al-Qur’an sama sekali tidak pernah menyebutkan nama “Hawa”. Alih-alih “Adam dan Hawa”, al-Qur’an hanya berbicara tentang “Adam dan zauj” dalam surah al-Baqarah ayat 35, surah al-‘Araf ayat 19 dan surah Taha ayat 117.
Meskipun demikian, kisah “Adam-Hawa” tampaknya telah mendarah daging dalam pemahaman kita. Terutama pandangan bahwa Hawa lah yang menjadi penyebab utama kejatuhan manusia dan bahwa Hawa tercipta dari dan untuk Adam melalui “kisah tulang rusuk”.
Merespon hal ini, Riffat Hassan dalam esainya ‘Woman-man Equality in Creation: Interpreting the Qur’an from a Nonpatriarchal Perspectives’ membedah masalah ini melalui signifikansi bahasa al-Qur’an itu sendiri. Dia menulis:
“Umat Islam berasumsi bahwa ‘Adam’ adalah manusia pertama yang Allah ciptakan. Bahwa ia adalah seorang laki-laki. Jika ‘Adam’ adalah seorang laki-laki, maka ‘zauj Adam’ adalah seorang perempuan. Oleh karena itu, ‘zauj’ yang tersebutkan dalam al-Qur’an disamakan dengan ‘Hawa’. Namun, baik asumsi awal maupun kesimpulan yang diambil darinya tidak didukung secara jelas atau konklusif oleh teks al-Qur’an. Al-Qur’an tidak menyatakan bahwa Adam adalah manusia pertama atau bahwa ia adalah seorang laki-laki. Istilah ‘Adam’ adalah kata benda maskulin, tetapi gender linguistik bukanlah jenis kelamin.”
Menilik Istilah Zauj dalam Al-Qur’an
Jika “Adam” tidak muluk laki-laki, seperti yang Hassan katakan, maka “zauj Adam” juga tidak muluk perempuan.
Menurutnya, istilah zauj merupakan kata benda maskulin dan memiliki padanan femininnya, zaujatun. Di sini, perlu kita catat bahwa, menurut Hassan, padanan kata yang tepat dalam bahasa Inggris untuk kata zauj bukanlah “istri” atau “suami.” Atau bahkan “pasangan,” melainkan “rekan”.
Di sisi lain, “al-Qur’an menggunakan istilah zauj tidak hanya merujuk pada manusia (laki-laki atau perempuan). Tetapi juga segala jenis ciptaan, termasuk hewan, tumbuhan dan buah-buahan.”
Lebih jauh dia menyatakan bahwa hanya masyarakat Hijaz sajalah yang menggunakan istilah zauj untuk merujuk pada perempuan, “sedangkan di tempat lain menggunakan zaujatun.” Menurut Hassan, terdapat faktor budaya patriarki pra-Islam dan pengaruh Yahudi-Kristen mengenai posisi Hawa yang dianggap inferior daripada Adam.
Olehnya untuk memenuhi konsepsi patriarki ini, memahami zauj sebagai istri atau perempuan lebih cocok daripada rekan yang berkonotasi setara.
Kemudian, dia juga mengklaim tentang tidak adanya “ribstory” (kisah tulang rusuk) dalam al-Qur’an. Oleh karena itu Muslim tidak memiliki dasar untuk berasumsi bahwa Adam adalah ciptaan utama Tuhan dan Hawa tercipta dari tulang rusuknya.
Kisah Adam-Hawa
Menurut Asma Afsaruddin dalam ‘Women and the Qur’an’ bahwa “kisah penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam berawal dari kisah-kisah Isrāiliyyāt. Cerita yang berkaitan dengan kisah-kisah atau sejarah Yahudi dan Kristen. Di mana kisah ini telah berakar dalam tafsir Muslim pada masa at-Tabarī. Terutama karena implikasinya yang sesuai dengan nilai-nilai patriarki masyarakat yang berkembang pada abad ke-3/9.” Padahal, menurut Asma, penafsiran seperti itu sangat bertentangan dengan apa yang sebenarnya al-Qur’an nyatakan tentang penciptaan manusia:
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu (nafs wahida). Dan darinya menciptakan pasangannya, dan dari keduanya berkembang biak laki-laki dan perempuan.” (Qs. An-Nisa: 1)
Menganalisis ayat di atas, Asma menulis bahwa “penciptaan yang serentak dari ‘nafs wāhida’. Sebagaimana penjelasan dalam ayat ini, meniadakan kemungkinan laki-laki diberi status yang lebih unggul secara ontologis karena telah diciptakan terlebih dahulu, yang dari tubuhnya kemudian diturunkan status perempuan. Dengan demikian, al-Qur’an dengan jelas melemahkan gagasan tentang hubungan hierarkis antara laki-laki dan perempuan dan sebaliknya memberikan mereka kesetaraan ontologis yang sempurna.”
Terlepas dari masalah yang Hassan dan Asma ajukan di atas sehubungan dengan kisah Adam-Hawa, menurut saya tidak sulit memahami bahwa al-Qur’an jelas merujuk pada “pasangan” atau istri Adam—siapapun namanya. Barangkali yang menjadi persoalan utama kita dalam ayat ini hanyalah bagaimana kata atau ayat tersebut kita maknai. Apakah hubungan keduanya kita pandang setara ataukah tidak. []