• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Agama dan Budaya: Transformasi Sosial Ala Gus Dur

Agama dan budaya terkadang bersinergi, kadang pula bertentangan sebagaimana Gus Dur jelaskan. Namun keduanya dapat kita dialogkan

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
19/09/2023
in Uncategorized
0
Agama dan Budaya

Agama dan Budaya

877
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada pertemuan minggu kedua kelas Pribumisasi Islam, subtema yang menjadi pembahasan wali kelas dan guru tamu adalah tentang agama dan budaya. Subtema ini merupakan pintu masuk bagi para santri Gusdurian Academy untuk dapat menyelami gagasan Gus Dur tentang Pribumisasi Islam.

Sebelum saya menuliskan refleksi atas hasil mengaji subtema tersebut, saya ingin membagikan bentuk kontrak belajar yang wali kelas berikan, dan disepakati oleh anggota kelas lainnya. Kontrak belajar yang berupa ‘kesadaran’ masing-masing individu dalam mengikuti proses belajar bersama. Kesadaran tentang ketetapan waktu, tatap muka/oncam, interaksi aktif di kelas, juga tugas-tugas mingguan yang diberikan.

Walaupun tidak membebankan, karena anggota kelas tidak wajib untuk melakukan itu semua, namun diksi ‘kesadaran’ menjadi momok yang sangat berat, karena komitmen dan integritas diri kita pertaruhkan di sana. Kita tidak akan merasa malu dan bersalah kepada orang lain, melainkan kepada diri sendiri apabila melanggarnya.

Seperti sebuah dosa karena menjadi manusia yang banyak tidak sadarnya alih-alih tetap dalam kesadaran. Nampaknya, kesadaran terhadap waktu harus selalu kita normalisasi dan menjadi budaya baru di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, agar kita tidak selalu masbuq. Baik masbq pada perkembangan keilmuan; juga segala peran dalam kemajuan zaman.

Relasi Antara Agama dan Budaya

Yupz, kembali ke laptop. Dalam salah satu tulisannya, Gus Dur pernah memaparkan bagaimana relasi antara agama dan budaya dengan artikel berjudul “Agama dan Tantangan Kebudayaan.”

Baca Juga:

Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

Kita bisa membaca sendiri-sendiri isi tulisan tersebut, karena telah tersedia dalam laman daring. Dengan gaya bahasa yang piawai, Gus Dur mampu memberikan pemahaman tentang posisi agama, posisi budaya, hubungan baik antar keduanya, juga hubungan buruk yang dilakukan oleh agama terhadap budaya, atau sebaliknya.

Sangat mencerahkan setiap membaca tulisan-tulisan Gus Dur. Namun dalam refleksi kali ini, saya tidak akan mengulas isi tulisan Gus Dur, karena hal serupa sudah banyak yang melakukannya. Namun saya ingin menafsirkan kembali gagasan Gus Dur dan mengambil esensi yang terdapat dalam tulisan tersebut. Kemudian saya  gunakan untuk menjawab tantangan kebudayaan yang terjadi di masa sekarang.

Gagasan Pribumisasi Islam

Kondisi masyarakat Muslim Indonesia saat Gus Dur hidup, dan sekarang tidaklah jauh berbeda. Kekahwatiran Gus Dur yang melahirkan gagasan-gagasannya masih menjadi kekhawatiran bersama, sehingga konsep Pribumisasi Islam masih terus kita gaungkan.

Tidak lain untuk memberikan corak keberagaman yang ramah, indah, mudah kita terima, penuh kasih, jauh dari ekstremisme, juga membawa kedamaian di setiap jiwa. Kendati tidak jauh berbeda, namun demokrasi yang terjadi meniscayakan dinamika penafsiran yang tercipta, hingga terjadi perubahan-perubahan kecil dan besar dibanding dengan era sebelumnya.

Saat Gus Dur lengser oleh gerakan yang menolak kepemimpinan, kebijakan dan gagasan pembaharunya, saat itu pula wajah Muslim Indonesia telah berbeda. Walaupun hal tersebut bukan hal baru, namun fenomena yang terjadi menciptakan islamphobia terhadap masyarakat Muslim Indonesia sendiri.

Arabisasi Islam secara masif oleh kelompok tertentu mengisi ruang intoleran dalam keberagaman budaya yang bangsa Indonesia miliki. Nampaknya Gus Dur sudah memprediksi bahwa siklus ini pasti terjadi, maka Pribumisasi Islam merupakan salah satu solusi yang beliau tawarkan dan akan terus dapat kita gunakan sepanjang zaman dalam konteks keindonesiaan (juga serupanya).

Gerakan Gusdurian

Bukankah tampak dari sini, bahwa beliau seorang wali? Mustahil pemikir biasa mampu melahirkan gagasan, yang kemudian menjadi sebuah gerakan (Gusdurian), dan mendiseminasinya dalam banyak gerbong kehidupan secara normatif maupun empiris, kecuali ia seorang wali yang ikhlas dan berderajat tinggi.

Perpaduan harmonis agama dan budaya selalu berbarengan dengan perdebatan pertentangan antar keduanya. Isu ini akan terus ada dan tidak akan memiliki akhir. Dinamika penafsiran yang beragam sebagai tanda kebebasan intelektual memberikan definisi berbeda-beda tentang makna agama dan budaya.

Melihat agama ‘Islam’ menjadi menakutkan, tidak sedikit yang kemudian meninggalkan identitas dan semua nilainya. Atau meninggalkan identitas dengan tetap menjalankan nilai. Pilihan lain, tetap pada identitas namun tidak meyakini nilai. Lalu tetap pada identitas dengan menjalankan nilai dalam paksaan; tetap pada identitas dengan menjalankan nilai dengan penuh cinta dan kesadaran.

Tiap individu mengalami dinamika penafsiran yang beragam. Jika mengutip penjelasan Tuan Guru Hasan Basri sebagai guru tamu, fenomena ini bukanlah hal baru. Ibnu Khaldun mengabadikan fenomena tersebut dengan istilah ashhabiyah maupun kelompok madaniyah yang memiliki corak intelektual tertentu, yang tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab tertuju. Dan ini semua adalah hal biasa dan lumrah saja.

Kemudian Kiai Zeki menambahkan untuk merespon fenomena tersebut. Tentunya dengan melakukan pemaknaan ulang atas subtema agama dan budaya untuk menyelami pemikiran Gus Dur. Agama dan budaya terkadang bersinergi, kadang pula bertentangan sebagaimana Gus Dur jelaskan. Namun keduanya dapat kita dialogkan.

Agama dan Budaya Tidak Dibenturkan

Itulah maksud dari pribumisasi Islam. Tujuannya agar agama dan budaya tidak kita bentur-benturkan. Agama dan budaya tidak menjadi salah satu pilihan. Selain itu, agama dan budaya tidak saling ditinggalkan. Kiai Zeki mengatakan bahwa agama adalah nilai. Nilai bisa tercapai dengan akal.

Di sisi lain, agama juga merupakan keyakinan, yang kadang akal tidak mampu merasionalkan karena keterbatasan. Wahyu yang mengandung nilai bisa digali nilainya jika dimaknai dengan kondisi budaya di suatu masa. Sehingga agama adalah budaya itu sendiri, dan keduanya saling berkaitan untuk memberikan nilai pada kehidupan.

Dari penjelasan Kiai Zeki dan Tuan Guru Hasan akhirnya dapat saya simpulkan. Tidak ada yang harus ditinggalkan. Kita tetap bisa menjadi pemeluk agama yang kita yakini. Kita juga bisa melestarikan budaya bangsa yang kita miliki.

Dengan catatan, kita harus berperan aktif dalam melakukan pemaknaan-pemaknaan ulang terhadap teks wahyu yang dapat menjadi budaya baru melalui kebebasan berfikir yang menjadi pemberian Tuhan yang Maha Welas Asih.

Transformasi Sosial ala Gus Dur

Apa jadinya jika kita meninggalkan keyakinan yang telah menyatu dengan jiwa? Apa jadinya jika kita meninggalkan budaya yang telah terpatri dalam nadi? Sudah saatnya kita menampakkan keberagaman yang tidak menakutkan, kebudayaan yang berkeadilan, dengan tetap mencintai keduanya.

Lagi-lagi tidak lain caranya adalah dengan senantiasa melakukan penafsiran secara berulang-ulang dengan disesuaikan konteks zaman yang merupakan bagian dari wadah lahirnya kebudayaan. Dan itulah tujuan dari pribumisasi islam.

Apabila gagasan Gus Dur ini dapat kita pahami. Hal tersebut akan berubah menjadi transformasi sosial yang bangsa ini butuhkan. Lagi-lagi sebagaimana Clifford Geertz, antropolog Amerika Serikat, nyatakan, bahwasanya agama adalah sebuah sistem kebudayaan yang dapat menjadi alat transformasi sosial yang berkeadilan.

Yuk, sama-sama melalui pribumisasi Islam kita hadirkan agama Islam yang ramah. Yang bisa menjadi wajah, contoh dan bukti bahwasanya agama bukanlah sebuah kekangan, kejumudan dan keterbelakangan. Ia menyediakan berbagai jawaban dari segala persoalan kehidupan di berbagai zaman dan kebudayaan.

Sebagaimana doa dan harapan para orang tua, guru dan leluhur atas kehadiran kita semua, supaya hendaknya kita semua dapat berbahagia dan bermanfaat, baik bagi diri sendri, keluarga, agama, bangsa, negara dan semesta. Jika kita bisa berperan di semua ruang harap tersebut, mungkin kita dapat mencapai derajat kewalian seperti yang Gus Dur dapatkan. Amiin. []

Tags: Gagasan Gus DurgusdurianIndonesiaislamPribumisasi IslamSekolah Pemikiran Gus Dur
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Hakim

Anggota Parlemen dan Hakim Perempuan

13 Mei 2025
Paskah

Memaknai Paskah dan Pesan Pertobatan Ekologis

20 April 2025
Nafkah Ulama KUPI

Nafkah Menurut Pandangan Ulama KUPI

11 April 2025
Belajar Kepada Rasulullah Saw

Kata Nyai Badriyah: Banyak Para Sahabiat Belajar Langsung kepada Rasulullah Saw

25 Maret 2025
Menikahkan Perempuan

Hadis Hak Perempuan untuk Menikahkan Dirinya Sendiri

20 Maret 2025
Rakaat Tarawih

Khilafiyah Rakaat Tarawih: Agama Memfasilitasi Pengalaman Biologis Perempuan untuk Beribadah

19 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version