• Login
  • Register
Minggu, 13 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Dan laki-laki, mereka pun harus belajar bicara. Belajar jujur. Belajar rapuh. Mereka harus membongkar label "boys don’t cry"

Raden Siska Marini Raden Siska Marini
02/07/2025
in Pernak-pernik
0
Boys Don’t Cry

Boys Don’t Cry

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“I would break down at your feet, and beg forgiveness, plead with you…”

Mubadalah.id – Begitu pengakuan jujur dalam lagu Boys Don’t Cry yang The Cure lantunkan. Ia bukan sekadar lagu patah hati; ia adalah jeritan sunyi dari laki-laki yang diajarkan untuk menyembunyikan perasaannya, yang menanggung luka tapi tak tahu cara memintakan maaf selain dengan cara yang “maskulin” — dengan berpura-pura tak terjadi apa-apa.

Norma patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tapi juga laki-laki. Mereka diajarkan bahwa tangisan adalah kelemahan, padahal justru di dalam tangisanlah kita sering menemukan sisi terdalam dari kemanusiaan.

Dalam prinsip Islam yang berkeadilan—sebagaimana termaktub dalam nilai rahmah, ta’awun, dan musyawarah—relasi antara laki-laki dan perempuan adalah relasi saling menopang, saling menenteramkan, bukan saling mendominasi atau menanggung sendiri luka masing-masing.

Lagu ini, secara tidak langsung, mengajak kita mempertanyakan konstruksi relasi. Mengapa laki-laki harus terus terlihat kuat? Mengapa cinta harus terbungkus dengan ego? Dan mengapa, dalam banyak relasi, perempuan dituntut untuk “lebih mengerti”, “lebih sabar”, “lebih dewasa”, sementara laki-laki cukup diam dan kita maklumi?

Bahkan Rasulullah pun menangis. Bahkan Rasulullah pun bersandar

Ketika wahyu pertama turun di Gua Hira, Rasulullah pulang dengan tubuh menggigil, penuh kebingungan dan ketakutan. Dan kepada siapa beliau bersandar? Bukan kepada sahabat-sahabatnya, bukan kepada kerabatnya yang lelaki, melainkan kepada istrinya, Khadijah.

Baca Juga:

Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

Kegagalan dalam Perspektif Islam: Antara Harapan Orang Tua dan Takdir Allah

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

Beliau berkata: “Zammiluni, zammiluni (selimuti aku, selimuti aku).” Dan Khadijah tidak hanya memeluknya, tapi juga menguatkannya, membesarkan jiwanya, meyakinkannya bahwa Allah tidak mungkin menyia-nyiakan orang sebaik dirinya.

Itulah bentuk kesalingan yang hakiki. Rasulullah tidak merasa hina karena bersandar pada perempuan. Beliau justru menunjukkan bahwa kelelakian sejati tidak berarti menutup air mata, tapi membuka hati. Relasi mereka adalah relasi yang melampaui sekadar cinta romantik—itu adalah kerja sama spiritual, sosial, bahkan politis.

Perempuan tidak dilahirkan untuk menjadi pengampun abadi atas kediaman laki-laki

Dalam relasi yang adil, tanggung jawab emosional tidak boleh menjadi beban satu pihak. Kita terlalu sering membayangkan perempuan sebagai “penyelamat” dalam relasi: dia yang memahami tanpa dijelaskan, dia yang sabar menghadapi sikap pasif agresif, dia yang selalu tahu apa yang disembunyikan pasangannya. Padahal perempuan pun berhak untuk tidak mengerti. Berhak untuk lelah.

Dan laki-laki, mereka pun harus belajar bicara. Belajar jujur. Belajar rapuh. Mereka harus membongkar label “boys don’t cry“, sebab kemuliaan tidak terukur dari berapa lama seseorang menahan luka, tapi seberapa berani ia mengakuinya, mengobatinya, dan tidak mewariskannya pada orang lain.

Dalam Islam, keadilan bukan berarti memberi hal yang sama kepada semua, tapi memberi sesuai dengan kebutuhan dan hakikat fitrahnya. Dan fitrah manusia—laki-laki maupun perempuan—adalah makhluk yang memiliki emosi. Tangisan bukan hanya milik perempuan. Kerapuhan bukan hanya bagian dari feminitas. Bahkan para Nabi pun menangis, dan itu tidak pernah mengurangi kedudukan mereka di hadapan Allah.

Jika kesalingan adalah prinsip hidup bersama, maka sudah waktunya kita hidup dalam relasi yang saling belajar memahami—bukan saling menuntut untuk dimengerti. Cinta tidak pernah meminta satu pihak menanggung semuanya, dan tidak pernah sehat jika satu pihak selalu diam dan yang lain selalu mengerti.

Boys don’t cry?

Justru ketika mereka berani menangis, di situlah pintu kesalingan terbuka. Dan perempuan tidak selalu harus jadi penafsir atas tangisan itu—karena dalam relasi yang sehat, semua pihak punya ruang untuk menjelaskan, untuk meminta, untuk saling memeluk. Sama seperti Rasulullah yang memeluk Khadijah dengan ketakutannya, dan Khadijah yang memeluknya kembali—dengan cinta dan keyakinan. []

 

Tags: Boys Don’t CryKesalinganKesehatan MentalMenangisRelasiReview Lagu
Raden Siska Marini

Raden Siska Marini

Aktivis gender dan pendidik yang merawat harapan akan Islam yang setara, ramah, dan membebaskan. Ia percaya bahwa ruang-ruang spiritual bisa menjadi jalan untuk membangun relasi yang adil antara manusia dan Tuhan, juga antar sesama. Kegiatannya bisa diikuti melalui Instagram @raden.siska.

Terkait Posts

Ayat sebagai

Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

12 Juli 2025
Hak Perempuan

Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan

12 Juli 2025
Setara

Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara

12 Juli 2025
Gender

Islam dan Persoalan Gender

11 Juli 2025
Tauhid

Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam

11 Juli 2025
Tauhid dalam Islam

Tauhid: Fondasi Pembebasan dan Keadilan dalam Islam

11 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Isu Disabilitas

    Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama
  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan
  • Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan
  • Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID