• Login
  • Register
Selasa, 15 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

Menikah dan memiliki anak bukan sekadar soal kesiapan emosional, tetapi soal tanggung jawab struktural, sosial, sekaligus spiritual.

Dhuha Hadiyansyah Dhuha Hadiyansyah
15/07/2025
in Keluarga, Rekomendasi
0
Menikah

Menikah

728
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Di Amerika Serikat dan Inggris, hampir separuh anak dari keluarga berpenghasilan rendah gagal keluar dari kemiskinan saat dewasa, dan di Kanada sepertiganya. Di Indonesia, angka itu melonjak lebih tinggi: menurut Kementerian Sosial (2024), 64,46 persen anak-anak dari keluarga miskin akan mengikuti jejak orang tuanya.

Seperti itulah genealogi kemiskinan. Tampak sistemik, sering kita sangkal, tapi nyatanya terus terwariskan. Ketika seseorang memutuskan menikah dalam kondisi miskin, lalu memiliki anak di tengah kekurangan, kemiskinannya tidak hanya bertahan tetapi bisa berubah wujud menjadi derita yang orang lain pun tak tega menyaksikannya, apalagi mecicipinya.

Realitas ekonomi menunjukkan, untuk bisa hidup layak di Indonesia. Seseorang perlu paling tidak Rp1,02 juta per bulan. Meski hanya cukup untuk membayar dua kali makan siang buffet di hotel bintang lima Jakarta, angka tersebut adalah standar menurut BPS (2024).

Jika seseorang hidup dalam rumah tangga miskin, dengan rata-rata 4–5 anggota keluarga, angka itu tak lagi cukup. Garis kemiskinan nasional pada September 2024 sebesar Rp2,8 juta per rumah tangga per bulan. Di DKI Jakarta, untuk hidup setara garis kemiskinan, satu rumah tangga harus punya Rp4,2 juta. Benar-benar jangan menikah jika belum bisa menembus angka-angka ini, karena Anda hanya akan membuka krisis berantai.

Deretan Dampak Buruk Kemiskinan

Psikolog Teresa Gil, dalam “Women Who Were Sexually Abused as Children: Mothering, Resilience, and Protecting the Next Generation” (2018), menunjukkan bagaimana kemiskinan merusak struktur dasar kepercayaan diri seseorang. Menjadikan mereka tak punya pilihan, dan merenggangkan relasi orang tua-anak.

Baca Juga:

Merawat Fondasi Pernikahan dengan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

Mewujudkan Perjanjian yang Kokoh Dalam Pernikahan

Kala Kesalingan Mulai Memudar

Hancurnya Keluarga Akibat Narkoba

Anak-anak dari keluarga miskin juga  lebih rentan menjadi korban pengabaian, kekerasan, dan pelecehan—bukan karena orang tuanya jahat, tapi karena mereka kelelahan, frustrasi, dan bingung dengan kehidupannya sendiri.

Kemiskinan juga melemahkan tubuh. Karr-Morse, Robin and Meredith S. Wiley dalam “Scared Sick: The Role of Childhood Trauma in Adult Disease” (2012) menunjukkan bahwa tekanan psikososial akibat hidup dalam kekurangan dapat memicu serangkaian penyakit fisik dan mental.

Depresi, kecemasan, PTSD (Gangguan Stres Pascatrauma.), diabetes, gangguan jantung, gangguan pernapasan, dan kanker. Dalam kondisi seperti itu, apa yang bisa terwariskan orang tua miskin kepada anak-anaknya selain luka yang sama?

Bila menikah dan punya anak dalam kondisi miskin, seseorang sedang mengambil risiko untuk menyakiti anak-anak mereka secara tidak langsung. Setiap orang tua ingin memberikan yang terbaik, tapi keinginan tidak selalu sejalan dengan kenyataan.

Dalam kemiskinan, orang tua terpaksa memilih antara dua kutukan. Bekerja keras dan meninggalkan anak-anak, atau tinggal di rumah dan membiarkan kebutuhan hidup anak tak terpenuhi. Lebih baik Anda single, bekerja keras, mentas dari kemiskinan, baru menikah.

Jika ngebet kawin dalam keadaan miskin, ujung-ujungnya adalah kebingungan, jika bukan penyesalan. Lebih buruknya lagi, ekspresi dari kebingungan ini sering muncul dalam bentuk kemarahan (anger issue).

Tak sedikit orang tua miskin yang, menurut Gil (2018), akhirnya menjadi pelaku kekerasan terhadap anak karena merasa tak punya cara lain untuk melampiaskan tekanan hidup yang menghimpit. Kekerasan tersebut, kemudian, bisa saja dilegitimasi sebagai cara mendidik yang pas untuk anak-anak kelas bawah.

Menunda Adalah Keberanian

Jadi, menunda menikah dan punya anak sama sekali bukan bentuk egoisme atau kemalasan, tetapi keputusan etis. Menunda pernikahan jika masih miskin adalah keberanian dan keterusterangan. “Aku tidak ingin menjerumuskan pasanganku ke dalam jurang kebinasaan; aku pun tidak ingin anakku mewarisi penderitaan yang kualami.”

Selain itu, menunda juga bukan berarti menolak cinta atau keluarga. Menunda berarti memberi waktu pada diri sendiri untuk tumbuh, bekerja, belajar, dan menciptakan ruang yang lebih aman dan layak bagi anak yang kelak akan datang.

Menikah dan memiliki anak bukan sekadar soal kesiapan emosional, tetapi soal tanggung jawab struktural, sosial, sekaligus spiritual. Begitu seorang anak lahir, ia akan menghadapi dunia yang asing—dan orang tuanyalah yang pertama bertanggung jawab membekali dengan standar-standar yang ada, termasuk standar material. Kemiskinan menunjukkan ketiadaan bekal, jika bukan malah membebani perjalanan hidup seseorang.

Penulis Inggris berdarah Rusia Eli Khamarov pernah menulis, “Kemiskinan itu seperti hukuman atas kejahatan yang tidak Anda perbuat.” Untungnya, kita bisa berhenti menjadi pengalam, pengajak, sekaligus penyambung hukuman itu. Kita bisa mulai dengan satu keputusan sederhana tapi krusial. Tunda menikah dan punya anak sampai minimal menyentuh level sejahtera, setidaknya versi BPS. []

Tags: KDRTkeluargaKemiskinanmenikahpernikahanRelasirumah tangga
Dhuha Hadiyansyah

Dhuha Hadiyansyah

Dosen pada Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) dan fasilitator Sekolah Pernikahan

Terkait Posts

Krisis Ekologi

Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi

14 Juli 2025
Mas Pelayaran

Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

13 Juli 2025
Praktik Kesalingan

Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

12 Juli 2025
Isu Disabilitas

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

12 Juli 2025
Ikrar KUPI

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pernikahan Sakinah

    Merawat Fondasi Pernikahan dengan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inklusivitas yang Terbatas: Ketika Pikiran Ingin Membantu Tetapi Tubuh Membeku

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perkosaan: Kekerasan Seksual yang Merendahkan Martabat Kemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Disiplin Menyelamatkan Impian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO); Pentingnya Keberpihakan Pada Korban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengapa Kasus Perkosaan Terhadap Perempuan Masih Sering Terjadi?
  • Ketika Disiplin Menyelamatkan Impian
  • Perkosaan: Kekerasan Seksual yang Merendahkan Martabat Kemanusiaan
  • Inklusivitas yang Terbatas: Ketika Pikiran Ingin Membantu Tetapi Tubuh Membeku
  • Merawat Fondasi Pernikahan dengan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID