Mubadalah.id – Saya akan memulai artikel tentang isu disabilitas ini dengan kutipan dari buku Muhammad the World Changer, “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan kalian ada sebuah tunas, maka sempatkanlah untuk menanamnya! Jangan risaukan apa jadinya tanaman itu. Tugas kalian adalah menanam.” Kalimat itu berasal dari Muhammad bin Abdullah, sebuah pesan abadi tentang arti menanam kebaikan, sekecil apa pun, bahkan ketika seolah segalanya akan musnah.
Maka jika membincang soal disabilitas juga semestinya demikian. Isu ini kadang terasa sunyi di tengah riuh wacana lain yang lebih populer. Namun di balik kesunyiannya, suara-suara kecilnya menyimpan daya tumbuh: memanggil kita untuk peduli, bergerak, dan meyakini bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, layak diperjuangkan bersama.
Isu Soal Disabilitas Memang Isu Marjinal
Isu disabilitas adalah salah satu isu yang kerap terpinggirkan. Bahkan sekadar membedakan istilah difabilitas dan disabilitas pun masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang. Itu baru soal terminologi, belum masuk ke lapisan persoalan mendasar: bagaimana akses, perlindungan, hingga penghormatan martabat saudara-saudara kita penyandang disabilitas yang masih minim dari perhatian.
Saya beberapa kali menulis tema ini. Beberapa teman bertanya, “Kenapa sih getol banget nulis soal disabilitas? Emang ada yang baca?” Saya hanya tertegun. Setelah coba merenungkan, memang tidak ada target muluk-muluk. Saya hanya ingin menyebarkan gagasan, menuliskan apa yang saya anggap penting. Karena saya percaya: tidak ada yang sia-sia dalam menanam kebaikan. Sekecil apa pun, ia akan tumbuh.
Dalam Hadits Riwayat Muslim ditegaskan, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” Saya yakin, menulis pun adalah bagian dari upaya mengingkari kemungkaran. Termasuk menulis isu disabilitas.
Kita Semua Akan Menua
Sering kita lupa, bahwa pada akhirnya kita semua akan menua. Usia membawa kita pada kondisi yang tak jauh beda dengan pengalaman teman-teman difabel: penglihatan melemah, pendengaran menurun, gerak tak lagi lincah. Maka membangun fikih yang ramah, inklusif, dan aksesibel bukan sekadar kepentingan segelintir orang. Ini kepentingan kita bersama.
Dalam Islam, rahmat Allah ditujukan bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Sudah sepatutnya sistem, aturan, dan kebijakan juga mewujudkan rahmat bagi mereka yang sering luput dari perhatian.
Pun jika mengutip Prof. Azyumardi Azra, Islam sejatinya hadir untuk mengokohkan keadilan sosial bagi semua golongan, tanpa terkecuali. Prinsip keadilan inilah yang seharusnya menjiwai setiap ijtihad hukum, kebijakan publik, hingga pelayanan sosial. Jika kita abai pada kelompok rentan—termasuk lansia dan difabel—maka kita telah mengkhianati makna rahmatan lil ‘alamin yang merupakan warisan Rasulullah.
Pemimpin yang Abai pada Disabilitas Adalah Pemimpin Dzalim, No Debat!
Sayangnya, realitas di lapangan justru berbanding terbalik. Anggaran untuk disabilitas terus dipangkas. Komisi Nasional Disabilitas (KND), yang seharusnya jadi motor advokasi kebijakan inklusi, justru terpangkas drastis anggarannya: dari Rp5,6 miliar hanya tersisa Rp500 juta. Padahal dengan anggaran awal pun, fasilitas aksesibel di negeri ini masih jauh dari layak.
Di sinilah umat Islam perlu paham tafsir ketaatan pada pemimpin. Taat bukan berarti patuh membabi buta. Rasulullah SAW menegaskan, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Begitu pula dalam kaidah fiqh siyasah, ketaatan pada penguasa sah selama kebijakannya adil dan menegakkan maslahat umat. Tetapi jika kebijakan justru menindas kelompok rentan, umat berkewajiban menegur, mengingatkan, bahkan menolak, dengan cara yang benar.
Bahkan, sebagaimana Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, seorang pemimpin yang tidak melibatkan rakyatnya dalam musyawarah berarti telah menyimpang dari ajaran Islam. Sebab, inti dari kekuasaan menurut beliau adalah menegakkan keadilan dan melindungi yang lemah. Termasuk penyandang disabilitas.
Lihat saja di sekitar kita: akses jalan, transportasi, layanan publik masih belum ramah bagi penyandang disabilitas. Semua ini menandakan betapa jauh perjalanan kita untuk benar-benar mewujudkan maqashid syariah, yakni menjaga kemaslahatan, termasuk perlindungan jiwa, akal, keturunan, dan harta bagi siapa pun, tanpa diskriminasi.
Menanam Kebaikan Sekecil Apa pun
Isu disabilitas bukan isu pinggiran, tapi ini isu kemanusiaan. Dan memperjuangkan kemanusiaan adalah panggilan iman. Tak perlu risau seberapa banyak yang membaca. Tugas kita hanya menanam—menyuarakan, menulis, bergerak. Soal hasil, serahkan pada Allah.
Sebab setiap kata yang kita semai, selalu ada harap yang tumbuh secara diam-diam. Ibarat benih di tanah tandus yang menanti hujan. Mungkin tak segera berbunga, tapi yakinlah, suara kebaikan akan menemukan jalannya sendiri, menembus sunyi, dan suatu hari kelak, berakar di hati yang siap menampungnya.
Karena sebagaimana sabda Nabi di atas, “Jika terjadi kiamat, sementara di tanganmu ada tunas, maka tanamlah!”Begitulah seharusnya kita memegang optimisme: sekecil apa pun, kebaikan itu tidak pernah sia-sia. []