Mubadalah.id – Penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan besar dalam memperoleh akomodasi yang layak. Meskipun sudah ada beberapa kebijakan dan peraturan yang tertuju untuk melindungi hak-hak mereka. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak hambatan struktural yang menghalangi mereka untuk hidup setara dengan individu non-disabilitas.
Dari akses hukum, misalnya, masih banyak aturan yang mengedepankan kriteria sehat jasmani dan rohani. Di mana dalam praktiknya menyulitkan penyandang disabilitas. Oleh karena itu, penting untuk melihat isu ini dari perspektif ekonomi perawatan, yang menekankan perlunya memenuhi kebutuhan khusus bagi penyandang disabilitas melalui pendekatan yang lebih holistik dan inklusif.
Akomodasi yang layak tidak hanya sebatas menyediakan fasilitas fisik yang dapat terakses. Tetapi juga meliputi proses, media, dan alat yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Dalam konteks ini, pihak-pihak yang bertanggung jawab,termasuk negara, penyedia layanan publik, penyedia kerja, dan Masyarakat, harus berperan aktif dalam mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan kesejahteraan penyandang disabilitas secara menyeluruh.
Negara, khususnya, harus memastikan bahwa semua kebijakan dan peraturan yang ada mendukung terciptanya lingkungan yang inklusif dan dapat terakses oleh semua, tanpa terkecuali.
Perhatian terhadap Caregiver
Salah satu aspek penting dalam pemenuhan akomodasi yang layak adalah perhatian terhadap caregiver. Caregiver merupakan seorang pengasuh yang bertanggung jawab terhadap individu dengan keterbatasan akibat usia, kecacatan, penyakit atau gangguan mental dan bertujuan untuk membantu menjalankan aktivitas sehari-hari atau pengasuh penyandang disabilitas.
Menjadi pengasuh bagi seseorang dengan disabilitas bukanlah tugas yang ringan. Dalam banyak kasus, caregiver, terutama ibu harus menghadapi tantangan besar, baik secara fisik, emosional, maupun finansial.
Kebutuhan akan perawatan medis, terapi, dan alat bantu yang spesifik menambah beban ekonomi yang harus dipikul keluarga. Selain itu, biaya hidup sehari-hari juga meningkat, seperti kebutuhan untuk transportasi yang lebih aman dan nyaman, serta perawatan rutin seperti fisioterapi atau terapi sensori.
Data dari Prospera menunjukkan bahwa kesejahteraan penyandang disabilitas memerlukan biaya ekstra sebesar 4,6% lebih tinggi daripada individu tanpa disabilitas. Terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Namun, tantangan tidak berhenti pada kebutuhan fisik atau biaya perawatan.
Beberapa kebijakan sosial, seperti batasan usia pada program BPJS yang hanya mencakup hingga usia 7 tahun, menciptakan kesenjangan yang besar dalam aksesibilitas layanan kesehatan. Ketika anak penyandang disabilitas berusia lebih dari tujuh tahun, biaya perawatan kesehatan harus tertanggung secara pribadi oleh keluarga.
Hal ini menambah beban keluarga yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, penting untuk merevisi kebijakan-kebijakan ini agar dapat memberikan perlindungan sosial yang berkelanjutan bagi kesejahteraan penyandang disabilitas sepanjang hidup mereka.
Beban Pengasuhan tidak Merata
Kendala lain yang sering penyandang disabilitas hadapi, terutama perempuan, adalah beban pengasuhan yang tidak merata. Keluarga, perempuan sering kali terbebani dengan tugas pengasuhan yang intensif, sementara peran laki-laki dalam hal ini cenderung lebih terbatas.
Pengasuhan penyandang disabilitas seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Menurut Sri Wiyandi Eddyono, S.H., LL.M (HR). Ph. D sebagai akademisi di Fakultas Hukum UGM yang merespon dan mendorong kebijakan untuk akses disabilitas. Ia menjelaskan bahwa ketimpangan ini dapat menyebabkan perempuan meninggalkan pekerjaan atau karir mereka. Karena mereka dianggap sebagai pihak yang lebih bertanggung jawab atas pengasuhan anak dengan disabilitas.
Hal ini tentu saja memperburuk kesenjangan gender dalam dunia kerja, di mana perempuan lebih sering tidak dihargai karena pekerjaan domestik yang mereka lakukan. Oleh karena itu, penting untuk memandang peran perempuan dalam pengasuhan penyandang disabilitas sebagai pekerjaan yang setara dengan pekerjaan di luar rumah.
Mengakui pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan dalam ekonomi perawatan dapat membantu mengubah paradigma sosial yang ada. Di sini, pembagian tanggung jawab antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan individu menjadi sangat penting. Ekonomi perawatan, yang mencakup perhatian terhadap kesejahteraan dan perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas serta caregiver-nya. Ini harus menjadi perhatian utama dalam menciptakan masyarakat yang inklusif dan adil.
Sosialisasi dan Implementasi Kebijakan masih Terbatas
Selain itu, di tingkat kebijakan, Indonesia telah memiliki sejumlah regulasi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi penyandang disabilitas. Misalnya, peraturan daerah yang mengatur jaminan akses layanan kesehatan dan sosial bagi penyandang disabilitas.
Namun, meskipun telah ada berbagai kebijakan, sosialisasi dan implementasinya masih terbatas. Untuk itu, perlu ada sinergi antara berbagai pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi masyarakat, hingga sektor swasta. Tujuannya untuk memastikan bahwa layanan ini benar-benar dapat menjangkau seluruh penyandang disabilitas di berbagai wilayah.
Satu hal yang sangat krusial adalah perlunya pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam setiap kebijakan yang diambil. Penyandang disabilitas tidak hanya membutuhkan bantuan atau perhatian, tetapi hak mereka untuk hidup dengan martabat, mendapatkan pendidikan yang setara, akses terhadap layanan kesehatan yang memadai. Selain itu kesempatan untuk bekerja dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial, harus terakui dan terpenuhi.
Oleh karena itu, tidak hanya pemerintah yang harus bertanggung jawab, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan harus berperan dalam menciptakan lingkungan yang ramah bagi penyandang disabilitas.
Dalam rangka mewujudkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas, langkah-langkah nyata perlu kita ambil. Baik dalam bentuk kebijakan, dukungan sosial, maupun perubahan sosial. Penyandang disabilitas harus memiliki akses yang setara terhadap semua aspek kehidupan, dan peran caregiver, terutama perempuan, harus kita hargai sebagai pekerjaan yang penting.
Hanya dengan pendekatan yang inklusif, berkelanjutan, dan berbasis hak asasi manusia, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil. Di mana setiap individu, terlepas dari kondisi fisik atau mentalnya, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial. []