Mubadalah.id – Keberadaan penyandang disabilitas di Indonesia bukanlah sesuatu yang bisa kita abaikan. Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2018, jumlah penyandang disabilitas di berbagai kelompok umur cukup signifikan.
Dari anak-anak hingga usia lanjut, mereka memiliki tantangan tersendiri dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal akses pendidikan, sosial, dan keagamaan. Salah satu kelompok yang menghadapi tantangan besar adalah difabel tuli.
Difabel tuli sering kali mengalami kesulitan dalam mengakses literasi agama karena keterbatasan media yang menyediakan layanan penerjemah bahasa isyarat. Padahal, mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pemahaman keagamaan yang komprehensif, seperti dalam konstitusi Indonesia. Dalam praktiknya, difabel tuli masih menghadapi berbagai hambatan dalam memahami ajaran agama Islam.
Hal ini terjadi karena kurangnya fasilitas yang mendukung akses literasi agama, seperti penerjemah bahasa isyarat dalam ceramah atau khutbah Jumat.
Masalah ini semakin diperparah dengan minimnya individu yang memiliki kemampuan dalam menerjemahkan ajaran agama ke dalam bahasa isyarat. Akibatnya, penyandang disabilitas tuli sering kali mengalami kesulitan dalam memahami nilai-nilai keagamaan yang esensial, baik dalam ibadah maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya Memfasilitasi Difabel Tuli dalam Literasi Agama
Berbagai pihak telah mencoba untuk mengatasi hambatan tersebut. Salah satu langkah positif yang patut kita apresiasi adalah keberadaan Laboratorium Agama di Masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tempat ini menjadi satu-satunya masjid di Indonesia yang menyediakan penerjemah bahasa isyarat dalam setiap penyelenggaraan khutbah Jumat. Langkah ini menjadi bukti bahwa masyarakat mulai menerapkan sikap inklusivitas bagi penyandang disabilitas.
Selain itu, Kementerian Agama juga berupaya memenuhi hak-hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan pemahaman agama yang setara. Hal ini telah diatur dalam konstitusi Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 dan Pasal 28E UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk menjalankan dan memahami ajaran agamanya dengan baik.
Di sisi lain, organisasi seperti Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) juga turut serta dalam mengadvokasi hak penyandang disabilitas. Salah satu aspirasi mereka adalah penyediaan kamus bahasa isyarat untuk istilah dalam ibadah serta penerjemah bahasa isyarat dalam khutbah dan prosesi pernikahan.
Peran Media Digital bagi Difabel Tuli
Di era digital saat ini, kehadiran internet dan media sosial menjadi peluang besar untuk meningkatkan akses literasi agama bagi penyandang disabilitas tuli. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 171,17 juta jiwa dari total populasi 246,16 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat telah terbiasa menggunakan media digital dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya media digital, difabel tuli dapat mengakses berbagai sumber literasi agama kapan pun dan di mana pun. Berbagai platform seperti sosial media dan website keagamaan mulai menyediakan konten berisi ajaran Islam yang mempunyai penerjemah bahasa isyarat atau teks yang ramah difabel.
Salah satu contoh media digital yang memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas adalah aplikasi tafsir digital dan video ceramah yang mempunyai subtitle serta bahasa isyarat. Dengan adanya teknologi ini, mereka tidak lagi terbatas dalam memperoleh informasi keagamaan hanya melalui ceramah langsung, tetapi juga melalui platform daring yang lebih fleksibel.
Masa Depan Literasi Agama bagi Difabel
Meskipun masih ada berbagai tantangan, perkembangan teknologi dan kesadaran masyarakat akan pentingnya inklusivitas terus meningkat. Bahkan kita berharap di masa depan, semakin banyak masyarakat yang menyediakan fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas, terutama dalam bidang literasi agama.
Pemerintah, akademisi, dan organisasi sosial harus terus bekerja sama dalam menciptakan ekosistem yang inklusif. Salah satu langkah konkret yang dapat kita lakukan adalah meningkatkan pelatihan bagi para penerjemah bahasa isyarat dalam bidang keagamaan serta mengembangkan konten digital yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas.
Kesetaraan bagi penyandang disabilitas bukan hanya sebatas dalam aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga dalam pemenuhan kebutuhan spiritual mereka. Dengan akses literasi agama yang lebih baik, diharapkan mereka dapat menjalankan kehidupan beragama dengan lebih nyaman dan bermakna.
Apa yang bisa kita lakukan?
Penyandang disabilitas tuli menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses literasi agama, mulai dari minimnya penerjemah bahasa isyarat dalam ceramah keagamaan hingga terbatasnya sumber informasi yang ramah difabel. Namun, dengan perkembangan media digital dan meningkatnya kesadaran inklusivitas, akses literasi agama bagi mereka semakin terbuka.
Dengan dukungan dari berbagai pihak, kita berharap penyandang disabilitas tuli dapat merasakan kesetaraan dalam mendapatkan pemahaman agama yang lebih baik. Pada akhirnya, inklusivitas dalam literasi agama bukan hanya tentang memberikan akses, tetapi juga tentang memberikan penghargaan dan pengakuan terhadap difabel.[]