“Tak ada lagi yang namanya pahlawan di Yaman, hanya ada penjahat dan sisa lainnya adalah korban,” Radhya Al Mutawakel mengeluh lirih.
Negaranya telah porak poranda. Ia sudah lama kehilangan harapan, pemerintahnya tak pernah bisa diandalkan. Rakyat pun tak berkutik, tiap hari seakan-akan hanya menunggu malaikat pencabut nyawa untuk mengambil tiket antrian kematian.
Sebagai perempuan yang bekerja sebagai penyidik pelanggaran HAM, Radhya setiap hari harus berhadapan dengan para korban beserta cerita pilu mereka yang tak berdaya. Kisah tragis mereka bagaikan menu harian yang selalu terdengar semakin mengiris hati dari waktu ke waktu.
Hal ini yang akhirnya mendorong Radhya dan suaminya, Abdulrasheed Al-Faqih menginisiasi terbentuknya Mwatana, kelompok pencari fakta yang mendokumentasikan seluruh pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab, baik dari pihak pemerintah maupun pemberontak.
Dengan pekerjaan penuh risiko tersebut, keduanya sudah kenyang makan asam garam ‘mencicipi’ pahitnya hidup di balik dinding sel dan gertakan ancaman pembunuhan. Meski begitu, mereka tak pernah gentar untuk berjuang. Jihad kelas berat itu harus mereka lakukan dengan harapan keadilan suatu saat nanti akan ditegakkan, meski sekarang masih diliputi oleh awan tebal nan gelap tanpa secercah cahaya yang memantik jalan keluar. Konsekuensinya, mereka memilih untuk tidak memiliki anak. Keputusan tersebut bukan tanpa pertimbangan.
Kondisi perempuan dan anak di Yaman adalah salah satu terburuk di dunia. Tanpa konflik, negara dengan ibukota Sana’a ini sebenarnya sudah dihadapkan oleh pelayanan publik yang kacau balau, tingkat pengangguran tinggi, hingga urusan pangan yang tak pernah dijamin oleh pemerintah.
Kondisi yang sudah buruk tadi, diperparah dengan perang sipil yang meluluhlantakkan tanah para Waliyullah ini sejak tahun 2015. Bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga, derita rakyat Yaman makin pelik saat wabah corona datang. Selain mendorong lebih banyak nyawa melayang, mereka yang masih hidup pun tak luput dari berbagai macam cobaan.
Pada pertengahan Mei, saat kasus corona pertama menyeruak di sana, anggaran yang awalnya dialokasikan untuk kesehatan reproduksi segera dialihkan untuk penanganan pandemi. Sontak pusat layanan kesehatan ibu dan anak yang berjumlah 180, mau tidak mau harus dipangkas menjadi 40 saja. Dengan penurunan drastis ini, sudah tidak terhitung lagi berapa banyak nyawa ibu dan buah hatinya yang tak dapat diselamatkan.
Seperti kisah sedih Maryam, janda korban perang dengan 4 anak perempuan yang ditinggal mati suami dalam kondisi hamil. Suatu ketika, ia mengalami pendarahan hebat. Dengan badan lemah tak berdaya, ia terpaksa pergi ke satu-satunya klinik kesehatan di distrik tempat tinggalnya. Namun, malang tak dapat ditolak, sesampainya disana ia tak lagi menemukan layanan persalinan. Naas, Mariam akhirnya meninggal dunia dalam kondisi kritis, tak terselamatkan.
Yang lebih menyedihkan, tenaga kesehatan di sana juga tak dapat berbuat apa-apa, mereka sendiri pun adalah korban. Tak ada jaminan jika dalam satu distrik terdapat satu bidan. Oleh karenanya banyak pasangan suami istri yang putus asa, “sering saya dapati laki-laki yang pulang dengan tangan hampa dan burai air mata karena di tak mendapati pelayanan kehamilan maupun bidan yang mampu menolong istrinya,” cerita salah satu perawat yang bekerja di daerah pelabuhan bernama Hudaydah.
Di Yaman, jangankan untuk mengoperasikan layanan kesehatan, pasokan kebutuhan dasar seperti air saja sangatlah terbatas. Dampaknya, warga Yaman banyak yang tewas mengenaskan, selain karena korban perang, juga akibat kebutuhan dasar yang tak terpenuhi seperti makan minum minimal tiga kali sehari. Mati kelaparan sudah dianggap hal yang biasa, termasuk korbannya adalah anak-anak yang tidak dapat dipenuhi kebutuhan gizi standar oleh ayah ibunya.
Konsekuensinya, sebelum corona mengintai, Yaman sudah terlebih dulu kolaps karena wabah kolera yang menyebabkan ribuan nyawa melayang. Kini, dengan munculnya pandemi baru corona, PBB memperingatkan bahwa Yaman akan semakin terpuruk di titik terendahnya. Terlebih bila pihak-pihak berperang tetap bersikukuh melanjutkan konflik berkepanjangan yang telah memakan waktu lima tahun lebih itu.
Sayang beribu sayang, di tengah krisis kemanusiaan berkepanjangan di sana, seluruh pihak yang terlibat meyakini bahwa mereka tidak punya beban moral apalagi kemauan untuk bertanggungjawab. Radhya menyebut istilahnya sebagai impunitas, “para pelaku peperangan itu meyakini bahwa mereka tidak akan dipidana.”
Sembari menarik napas panjang, ia dan suami tetap bertekad meneruskan perjuangan. Ia juga berharap akan ada lebih banyak pihak yang mendengarkan kisah-kisah tragis mereka dan mewartakannya. Tujuannya jelas: meminta dukungan dunia untuk mendorong kelompok elit di sana agar segera duduk bersama dan bersepakat menyudahi peperangan. Sambil menerawang jauh dan menunggu itu terjadi, ia kembali mengabarkan dengan nada sedih pada dunia, “kami berteriak kesakitan, tapi tidak ada yang mendengar.” []