• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Dinamika Pendidikan di Masa Pandemi

Jika ini dikemas secara baik oleh pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah yang menangani bidang pendidikan. Maka akan terdapat relasi resiprokal (timbal-balik) antara dunia pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat.

Halimatus Sa'dyah Halimatus Sa'dyah
29/11/2020
in Publik, Rekomendasi
0
pendidikan di masa pandemi

pendidikan di masa pandemi

121
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Hampir semua lembaga pendidikan pada masa wabah Covid-19 ini harus tutup sementara sebagaimana imbauan pemerintah.  Hal ini dilakukan sebagai upaya meminimalisir potensi penyebaran Covid-19. Aktifitas apapun yang berpotensi menarik kerumunan banyak orang dilarang, termasuk belajar di sekolah. Bagaimana dinamika pendidikan di masa pandemi?

Model pembelajaran yang diterapkan di masa penutupan sekolah bergeser menjadi tatap muka melalui Hp. Bisa dengan membuat grup WA, atau kelas Zoom, suatu aplikasi yang bisa mempertemukan banyak orang dalam satu forum secara online melalui HP.

Model pembelajaran ini dirasa berat. Banyaknya orang tua mengeluhkan sulitnya penerapan model pembelajaran ini. Kesulitan tersebut diantaranya, kuota Hp menjadi lebih boros, sinyal yang tidak bersahabat karena di daerah terpencil dan tetap diwajibkannya membayar SPP secara penuh.

Alasan-alasan di atas membuat posisi orang tua lebih banyak dirugikan. Mereka harus mendampingi anak belajar secara mandiri di rumah, namun harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga termasuk biaya SPP tetap dibayar penuh. Problematika yang terjadi masa wabah ini membuat shock therapy pada sebagian besar masyarakat. Semua dituntut untuk beradaptasi dengan model baru dalam menjalani keseharian termasuk bersekolah.

Fungsionalisasi Rumah sebagai Sekolah

Pada akhir 1970-an, Ivan Illich, seorang praktisi dan pemerhati pendidikan mengejutkan masyarakat dengan gagasan kontroversial tentang masyarakat tanpa sekolah Deschooling Society. Ivan Menyampaikan “Masing-masing dari kita mempunyai tanggung jawab untuk membebaskan diri dari sistem sekolah, karena hanya kitalah yang sanggup melaksanakannya.”

Baca Juga:

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir Bagian II

Idealnya jika merespon apa yang pernah disampaikan Ivan Illich, maka sudah seharusnya pemerintah memikirkan pola pembelajaran terbaru yang bisa ramah pada anak dan orang tua. Misalnya, melibatkan para orang tua di daerah untk menyusun kurikulum tersendiri dengan merespon potensi alam di sekitarnya.

Contoh tugas yang diberikan adalah membantu orang tua bekerja di sawah. Membantu bercocok  tanam di sawah sebagai upaya dalam ketahanan keluarga. Memberikan pekerjaan rumah dengan membantu orang tua berjualan secara online, sehingga evaluasi tugas harian adalah seberapa anak dapat membantu pekerjaan orang tua di rumah, apapun profesi ortang tua.

Anak tidak akan dibebani tugas berat sekolah yang kadang sangat jauh dari aktifitas keseharian, di samping itu orang tua dapat bekerja sama tetap bekerja dengan dibantu anak-anaknya di rumah. Sehinggga aktifitas stay at home menjadi lebih ramah bagi semua anggota keluarga.

Jika ini dikemas secara baik oleh pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah yang menangani bidang pendidikan. Maka akan terdapat relasi resiprokal (timbal-balik) antara dunia pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat.

Relasi ini bermakna bahwa apa yang berlangsung dalam dunia pendidikan merupakan gambaran dari kondisi yang sesungguhnya di kehidupan masyarakat yang kompleks. Demikian juga sebaliknya, kondisi masyarakat, baik dalam aspek kemajuan, peradaban dan sejenisnya, tercermin dalam kondisi dunia pendidikannya.

Masyarakat tidak lagi direduksi menjadi konsumen semata, sementara lembaga pendidikan menempatkan diri sebagai produsen. Selama ini masyarakat sering kali dilihat semata-mata sebagai objek pendidikan.

Dengan diterapkannya kurikulum sementara dalam melewati wabah ini, masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial dan budaya yang luas tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Gagasan ini memang belum konkret, tetapi jika melihatnya sebagai parodi, maka betapa tepatnya Illich menilai dan mendeskripsikan eksistensi lembaga pendidikan di tengah masyarkat terutama di masa pandemi ini.

Dalam proses pembelajaran dan pemberdayaan pendidikan, mengambil peran sebagai subyek bukanlah sesuatu yang mudah dalam kondisi sistem pendidikan kita yang sangat birokratis dan sentralistis. Ketimpangan relasi dalam praktik pendidikan kita bisa dilihat dari hal-hal yang dianggap kecil dan sederhana. Akan tetapi, sesungguhnya berimplikasi besar bagi kesejahteraan warga negara, khususnya warga miskin dan warga terpencil.

Proses pembelajaran di sekolah menggunakan sistem daring misalnya, berdampak pada proses pendidikan, yang berpihak hanya pada pemilik HP, kuota dan wilayah pemilik sinyal. Fenomena masyarakat marginal, memandang bahwa sekolah itu penting dan menganggap sekolah sebagai satu-satunya tempat untuk menyiapkan anak menghadapi masa depan yang lebih baik.

Kebutuhan masyarakat yang memiliki Sumber Daya Manusia tinggi, perantinya adalah pendidikan. Sayangnya, pendidikan melalui sekolah tidak mampu lagi dijangkau masyarakat miskin. Pendidikan adalah manifestasi kehidupan. Proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Kehidupan akan berkembang dengan optimal ketika ada suasana yang baik. Pendidikan berkualitas diharapkan bisa mengantarkan anak menjadi insan yang berkualitas.

Masalah lainnya, program pemerintah adalah menggratiskan uang SPP sekolah, namun pada praktiknya uang gedung dan uang alat sebagai sarana pendidikan tetap mahal. Masih banyak sekolah negeri yang meminta pungutan kepada wali siswa untuk uang sumbangan sekolah dengan nilai angka nominal yang tinggi.

Pendidikan sangat vital bagi pembentukan karakter sebuah peradaban dan kemajuan yang mengiringinya. Tanpa pendidikan, sebuah bangsa atau masyarakat tidak akan pernah mendapat kemajuan dan beradab. Karena itu, sebuah peradaban yang memberdayakan lahir dari suatu pola pendidikan dalam skala luas, tepat guna, efektif, kontekstual dan mampu menjawab segala tantangan zaman. []

 

 

Tags: keadilanKesalinganKesetaraanPandemi Covid-19Pemerintah Indonesiapendidikansekolah
Halimatus Sa'dyah

Halimatus Sa'dyah

Penulis adalah  konsultan hukum dan pengurus LPBHNU 2123038506

Terkait Posts

Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Konten Kesedihan

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID