Mubadalah.id – Musyawarah Keagamaan adalah forum pengambilan keputusan dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tentang masalah-masalah sosial keagamaan. Ini sudah pernah diadakan pertama kali pada Kongres pertama di Cirebon (2017) dan Kongres kedua di Jepara (2022).
Sebelum Musyawarah Keagamaan di Kongres, dalam rentang waktu pra-kongres, diadakan halaqah-halaqah keagamaan sebagai pengantarnya. Halaqah diadakan oleh komunitas, lembaga, atau kelompok individu yang beriman dan mengadopsi visi gerakan KUPI.
Sebelum halaqah, kajian individu kita persiapkan terlebih dahulu untuk mendalami data, analisis, refleksi, dan argumentasi yang relevan.
Musyawarah Keagamaan KUPI kita awali dari pertanyaan yang telah individu maupun lembaga ajukan tentang isu-isu sosial. Terutama yang memiliki dampak besar terhadap perempuan.
Isu ini kami rumuskan terlebih dahulu permasalahannya, untuk mengenali segala aspek sosial, kultural, ekonomi, politik, hukum, bahkan medis dan lingkungan. Terutama keburukan-keburukan yang menimpa perempuan, atau kebaikan yang akan perempuan perolehnya.
Data dan analisis yang relevan dari berbagai pihak yang telah melakukan kajian akan menjadi bahan dalam kajian, pembahasan, dan perumusan.
Kajian awal tentang permasalahan harus kita lakukan dengan pendekatan interdisipliner, dengan memertimbangkan pengalaman perempuan. Terutama pihak-pihak yang mengalami dampak dari permasalahan tersebut.
Kajian teks-teks keagamaan, baik dari dua sumber utama, maupun dari sumber-sumber lain juga sudah kita lakukan terlebih dahulu, atau dengan mencari dan menghadirkan kajian-kajian yang sudah tersedia. Hasil dari semua kajian awal ini kita bawa dalam forum-forum halaqah maupun Musyawarah Keagamaan.
Tahapan-tahapan
Dalam memproses semua tahapan ini, pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia memiliki empat karakteristik. Yaitu pertama, partisipatoris (melibatkan pihak-pihak dari berbagai latar belakang). Kedua, terbuka (dapat menerima pandangan dari berbagai pihak dan bisa kita pertanggungjawabkan ke masyarakat luas).
Ketiga, responsif (merespons persoalan-persoalan nyata yang terjadi di masyarakat dan mengandung aspek ketidakadilan akibat relasi sosial yang timpang). Keempat, dialektik (cara mendialogkan antara teks dan konteks, antara prinsip universal dan kearifan lokal, dan antara kepentingan jangka panjang dan pendek).
Ketika semua tahapan kajian awal dan halaqah-halaqah diselenggarakan, Musyawarah Keagamaan dilakukan pada saat Kongres.
Secara teknis, pertemuan Musyawarah ini dipimpin seorang ketua, didampingi wakil ketua dan sekretaris. Serta mushahhih (yang mengevaluasi dan memberi catatan akhir).
Hasil akhir keputusan Musyawarah ini ditulis dalam struktur perumusan yang diawali dengan judul dengan huruf kapital “HASIL MUSYAWARAH KEAGAMAAN KONGRES ULAMA PEREMPUAN INDONESIA.” []