• Login
  • Register
Jumat, 9 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Agama Penyandang Disabilitas

Agama bukan hanya menghasilkan keyakinan atau sistem kepercayaan, tetapi juga melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia.

Achmad Sofiyul Achmad Sofiyul
04/03/2025
in Publik
0
Agama Penyandang Disabilitas

Agama Penyandang Disabilitas

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Berdasarkan definisi agama yang disampaikan oleh berbagai mufassir Al-Qur’an dan intelektual, agaknya definisinya tidak se-formal dan semenakutkan itu.

Hingga saat ini, kita masih sering merasa kaget jika mendapat pertanyaan tentang keagamaan. Contoh saja jika kita bertanya secara spontan ke seseorang, Menurut kamu, agama itu apa? Dia akan berpikir keras dan mengkerucutkan dahi, bahkan bisa jadi kita dianggap orang aneh. Hikss.

Padahal, agama telah menyibukkan diri kita untuk mengenal Tuhan, makhluk, dan berinteraksi dengan ciptaannya. Maksudnya, cara yang paling ringan memahami agama yaitu memahami prinsip keagamaan : Ibadah/keyakinan, mematuhi hukum, dan berakhlak yang baik. Dan sebagai makhluk, kita harus memiliki sikap membumi, jangan melangit !

Menilik narasi Joachim Wach, agama bukan hanya menghasilkan keyakinan atau sistem kepercayaan, tetapi juga melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia.

Islam sebagai agama sudah pasti, tidak ada keraguan di dalamnya. Dalam berinteraksi dengan Allah, ia sudah jelas. Tetapi ia masih abstrak, absurd, kabur, dan belum jelas hubungannya dengan manusia. Apakah agama telah hadir untuk penyandang disabilitas?

Baca Juga:

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

Manusia Bukan Tuan Atas Bumi: Refleksi Penggunaan Energi Terbarukan dalam Perspektif Iman Katolik

Noble Silence: Seni Menghormati Waktu Hening untuk Refleksi Keimanan

Jejak Tokoh Muslim Penyandang Disabilitas

Penyandang disabilitas juga manusia. Dengan utuh, mereka telah mendapat mandat yang mulia dan memiliki hak beragama, menjalankan perintah agama dengan nyaman dan mengekspresikan pengalaman keagamaannya.

Beribadah dengan Mudah

Sedikit cerita, 14 Februari 2025, ketika Ibadah jumat berlangsung, segerombolan anak kecil duduk di samping loker penitipan barang. Usai salat, dengan lugu berkata “permisi mas, mau buka loker”. Ketika membuka loker, seseorang menemukan sebungkus nasi dan rambutan. Ulah itu langsung membuat jamaah di sekitar tertawa. Tapi apakah penyandang disabilitas bisa merasakannya?

Cerita di atas menunjukkan tidak semua kalangan dapat beribadah dengan mudah. Karena masyarakat masih menganggap aneh jika teman disabilitas pergi ke masjid. Seperti yang kita ketahui jika agama berperan penting dalam memberikan makna hidup, kenyamanan batin, dan penuh kasih sayang. Namun dalam hal beribadah, apakah penyandang disabilitas merasa nyaman?

Harus disadari penyebaran tempat ibadah yang inklusi masih belum tampak dengan merata. Kurangnya aksesibilitas untuk teman difabel, minimnya kajian keagamaan yang melibatkan teman difabel, ataupun kelembagaan pesantren untuk difabel.

Mengingat ungkapan salah satu teman difabel di akademi mubadalah Akademi Mubadalah 2025:

“Tuhan kita sama, mengapa untuk ibadah saja masih tetap dipersulit oleh sesama?”

Hak beribadah bukan hanya diperuntukkan bagi non-disabilitas, tapi juga berlaku kepada penyandang disabilitas. Oleh karena itu, hilangkan sekat antara difabel dan non-difabel. Agar kemudian kesadaran akan martabat, keadilan hakiki, dan maslahah bagi difabel dapat membentuk ekosistem yang inklusif.

Fikih Disabilitas Belum Usai

Fikih disabilitas untuk penyandang difabel atau non-difabel? Meski karya tersebut telah hadir di tengah kita, tetapi hanya sekadar teoritik saja. Tanpa ada tindakan nyata yang meresap ke dalam praktik kehidupan sehari-hari, baik di masyarakat maupun dalam lembaga-lembaga agama.

Banyak dari ajaran yang ada dalam buku tersebut yang masih belum dipahami atau diterapkan secara luas, terutama dalam aspek kehidupan ibadah, sosial, dan pendidikan. Keberadaan penyandang disabilitas dalam komunitas Muslim seharusnya menjadi perhatian serius, namun hingga kini belum banyak perubahan signifikan yang terjadi.

Hal ini menjadi keresahan tersendiri bagi banyak pihak, mengingat fikih seharusnya hadir untuk memberikan kemudahan dan bukan justru menjadi hambatan. Sedikit argumentasi dari teman difabel terkait posisi Fikih disabilitas:

Sampai hari ini Fikih Penyandang Disabilitas belum menjadi prioritas kajian di berbagai sektor, khususnya kajian agama.

Maka, pertanyaannya adalah, mengapa implementasi fikih disabilitas masih terhambat? Apakah ini hanya sekadar teori ataukah ada tantangan lebih besar yang harus dihadapi? Ini adalah masalah yang belum usai dan membutuhkan perhatian serta tindakan nyata dari semua pihak.

Tags: agamaFikih DisabilitasibadahInklusi SosialPenyandang Disabilitas
Achmad Sofiyul

Achmad Sofiyul

Bernafas dan Nir-Intelektual

Terkait Posts

Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Vasektomi

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

8 Mei 2025
Barak Militer

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

7 Mei 2025
Jukir Difabel

Jukir Difabel Di-bully, Edukasi Inklusi Sekadar Ilusi?

6 Mei 2025
Budaya Seksisme

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

6 Mei 2025
Energi Terbarukan

Manusia Bukan Tuan Atas Bumi: Refleksi Penggunaan Energi Terbarukan dalam Perspektif Iman Katolik

6 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Kesaksian Perempuan

    Kritik Syaikh Al-Ghazali atas Diskriminasi Kesaksian Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saksi Perempuan Menurut Abu Hanifah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Benarkah Menikah Menjadi Bagian dari Separuh Agama?
  • Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa
  • Menguatkan Peran Suami dalam Menjaga Kesehatan Kehamilan Istri
  • Kopi Kamu: Ruang Kerja Inklusif yang Mempekerjakan Teman Disabilitas
  • Menikah sebagai Kontrak Kesepakatan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version