Mubadalah.id – Semakin hari, kita makin tertampar realita, bahwa menikmati proses adalah hal yang berat. Bukan merasa terbebani, justru melihat hal yang dicapai dengan instan acapkali menunjukkan sesuatu yang konyol.
Per-hari ini, modernitas memaksa kita agar betindak cepat dan tepat agar memenuhi apa yang kita rencanakan. Sedangkan era modern yang identik dengan lajunya informasi serta teknologi sendiri terbentuk dari buah tangan manusia. Akibatnya, tidak memandang kulit, ras, dan suku, hal itu akan memukul rata prinsip dan moral kita.
Namun, sikap cepat dan tepat tidaklah selalu bersifat instan. Kecepatan yang lahir dari pengalaman panjang, kesabaran, kegigihan, dan kegagalan berulang jauh lebih bernilai daripada hasil yang muncul tiba-tiba tanpa pondasi yang kuat.
Sayangnya, hari ini kita lebih sering terpukau oleh apa yang tampak pada permukaan. Gelar, jabatan, pencapaian materi, semuanya sering kali menjelma sebagai indikator keberhasilan, padahal tidak sedikit yang mencapainya dengan jalan pintas. Dan jalan pintas itu, cepat atau lambat, kerap menunjukkan kelemahannya sendiri. Yang terbangun tanpa fondasi, cepat runtuh. Yang tercapai tanpa proses, sering terasa hampa.
Dari Beban Menjadi Berkah
Fenomena menarik terjadi saat ini. Semakin banyak kemudahan instan yang tersedia, semakin banyak orang yang merasa kehilangan makna. Media sosial penuh dengan orang-orang yang tampak sukses secara instan, tapi survey mental health menunjukkan tingkat kecemasan dan depresi yang terus meningkat.
Kok bisa? karena sesuatu yang instan seringkali tidak menciptakan fulfilment yang sebenarnya. Ia hanya manis duluan, asam, dan pahit belakangan.
Maka, mengakui bahwa menikmati proses itu berat adalah langkah pertama menuju wisdom. Ada beberapa tips menikmati proses :
Rayakan small wins, atau memberi apresiasi terhadap hal kecil yang membentuk kesadaran improve untuk besok. Fokus pada learning, bukan hasil, Alih-alih bertanya kapan saya sukses? Lawan dengan apa yang sekarang bisa saya pelajari? Ini adalah upaya merubah mindset.
Stoikis dan Islam Menghargai Proses Sebagai Bentuk Kemanusiaan
Stoik mengajarkan bahwa menikmati proses dengan melewati kegagalan adalah sebuah keniscayaan bagi manusia dalam merepresentasikan sikap ikhtiar. Karena sejatinya manusia harus memiliki sifat resiliensi. Yaitu sifat tangguh, jika kalah atau gagal tetap berdiri tegak melanjutkan misi dengan kontinus.
Stoikisme bilang “Latih dirimu untuk tetap tenang dalam badai”, sebagai bahan refleksi terhadap segala usaha agar tidak terikat pada hasil, karena hasil kerap unpredictable. Yang menjadi prioritas adalah usaha dan sikap batin saat menjalani proses itu sendiri.
Dan Islam melegitimasi dengan paten menikmati proses dengan Q.S. Al-Insyirah ayat 6 “bahwa setiap menghadapi perkara yang sulit, percayalah akan berbuah kemudahan” Demikian adalah jaminan Allah terhadap hambanya yang tegar dalam menaklukkan problem kehidupan, bukan malah lari dan memilih jalan yang menyimpang dari islam.
Selain itu, dalam Q.S. Taha ayat 114 juga memberi pesan bahwasannya ketika menerima dan menjalankan sesuatu haruslah dibarengi dengan kesabaran, keteguhan, dan jangan terburu-buru untuk selesai.
Maka Stoikisme dan Islam, melalui perspektif yang berbeda namun komplementer, mengajarkan kita bahwa menghargai proses adalah tanda kemanusiaan yang matang. Keduanya menolak budaya instant gratification dan mengajak kita untuk menemukan makna dalam journey itu sendiri.
Dalam dunia yang terobsesi dengan hasil cepat dan pencapaian instan, kebijaksanaan dua tradisi ini menawarkan jalan alternative: bahwa kebahagiaan sejati, karakter yang mulia, dan kedamaian jiwa hanya dapat tercapai melalui proses yang dihayati dengan penuh kesadaran dan ketundukan—baik kepada virtue (bagi Stoik) maupun kepada Allah (bagi Muslim).
Menghargai proses, dengan demikian, bukan hanya strategi hidup yang efektif, tetapi juga ekspresi dari kemanusiaan kita yang paling otentik. Dalam proseslah kita belajar, tumbuh, dan menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. []